Sebelum Paris Saint-Germain (PSG) menjuarai Liga Perancis lima kali beruntun, Montpellier adalah klub terakhir yang mampu menjuarai divisi tertinggi sepakbola Perancis, pada 2011/12. Gelar itu merupakan yang pertama dalam sejarah klub. Benjamin Stambouli pernah menjadi bagian dari sejarah itu.
Sebelumnya, pria kelahiran 13 Agustus 1990 itu sudah moncer bersama Montpellier junior. Dia sanggup membawa La Paillade menjuarai Coupe Gambardella (turnamen sepakbola junior bergengsi di Perancis) musim 2009 setelah mengalahkan FC Nantes. Di partai final, kedua tim bertanding di Stade de France, stadion kebanggan masyarakat Perancis. Tidak heran setelah hari itu, Benjamin Stambouli langsung promosi ke tim senior.
Andrew Gibney, seorang jurnalis FourFourTwo pernah menulis tentang Stambouli pada 2014 silam. “Dia (Stambouli) mungkin bukan pemain paling spektakuler di lapangan. Namun sulit rasanya menepikan begitu saja sumbangsih wakil kapten Montpellier itu terhadap klub.” Opini Gibney diperkuat oleh pernyataan Louis Nicollin selaku presiden klub. “Saya akan sangat bahagia jika dia tetap tinggal di sini, karena dia adalah kapten masa depan kami," ujar sang presiden menanggapi isu transfer sang pemain andalan.
Maklum, berkat penampilan konsisten Stambouli, dia banyak diincar klub-klub Eropa. Nicollin merasa perlu membuat pernyataan itu untuk memagari sang pemain dari agen-agen yang datang menggoda. Namun pernyataan itu tidak berarti apa-apa karena toh Stambouli tergoda juga pindah ke klub Inggris bernama Tottenham Hotspur.
Berita kedatangan Stambouli bersamaan dengan kedatangan Mauricio Pochettino, Kepala Pelatih Spurs yang baru. Para pendukung Spurs lantas berharap Stambouli bakal bersinar di bawah asuhan pelatih asal Argentina itu. Namun harapan tinggal harapan.
Stambouli gagal menembus tim utama dan akhirnya gagal bersinar. Kontrak berdurasi lima tahun pupus sudah setelah dirinya hanya bermain kurang dari 12 bulan. Pochettino agaknya tidak tertarik, meski Stambouli berstatus juara liga pada musim sebelumnya di Perancis.
Gagal bersinar di Inggris, Stambouli kembali ke kampung halamannya. Namun bukan Montpellier klub yang dulu dibela, melainkan PSG. Dengan mahar sekitar enam juta paun, Stambouli resmi berlabuh di ibukota Perancis.
“Saya belum berencana meninggalkan Liga Inggris setelah satu tahun, tetapi ketika klub seperti PSG memanggil Anda, maka itu membuat pilihan jadi jauh lebih mudah.” Kata Stambouli dalam situs resmi PSG. Itu adalah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Stambouli di PSG. Setidaknya ada dua hal yang tersirat dari sana. Pertama, ia menyesal baru sebentar berada di kompetisi Liga Inggris. Kedua, ia senang pindah ke PSG.
Tampaknya kesenangan itu tidak bertahan lama. Seperti kisah petualangannya di Spurs, Stambouli pun hanya bertahan satu tahun di PSG. Jika di Inggris dia tidak dilirik oleh Pochettino, maka di PSG jasanya diabaikan oleh dua pelatih sekaligus. Di bawah asuhan Laurent Blanc, Stambouli hanya sebagai penghuni bangku pemain cadangan. Sempat ada harapan untuk menembus tim utama setelah Blanc dipecat. Namun sayang, Unai Emery, pelatih baru yang menggantikan posisi Blanc, lebih percaya kepada Grzegorz Krychowiak, Marco Verratti, dan Adrien Rabiot.
Melihat situasi seperti itu, tak heran Stambouli meminta pihak klub segera mencarikan klub baru untuk dirinya. Setidaknya ada Real Betis, AC Milan, dan Schalke yang gencar melakukan kontak dengan agen Stambouli. Namun pilihan jatuh ke nama terakhir.
Di Jerman, nasib Stambouli lebih baik dibandingkan dengan kariernya di Inggris dan Perancis. Resmi pindah pada musim panas 2016, nama Stambouli masih bertahan di Schalke hingga hari ini. Bahkan dirinya sanggup menembus pemain utama dan menjaga kepercayaan sang pelatih.
Jika melihat perjalanan karier Stambouli, maka adagium “hidup itu seperti roda yang berputar” benar adanya. Stambouli pernah di atas saat masih berkostum Montpellier. Namun ia langsung menggelinding bersama Tottenham dan PSG. Bersama Schalke, dia perlahan bangkit dan mungkin sedang mengais sisa-sisa kejayaan saat di Montpellier dulu.
Komentar