Mustahil tidak menyertakan nama Jerome Boateng dalam daftar berisi para bek tengah terbaik di dunia. Tangguh di darat dan udara serta andal dalam membangun serangan, pemain kelahiran 3 September 1988 ini adalah salah satu pemain bertahan terlengkap yang pernah ada. Kerja keras adalah kuncinya, tapi tanpa kedua kakak tirinya dan Berlin, Boateng tak akan menjadi seperti sekarang.
Sejak masih kanak-kanak, Boateng sudah bersaing dengan dua pemain yang lebih baik darinya. Di antara Boateng yang lain—George dan Kevin-Prince—Jerome adalah pemain yang paling buruk. Tolok ukur yang paling mudah: sementara George dan Kevin-Prince sudah cakap menggunakan kedua kaki, Jerome masih bergantung kepada kaki kanan.
“Mereka dapat bermain dengan kaki kiri mereka juga, tapi aku tidak,” ujar Jerome, dikutip dari laman web Bundesliga. “Jadi aku melatih kaki itu, dan tidak sia-sia.”
Kepada surat kabar Berliner Zeitung pun Jerome mengakui hal yang sama. “Kedua kakakku dapat menembak lebih baik dariku. Jadi aku mulai berlatih dengan teman-temanku dan selalu memaksa diri untuk hanya menembak dengan kaki kiriku. Kemudian kaki kiriku jadi lebih baik dari kaki kiri kedua kakakku.”
Jerome selalu bermain di tim yang sama dengan George dan Kevin-Prince. Namun pertandingan rekreasi di masa kecil ketiganya, bagi Boateng, lebih mirip pertandingan. Ini karena Jerome hanya bermain dengan kedua kakaknya di akhir pekan. Di hari lain, dia bermain dengan kawan-kawannya. Bolehlah dilihat seperti ini: Senin sampai Jumat Jerome berlatih, di akhir pekan dia membuktikan hasil latihannya di hadapan George dan Kevin-Prince.
Ini karena sejak usia 4 tahun, Jerome tinggal bersama ibunya di pusat kota sementara George dan Kevin-Prince bersama ayahnya di Wedding, sebuah wilayah yang sebenarnya tidak pinggiran-pinggiran amat.
“Aku tumbuh di wilayah Berlin yang berbeda dengan kedua kakakku, tapi itu mengubahku dan membuatku menjadi lebih tangguh, karena aku selalu bermain melawan anak yang lebih tua dan kami selalu bermain di permukaan beton,” ujar Jerome kepada VICE. “Tidak ada yang namanya pelanggaran. Kau lebih muda dan tidak lebih kuat tapi itu bukan alasan untuk tidak mengerahkan kemampuan terbaikmu.”
Perkembangan tubuh Jerome yang pesat tidak membantunya dalam kerasnya permainan sepakbola jalanan. Malah, pertumbuhan yang pesat membuatnya rentan menderita cedera lutut dan punggung. Walau demikian, hal tersebut membantu Jerome berkembang dengan cara lain.
“Aku cukup dini belajar cara merawat tubuh untuk mencegah cedera,” ujar Jerome kepada majalah Socrates. “Aku mulai melakukan latihan pencegahan, seperti latihan punggung tertentu. Hasilnya nyata dan mengajariku untuk melatih semua kelemahan—bukan hanya kelemahan sebagai pesepakbola.”
Persaingan usia dini, kerasnya sepakbola jalanan, dan rentannya tubuhnya terhadap cedera bersama-sama telah membentuk Jerome menjadi pemain yang lebih baik. Namun itu belum semuanya. Bertambahnya usia membuat Jerome menghadapi rintangan baru: godaan dunia malam. Seperti yang sudah-sudah, rintangan ini pun Jerome lewati.
“Teman-teman selalu ingin keluar malam, ingin bersenang-senang, main perempuan… namun dengan [menghindari] itu aku belajar fokus,” ujar Boateng kepada Deutsche Welle.
Perlu dicatat bahwa menolak godaan dunia malam di Berlin jauh lebih sulit ketimbang menghindari godaan dunia malam di kota-kota lain di Jerman. Namun Jerome tetap mampu mengatasinya demi mencapai tujuan menjadi pesepakbola profesional. Dengan kerja keras di lapangan (dan jalanan) serta disiplin di luar latihan, Jerome berhak berpuas diri. Walau demikian, dia cukup dewasa untuk mengakui bahwa ada faktor lain yang membantunya: keberuntungan.
“Jika Arne Friedrich tidak cedera pada 2006, aku mungkin tidak mendapat kesempatan di Hertha Berlin,” ujar Jerome kepada Socrates. “Jalanku mungkin lebih panjang, aku mungkin menempuh jalan yang berbeda. Siapa tahu?”
Sekarang, setelah semua yang dilewatinya, Jerome tidak terbantahkan lagi adalah yang terbaik di antara Boateng bersaudara.
Komentar