Kaliningrad telah melangsungkan pertandingan Piala Dunia 2018 terakhirnya pada 28 Juni lalu. Meski total hanya menggelar empat laga, rasanya jumlah itu sudah cukup untuk menambahkan sisi historis dari kota yang telah berdiri sejak 2 Juli 1255 ini.
Inggris dan Belgia mendapatkan `kehormatan` menjadi dua tim terakhir yang bermain di Arena Baltika. Pertandingan terbilang berjalan membosankan. Kedua tim sudah sama-sama memastikan diri lolos ke babak 16 besar dan menurunkan tim lapis kedua. Namun, para suporter yang hadir tidak terlalu peduli, terutama suporter Inggris.
"Auf Wiedersehen! Auf Wiedersehen!" ("Sampai Jumpa! Sampai Jumpa!") seru para suporter Inggris yang memenuhi tribun sambil melompat-lompat. Kata-kata tersebut jelas ditujukan kepada juara bertahan Jerman yang dipastikan tersingkir sehari sebelumnya.
Suporter The Three Lions memang menganggap Jerman sebagai salah satu musuh abadi (meskipun tidak sebaliknya). Persaingan mereka tidak terbatas di atas lapangan hijau. Ketika Perang Dunia ke-II, Inggris pun berseberangan dengan Jerman. Dan, hanya sedikit tempat yang lebih pas untuk mengejek Jerman ketimbang Kaliningrad.
Sekitar 74 tahun lalu, kota yang masih bernama Königsberg ini hancur lebur dibombardir oleh angkatan udara Britania Raya. Kota ini kemudian berpindah kepemilikan ke tangan Uni Soviet melalui Perjanjian Postdam mengenai pembagian daerah administrasi Jerman seusai Perang Dunia ke-II.
Penunjukkan Kaliningrad sebagai salah satu kota penyelenggara Piala Dunia 2018 sendiri menjadi berkah tersembunyi bagi 459.000 penduduknya.
Bangunan-bangunan tua dipercantik. Dinding-dinding di jalan raya dihiasi dengan gambar-gambar terkait Si Kulit Bundar. Reruntuhan stana peninggalan Jerman yang dihancurkan berdasarkan perintah mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet Leonid Brezhnev pada 1967 pun dibuka untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir.
Jika sebelumnya Kaliningrad hanya menjadi tempat para turis mengenang darah-darah yang tertumpah, selama kurang lebih setengah bulan terakhir mereka berpesta dengan orang-orang yang datang dari pelbagai belahan dunia. Musik membahana hampir ke seluruh penjuru kota.
Seorang penjual Kvass (minuman fermentasi roti hitam tradisional Slavia dan Baltik) bernama Lyudmila Ivanova mengatakan kepada Independent bahwa ia "tidak pernah melihat para tetangganya sesenang ini atau kotanya secantik ini".
Kaliningrad adalah kota yang terasing dari Rusia sejak keruntuhan Uni Soviet pada 1991. Mereka berjarak sekitar 1.300 kilometer dari ibu kota Moskow, terjepit di antara Polandia, Lithuania, serta Laut Baltik. Sampai-sampai, kelakar yang tumbuh di kalangan penduduk Kaliningrad ketika ingin pergi ke Moskow adalah "saya akan pergi ke Rusia".
https://twitter.com/panditfootball/status/1012383025630404609
Hal ini pula yang akhirnya membuat Kaliningrad seakan menjadi negara berdikari. Keterasingan memaksa mereka bertahan hidup dengan caranya sendiri.
Apabila stereotip warga Rusia pada umumnya adalah malas berpergian ke luar negeri, lain cerita dengan warga Kaliningrad. Berkunjung ke negara tetangga seakan menjadi keharusan sekaligus pemenuhan kebutuhan (baca: rekreasi).
"Orang-orang selalu menyamakan kami dengan orang-orang Amerika Serikat. Keluarga kami berasal dari pelbagai tempat di seluruh Uni Soviet dan menciptakan sebuah melting pot dengan sebuah etos baru," tutur jurnalis Oleg Kashin yang lahir di Kaliningrad kepada Guardian.
Kehadiran Piala Dunia pun memberikan warna lain dalam arsitektur kota. Bangunan bergaya brutalis Soviet dan rumah-rumah ala Bavaria kini berdampingan dengan stadion modern berkapasitas 35.000 penonton.
Stadion ini sebenarnya adalah stadion terkecil kedua di Rusia setelah Stadion Yekatenriburg. Namun, mengingat klub lokal Baltika yang berlaga di divisi dua sepakbola Rusia rata-rata hanya memiliki 8.000 penonton per laga, tentu stadion ini menjadi teramat `megah`.
Maka, dapat dibayangkan ketika Piala Dunia pergi, Kaliningrad akan kembali sunyi. Hidup dalam kesendiriannya yang damai hingga waktu yang belum ditentukan.
Komentar