Asia bukan kekuatan besar dalam peta persaingan sepakbola internasional. Namun urusan menjadi berbeda ketika secara spesifik berbicara mengenai sepakbola putri, dengan Jepang sebagai ratunya.
Sepakbola putri di Jepang baru mulai berkembang setelah Olimpiade Tokyo 1964. Kendati sepakbola putri sendiri sebenarnya baru menjadi nomor yang dipertandingkan di Olimpiade pada 1996, pesta olahraga terbesar dunia itu berperan besar atas penyebaran budaya olahraga ke seluruh penjuru Jepang.
Penggerak utamanya adalah siswi-siswi Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di wilayah Kansai, terutama di Kota Kobe, Kyoto, dan Osaka.
Pada 1975, Liga Sepakbola Putri Kansai terbentuk. Pesertanya antara lain anak-anak sekolah umum, sekolah privat, dan bahkan ibu-ibu wilayah sekitar. Cara ini pun menjadi template lahirnya klub-klub sepakbola di wilayah lain.
Pesatnya perkembangan sepakbola putri membuat pemerintah Jepang turut bergerak cepat. Pada 1979, mereka menciptakan Federasi Sepakbola Putri Jepang. Empress`s Cup, turnamen resmi antar kesebelasan sepakbola putri, bergulir setahun kemudian.
Tsunami dan Prestasi
Kendati sepakbola putri Jepang relatif berkembang dari tahun ke tahun, mereka tetap kesulitan untuk unjuk gigi di pentas internasional pada era 1990-an dan 2000-an.
Dalam lima Piala Dunia Peremuan pertama yang diikuti (1991, 1995, 1999, 2003, dan 2007), prestasi Jepang sangatlah buruk. Catatan terbaik mereka hanya lolos ke perempat final pada 1995, sedangkan sisanya selalu tersingkir di fase penyisihan grup.
Tanda-tanda kebangkitan baru terjadi ketika Norio Sasaki ditunjuk sebagai pelatih pada 2008. Nadeshiko (julukan tim sepakbola putri Jepang) berhasil menempati peringkat keempat dalam Olimpiade Beijing. Namun, catatan emas baru tercipta pada 2011.
Negara Jepang dilanda gempa berkekuatan 9 skala ritcher yang menimbulkan tsunami pada Maret 2011. Ini adalah gempa paling kuat yang pernah tercatat dalam sejarah di Jepang, terkuat keempat di seluruh dunia. Lebih dari 15.800 orang meninggal dunia, 6.100 orang terluka, dan 2.500 orang dinyatakan hilang.
Empat bulan setelah tragedi tsunami, Nadeshiko berangkat ke Jerman. Mereka harus bermain di Piala Dunia Perempuan.
Tidak diunggulkan dan masih dirundung duka, Nadeshiko justru tampil gemilang. Mereka menciptakan kejutan dengan mengalahkan tuan rumah Jerman di babak perempat final. Swedia pun dibantai 1-3 di semifinal.
Meski demikian, Jepang tetaplah bukan favorit di laga final yang digelar pada 17 Juli 2011 tersebut. Maklum, lawan yang dihadapi adalah Amerika Serikat (USWNT), salah satu kesebelasan terkuat di dunia.
Bagaimanapun, ketika pertandingan usai, adalah Jepang yang berbahagia. Mereka dua kali tertinggal, tetapi dua kali pula berhasil menyamai kedudukan. Hingga akhirnya, mereka keluar sebagai juara melalui babak adu penalti.
Kiper USWNT, Hope Sole, berbesar hati mengakui kekalahan.
"Saya benar-benar yakin bahwa ada hal besar yang telah mendorong tim ini," ujar Solo seperti yang dikutip The Guardian.
Solo tidak sepenuhnya salah. Jika ada satu hal yang menjadi suntikan semangat bagi para pemain Jepang, maka itu adalah tangis yang masih belum kering di kampung halaman.
Sasaki diketahui menunjukkan rekaman video terkait bencana tsunami sebelum Jepang menghadapi Jerman dan Swedia.
"Anak-anak perempuan saya bermain sepenuh hati. Saya bisa merasakan energi berasal dari semua orang yang menyaksikan melalui TV di Jepang," tutur sosok yang mundur sebagai pelatih Nadeshiko pada 2016 tersebut.
Nadeshiko menjadi kesebelasan Asia pertama yang mampu menjuarai turnamen dunia hingga saat ini. Kemenangan mereka sampai menjadi rekor baru di media sosial dengan jumlah 7.196 tweet per detik, mengalahkan semifinal Copa Amerika antara Brasil dan Paraguay (7.166 tweet per detik), Superbowl antara Green Bay Packers dan Pittsburg Steelers (4.064 tweet per detik), hingga Royal Wedding antara Prince William dan Kate Widdleton (3.996 tweet per detik).
Komentar