Imigran, miskin, dan berkulit hitam. Dengan kondisi seperti itu, hampir mustahil bagi Jimmy Floyd Hasselbaink untuk dapat bertahan hidup di Eropa. Namun mental kuat pria kelahiran Suriname 27 Maret 1972 itu menjadi tameng bagi kehidupan yang keras itu.
Hasselbaink muda pernah terlibat geng jalanan. Ia mengaku beberapa kali melancarkan aksi pencurian dan menakuti orang-orang. Di usianya yang baru menginjak 16 tahun, Hasselbaink pernah merasakan dinginnya sel tahanan selama tiga bulan.
Kala itu Hasselbaink muda hendak menonton konser “Public Enemy”, boyband dengan aliran hip hop asal Amerika yang sedang hits di kalangan muda-mudi. Namun sayangnya Hasselbaink tidak memiliki tiket. Ia dan beberapa kawan akhirnya terpaksa mencuri tiket. Orang-orang yang tiketnya dicuri melaporkan Hasselbaink ke polisi, dan sial bagi Hasselbaink, polisi menemukan barang curian lain di rumahnya seperti arloji, radio, dan beberapa dompet yang bukan miliknya.
Kemiskinan dan kesulitan hidup sudah mengakrabi Hasselbaink sedari lahir. Hal itu yang kemudian membuat sang ibu (bersama keenam anaknya, termasuk Hasselbaink) pindah ke Belanda demi memperoleh nasib yang lebih baik. Saat itu, usia Hasselbaink masih lima tahun. Usia yang terlampau muda untuk menanggung beban sebagai imigran.
Di sela-sela aktivitasnya sebagai gangster, ternyata Hasselbaink cukup lihai mengolah bola. Sampai pada suatu hari, tekadnya bulat untuk meninggalkan dunia kriminal dan beralih ke dunia sepakbola.
Jika masih menetap di Belanda, kawan-kawan lamanya bakal terus mengajaknya untuk berbuat kejahatan. Ia pun latihan lebih keras dan berusaha tampil cemerlang tiap kali ada kesempatan bermain. Adapun hal itu dilakukan agar ada klub lain dari luar Belanda yang tertarik mengontrak jasanya.
Harapan itu kemudian terwujud pada Agustus 1995. Klub asal Portugal yang saat itu baru promosi ke divisi teratas, S.C. Campomaiorense, merekrut Hasselbaink. Saat konferensi pers, pihak klub merahasiakan nilai transfer sang pemain. Ia pun dikenalkan ke publik Portugal dengan sebutan “Jimmy”, padahal ia terlahir dengan nama Jerrel. Adapun nama “Jimmy” seolah menjadi identitas baru bagi Hasselbaink yang sudah tidak lagi berbuat kriminal.
Sepanjang kariernya sebagai pemain, Hasselbaink sudah membela sepuluh klub berbeda. Belanda, Portugal, dan Inggris adalah negara-negara Eropa yang sudah ditaklukan sang imigran. Negara terakhir, bahkan jadi lembaran baru bagi Hasselbaink pasca gantung sepatu.
Menjadi seorang pelatih adalah karier yang kemudian dipilih Hasselbaink. Ia merasa berutang budi kepada sepakbola. Ketika diwawancara majalah Mirror, ia mengaku bahwa tanpa sepakbola, ia tidak akan pernah mengetahui arti kebahagiaan.
Namun bukan berarti Hasselbaink terhindar dari luka dan nestapa. Ketika masih aktif sebagai pemain, ia pernah menjadi korban rasisme. Dilansir dari Goal, ia tidak ingat pasti kapan dan dimana peristiwa itu menimpa dirinya. Ia hanya ingat bahwa pertandingan harus tetap berjalan dan yang harus ia lakukan hanyalah berlari dan mencetak gol.
Jelang Euro 2012 di Polandia dan Ukraina, Hasselbaink memberikan petuah kepada para pemain tim nasional Belanda. Maklum, negara tuan rumah tidak begitu ramah terhadap bangsa pendatang. Ia tak ingin ada pemain Belanda yang walk-out dari pertandingan saat pendukung mulai bertindak rasis.
“Bahwa itu (walk-out) akan jadi hal yang salah untuk dilakukan. Itulah yang diinginkan pelaku rasis dan mengapa mereka bernyanyi dengan nada melecehkan.” Ujar mantan penyerang Belanda yang mengoleksi sembilan gol bersama timnas itu. Ia menambahkan, “jika walk-out, sesungguhnya Anda telah membiarkan mereka menang. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah bermain sebaik mungkin dan mencoba menghiraukannya.”
Franklin Foer dengan geram menulis bahwa ada suatu keseragaman aneh tentang cara penonton sepakbola di Eropa mengekspresikan kebenciannya pada orang kulit hitam. Biasanya terkait bangsa primata. Orang-orang Inggris dan Italia mengembangkan tradisi menirukan suara monyet ketika pemain kulit hitam memegang bola. Orang Polandia melempar pisang ke lapangan ketika pertandingan. Penulis buku How Soccer Explains the World: The Unlikely Theory of Globalization itu menyimpulkan, ekspresi tersebut sudah menjadi tradisi yang ditularkan dari penggemar ke penggemar, dari ayah ke anak-anak mereka.
Miris memang, ketika Eropa digadang-gadang sebagai pusat peradaban dunia, justru warga sepakbolanya masih berlaku diskriminatif. Tidak hanya kepada pemain, tetapi juga kepada para pelatih sepakbola.
Tindakan rasis pun masih menghantui Hasselbaink yang sekarang sudah menjadi pelatih. Ia pernah ditolak klub Inggris yang berlaga di League Two, Port Vale, hanya karena sang pemilik takut bahwa pendukungnya sendiri akan berlaku rasis terhadap Hasselbaink.
Norman Smurthwaite, pemilik klub Port Vale mengaku kepada majalah World Soccer bahwa ia sama sekali tidak meragukan kemampuan Hasselbaink dalam melatih. Ia hanya ragu dengan perlakuan pendukung terhadap Hasselbaink. Smurthwaite menambahkan, Hasselbaink adalah orang yang tepat untuk klub, tetapi klub seperti Port Vale bukan klub yang tepat untuk seorang Hasselbaink.
Fakta bahwa masih adanya klub-klub seperti Port Vale di Inggris membuat FA merasa perlu mengadopsi “Rooney Rule” yang dinilai ramah terhadap minoritas. Adapun Rooney Rule adalah aturan yang mewajibkan klub-klub, dalam proses pencarian pelatih kepala, mewawancarai setidaknya satu pelamar dari golongan minoritas. Golongan itu sendiri dikenal dengan sebutan BAME (Black, Asian, Minority Ethnic).
Hasselbaink yang saat ini berstatus manajer Northampton Town (klub Inggris di League Two), adalah satu dari lima manajer BAME di empat divisi tertinggi sepakbola Inggris. Secara statistik, angka lima dari 92 posisi manajer yang tersedia jelas merupakan nominal yang amat kecil. Bahkan dari 20 kontestan Liga Primer, hanya Chris Hughton (manajer Brighton & Hove Albion) saja yang berasal dari etnis minoritas.
Rooney Rule dipercaya mampu mengubah statistik di atas, mengingat Amerika Serikat sukses menambah jumlah BAME dalam dunia kepelatihan olahraga dengan menerapkan Rooney Rule. Sekilas, tiada yang salah dengan aturan ini. Kebijakan lahir sebagai langkah afirmasi terhadap BAME yang kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif di dunia kepelatihan. Lantas, bagaimana BAME menanggapi kebijakan itu?
Pada suatu siang yang mendung di bulan November 2014, BBC sedang mewawancarai Hasselbaink. Kala itu, Hasselbaink baru saja ditunjuk jadi manajer klub bernama Burton Albion. Dalam momen eksklusif itu, Owen Phillips — sang pewawancara, melontarkan pertanyaan tentang Rooney Rule kepada Hasselbaink yang dijawab seketika tanpa jeda.
“Saya tidak akan pernah mau melakukan wawancara kerja hanya karena Rooney Rule” jawab Hasselbaink dengan tegas.
“Saya hanya bersedia melakukan pekerjaan karena saya adalah orang yang tepat (untuk pekerjaan itu)” Hasselbaink menambahkan.
Tiba-tiba langit Inggris tak lagi mendung. Uap panas muncul diiringi lagu perlawanan yang muram. Meskipun BAME, cara Hasselbaink menjawab pertanyaan jauh dari kata minder. Ia sedang berpesan kepada pemirsa, bahwa semua manusia, tidak peduli BAME atau bukan, berhak atas suatu pekerjaan. Persetan dengan mayoritas dan minoritas.
“Saya bangga berkulit hitam, tapi hal itu tidak mengubah cara saya memandang sesuatu. Saya tidak melihat diri saya sebagai panutan bagi kulit hitam, tapi saya melihat diri saya sebagai panutan untuk kulit putih, kulit hitam, atau siapapun” ujar Hasselbaink yang dari lahir sudah berkulit gelap.
Mahatma Gandhi pernah menulis dalam karyanya yang fenomenal berjudul All Men Are Brothers, bahwa bangsa-bangsa hidup rukun karena terdapat rasa saling mengindahkan di kalangan warganya. Tokoh humanis dari India itu juga menulis bahwa kebajikan atau kebatilan seseorang bukan hanya urusannya sendiri, melainkan jadi tanggung jawab seluruh kelompok masyarakatnya, bahkan tanggung jawab seluruh dunia.
Hasselbaink adalah satu dari sekian banyak golongan minoritas yang sedang melawan kebatilan dunia. Tindakan rasis adalah perbuatan tercela. Suatu sikap yang tidak dapat dibenarkan oleh pengecualian apapun. Rooney Rule mungkin terdengar sebagai aturan yang ramah, tetapi latar belakang adanya aturan itu justru dari ketidakramahan. Lantas yang harus diubah adalah pola pikir manusia. Hasselbaink sedang melakukan itu. Alih-alih berterima kasih karena sudah ada Rooney Rule, ia justru menekankan bahwa semua manusia punya kemampuan yang sama.
Namun satu orang Hasselbaink tidak akan cukup. Ketika polarisasi yang muncul ke permukaan sudah menjadi-jadi, maka manusia-manusia waras harus bersikap. Mayoritas-minoritas, putih-hitam, beriman-kafir, adalah sekat-sekat yang secara sadar dibingkai manusia. Saya membayangkan betapa sedih Mahatma Gandhi di svarga loka sana melihat tingkah laku anak manusia dewasa ini.
Hasselbaink akan terus melawan dan mengingatkan bahwa manusia setara. Hasselbaink adalah Hasselbaink. Ia bangga berkulit hitam tanpa berusaha membuktikan bahwa kulit putih tidak bermakna. Hasselbaink adalah manusia. Ia dengan segenap usaha dan mental yang kuat, berusaha membuktikan bahwa menjadi pelatih sepakbola adalah hak segala manusia. Termasuk dari golongan minoritas sekalipun.
Simak opini, komentar, dan sketsa adegan Rochy Putiray tentang jual-beli lisensi klub yang kerap terjadi di Liga Indonesia:
Komentar