Spanduk bertuliskan: “Las Malvinas Son Argentinas” dibentangkan pemain timnas Argentina di Stadion Ciudad de La Plata, Buenos Aires. Spanduk besar berwarna biru muda itu dibentangkan saat sesi foto tim di laga persahabatan melawan Slovenia, 7 Juli 2014. Sekitar 52 ribu penonton yang hadir merespon aksi tersebut dengan tepuk tangan meriah.
Tapi tidak ada tepuk tangan dari FIFA, yang berang dengan aksi tersebut. Badan tertinggi sepakbola dunia itu mengecam keras tindakan Argentina karena isi spanduk kental dengan muatan politik. Dalam bahasa Indonesia, kalimat yang tercantum dalam spanduk itu berarti “Malvinas bagian dari Argentina”.
Lima hari setelah pertandingan persahabatan Argentina melawan Slovenia, Komite Disiplin FIFA menjatuhkan sanksi denda sebesar 30 ribu Franc Swiss kepada Federasi Sepakbola Argentina (AFA). Biar bagaimana pun AFA layak dihukum, karena unsur politik haram hukumnya (menurut FIFA) menyusup di lapangan sepakbola.
Entah apa motif yang dilakukan para pemain Argentina membentangkan spanduk bertuliskan “Las Malvinas Son Argentinas” di laga persahabatan melawan Slovenia. Ada yang berpandangan bahwa aksi tersebut hanya untuk memanaskan rivalitas antara Inggris dan Argentina jelang Piala Dunia 2014.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa itu bertujuan untuk menghidupkan kembali klaim Argentina atas Kepulauan Falkland atau Islas Malvinas. Pada Maret 2013, melalui sebuah referendum, warga Kepulauan Falkland menyatakan sikap tetap menjadi bagian dari Inggris.
***
Kepulauan Falkland atau Islas Malvinas sejak dulu memang menjadi daerah sengketa Inggris dan Argentina. Islas Malvinas, adalah nama yang diberikan Argentina untuk kepulauan kaya minyak itu. Sementara Inggris, menyebutnya Falkland Islands.
Sejak abad 19, Inggris sudah menancapkan kedaulatannya di kepulauan Falkland. Namun, Argentina juga mengklaim kepulauan tersebut sebagai warisan kedaulatan Spanyol. Sengketa Inggris dan Argentina dalam memperebutkan Kepulauan Falkland memuncak di awal era 1980-an.
Pada 2 April 1982 tengah malam, di bawah perintah Presiden Leopoldo Galtieri, sekitar 600 junta militer Argentina melancarkan agresi ke Falkland. Di Agresi pertama, Argentina berhasil merebut wilayah timur Falkland tanpa perlawanan dari tentara Inggris. Saat itu, pasukan Inggris berhasil dilucuti tanpa pertempuran karena kalah jumlah.
Perlahan namun pasti, agresi Argentina terus berlanjut hingga akhirnya mereka berhasil menguasai seluruh wilayah Kepulauan Falkland. Sekejap, Argentina berpesta merayakan keberhasilan menduduki Falkland. Namun, mereka sepertinya tak mengira bahwa Inggris sedang menyusun rencana serangan balik untuk merebut kembali Kepulauan Falkland dari Argentina.
Pada 12 April, militer Inggris di bawah komando Perdana Menteri Margaret Thatcher, melancarkan serangan berantai yang melibatkan puluhan kapal perang dan 327.000 tentara. Perang teritorial itu berkecamuk menjadi perang terbuka di laut dan udara. Setelah Inggris berhasil merebut Darwin dan Stanley yang merupakan dua kota besar di Kepulauan Falkland, Argentina pun mengibarkan bendera putih.
Perang Falkland berakhir pada 14 Juni 1982. Meski terhitung singkat, namun pertempuran tersebut banyak memakan korban jiwa. di pihak Inggris, sebanyak 258 tentara gugur, sementara 777 tentara mengalami luka-luka, dan 59 lainnya tertangkap lawan. Sementara dari kubu Argentina, sebanyak 649 tentara tewas, 1.068 terluka, dan 11.313 tertangkap.
Perasaan masyarakat Argentina remuk redam, mengetahui fakta para pahlawan tempurnya tak berdaya melawan Inggris di Perang Falkland. Maklum, bagi masyarakat Argentina, Falkland merupakan bagian dari sejarah bangsa.
Masyarakat Argentina menganggap Kepulauan Falkland atau Islas Malvinas sebagai "warisan" kedaulatan dari pemerintahan Spanyol. Klaim tersebut mempunyai nilai emosional yang tinggi bagi Argentina. Bahkan klaim tersebut masuk dalam kurikulum sejarah di sekolah negeri Argentina dalam beberapa generasi.
Pasca Perang Falkland, hubungan diplomatik Inggris dan Argentina kian renggang. Permusuhan tersebut melingkupi semua bidang, tak terkecuali sepakbola. Empat tahun setelah Perang Falkland, Inggris dan Argentina bentrok di perempat final Piala Dunia 1986. Pertandingan tersebut pun berlangsung dalam tensi tinggi. Maklum, bagi kedua kesebelasan, pertandingan tersebut bukan sekadar persaingan memperebutkan tiket semifinal. Lebih dari pada itu, mempertaruhkan harga diri.
Argentina yang saat itu diperkuat pemain-pemain hebat seperti Diego Armando Maradona, Jorge Valdano, hingga Oscar Ruggeri tampil percaya diri menghadapi Inggris yang diperkuat Gary Lineker, Terry Butcher, Hingga Glenn Hoddle. Laga berlangsung sengit, yang kemudian dimenangkan Argentina 2-1.
Dalam pertandingan tersebut, dua gol yang dicetak Maradona di kemudian hari dianggap sebagai gol paling ikonik yang terjadi di Piala Dunia. Paling dikenang, tentu saja ‘gol tangan Tuhan’ yang dicetak Maradona ke gawang Peter Shelton di menit ke-51.
Usai mengalahkan Inggris, Argentina melaju ke semifinal hingga akhirnya meraih gelar juara Piala Dunia. Maradona mengatakan bahwa kekalahan Argentina dalam Perang Malvinas memberi motivasi tambahan bagi para pemain untuk mengalahkan Inggris.
Masyarakat Argentina bersuka cita menyambut keberhasilan tersebut. Khususnya saat Argentina berhasil memperdayai Inggris. Sedikit banyaknya, kesuksesan itu menjadi pelipur lara dari rasa sakit setelah menelan kenyataan pahit Argentina gagal merebut kedaulatan di Kepulauan Falkland.
Memasuki era 1990-an, perlahan Inggris dan Argentina mulai memperbaiki hubungan diplomatis yang sempat memanas pasca Perang Falkland. Tepat pada September 1995, Inggris dan Argentina resmi berdamai. Perdamaian ditandai dengan penandatanganan kerjasama eksplorasi minyak dan gas di Atlantik Barat Daya. Serta, menghapuskan masalah yang potensial sulit serta membuka jalan untuk kerja sama lebih jauh antara kedua negara.
Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, hubungan Inggris dan Argentina pun menjadi lebih harmonis dari sebelumnya. Tapi, itu tak berlaku di lapangan hijau. Rivalitas Inggris dan Argentina tetap memanas. Permainan keras atau keributan antarpemain di lapangan bukan pemandangan aneh, saat Argentina bertemu Inggris, khususnya di ajang resmi seperti Piala Dunia.
Misalnya di Piala Dunia 1998. Saat itu, Inggris dan Argentina jumpa di babak 16 besar. Pertandingan berlangsung dalam tensi tinggi. Di pertandingan yang dimenangi Argentina melalui adu penalti itu, konflik antara David Beckham dan Diego Simeone menjadi sorotan.
Saat laga memasuki menit ke-47, Beckham dan Simeone terlibat duel perebutan bola di tengah lapangan. Dan pada menit kedua babak kedua, insiden itu terjadi. Simeone menabrak Beckham dari belakang hingga tersungkur. Wasit Kim Nielsen meniup peluit dan bersiap memberi Simeone kartu kuning. Tapi, belum sempat kartu kuning mengacung di wajah Simeone, sosok yang kini menjadi pelatih Atletico Madrid itu malah ikut tersungkur, tersandung kaki Beckham.
Dengan kecerdikannya, Simeone mengerang kesakitan sambil menunjuk Beckham, meminta wasit menghukum ikon sepakbola Inggris itu diganjar kartu. Tekanan besar dirasakan Nielsen, karena pemain Argentina lainnya seperti Juan Sebastian Veron dan Gabriel Omar Batistita ikut memprovokasi. Nielsen yang termakan provokasi pemain Argentina langsung menghadiahi Beckham kartu merah; Simeone hanya diganjar kartu kuning.
***
Menyoal rivalitas Inggris dan Argentina di ranah sepakbola, sebenarnya hubungan kedua negara sudah memanas jauh-jauh hari sebelum pecahnya Perang Falkland. Awal mula rivalitas tersebut ada di Piala Dunia 1966 di Inggris. Saat itu, Argentina dan Inggris jumpa di perempat final. Pertandingan tersebut dimenangi Inggris 1-0. Tapi publik sepakbola Argentina tidak bisa menerima kekalahan tersebut, karena menilai Inggris merampok kemenangan tersebut.
Dari kekalahan tersebut benih-benih kebencian publik sepakbola Argentina atas Inggris ini mulai tumbuh. Maka tak heran, meski hubungan bilateral Inggris dan Argentina membaik pasca Perang Falkland, hubungan kedua negara tersebut tak pernah akur di lapangan hijau. Bahkan permusuhan itu abadi hingga saat ini.
Perseteruan tidak hanya melibatkan pemain, tapi juga suporter kedua kesebelasan. Di Piala Dunia 2014 Brasil, Argentina dan Inggris memang tak bersua. Tapi sebelum turnamen tersebut berlangsung, Ultras Argentina sudah menyuarakan perang terhadap Hooligans Inggris.
Di Piala Dunia 2018 yang akan berlangsung di Rusia pada Juni mendatang, Ultras Argentina sudah membentuk persekutuan dengan Ultras Rusia untuk menghajar Hooligans Inggris.
Komentar