Alessandro Del Piero merupakan legenda sepanjang masa Juventus dan Italia. Semua trofi sudah diraihnya. Untuk mengetahui sepak terjang kariernya, banyak referensi di dunia daring yang bisa menggambarkannya. Karenanya ketika dia meluncurkan buku pertamanya, Alessandro Del Piero: Giochiamo Ancora, pemain kelahiran 9 November 1974 tersebut lebih banyak bercerita tentang Alessandro, sosok Del Piero di luar lapangan.
"Dunia sepakbola memang indah sekaligus aneh. Ada beberapa orang sinting di planet ini yang berusaha mengeksploitasi pemain tanpa sedikit pun menganggap pemain sebagai manusia. Seorang kawan harus menyukai sosok saya dan tertarik dengan diri Alessandro, bukannya Del Piero. Namun sayangnya, ini tidaklah mudah," tulis Del Piero pada bab Persahabatan.
Del Piero bukannya membenci sepakbola. Sama sekali tidak. Sebaliknya, sepakbola adalah kehidupan baginya. Ia telah menyerahkan seluruh dirinya pada sepakbola, pada hasrat kemenangan dan hasrat untuk menjadi yang terbaik. Alasan itu pula yang membuatnya tetap bermain sepakbola, melanjutkan karier hingga ke Australia dan India, ketika Juventus memutuskan tak memperpanjang kontraknya pada 2012. "Sepakbola adalah gairah, juga impian," katanya.
***
"Saya tidak ingat kapan Alessandro berubah menjadi Del Piero, tapi sebagian dari diri Del Piero memang sudah ada sejak lama dalam diri Alessandro."
Alessandro kecil bermain sepakbola dengan spons dan bola tenis. Ia bermain "bola" di garasi rumahnya yang terletak di daerah pedalaman, Saccon, di San Vendemiano. Alessandro yang mengenal "bola" pada usia 5 tahun itu menjadikan sakelar lampu sebagai target tendangan. Mungkin inilah awal Del Piero muncul dalam diri Alessandro karena Del Piero adalah seorang eksekutor bola mati yang handal.
Meski tinggal di daerah pedalaman, Alessandro tidak berasal dari keluarga tidak mampu. Ayahnya, Gino Del Piero, memiliki mobil Fiat 27 berwarna krem. Pekerjaan ayahnya tukang listrik, tanpa perlu menyebutnya dengan "hanya". Semua pekerjaan, selama bertujuan mulia, sama derajatnya. Bahkan selain ingin jadi pemain sepakbola, Alessandro juga tak malu menyebut dirinya bercita-cita menjadi sopir truk.
"Di tugas esai sekolah dasar saya menulis bahwa saya ingin menjadi tukang listrik seperti Papa. Saya menulis bahwa saya juga ingin menjadi koki atau sopir truk. Menjadi koki karena saya sangat suka makan, dan sampai sekarang pun masih —saya benar-benar suka makan. Menjadi sopir truk supaya saya bisa berkendara serta mencari tahu soal dunia. Selain itu, truk sendiri merupakan kendaraan yang sangat cantik."
Alessandro kecil takut bercita-cita menjadi pesepakbola. Saat itu, menurutnya, sepakbola bukanlah mata pencaharian. Tapi sang ayah, yang dia panggil "Papa", berusaha memenuhi hasrat anak keduanya itu dalam bermain sepakbola. Garasinya tersedia seluas-luasnya untuk Alessandro bermain bola, dengan mobil yang akhirnya selalu diparkir di luar. Di lapangan dekat rumahnya, sang ayah memasangkan lampu-lampu di sekitar stadion agar Alessandro bisa bermain sepakbola sampai malam hari.
Ya, Alessandro senang bermain sepakbola sampai malam hari. Dari bertujuh sampai sendirian, dia tak peduli. Dia tetap senang bermain sepakbola dengan bayangannya sekalipun. Yang paling penting, dia selalu bersama sahabat terbaiknya: bola. Sama seperti Tsubasa Ozora dalam tokoh anime, Alessandro memang menganggap bola sebagai teman. Oleh karena itu pula sosok Del Piero pun menyukai anime Captain Tsubasa.
Alessandro tak bermusuhan dengan kesendirian. Di banyak momen, dia justru lebih nyaman tak dikelilingi banyak orang. Dia memang cenderung pemalu dan tak banyak bicara. Dengan sang Papa pun, ketika dia dewasa sekalipun, dia jarang mengobrol meski sering berada dalam situasi dan tempat yang sama.
Saat menjadi Del Piero pun sifat Alessandro ini terbawa termasuk dalam hubungan dengan rekan setim. Dia tak masalah jika rekan setimnya tidak menganggapnya sebagai sahabat. Toh, Del Piero pun kerap menganggap rekan setimnya sebagai rekan kerja profesional. Dalam bukunya, dia menceritakan momen bersama Paolo Montero, bek Juventus asal Uruguay.
"Saya dan Montero tidak bisa dibilang berteman baik, kami tidak pernah pergi makan malam bersama, tidak pernah saling mencurahkan isi hati, hubungan kami akur dan normal seperti rekan kerja pada umumnya. Respek, kerja sama di lapangan, tapi tidak lebih," tulis Del Piero yang kemudian menceritakan sikap murah hati Montero di saat dirinya sedang diliputi kegalauan usai mengalami cedera lutut pada musim 1999-2000.
Montero, Del Piero, dan Dimas Manuel
Alessandro bukannya orang tertutup. Dia malah suka mendengarkan cerita orang lain. Dia sadar bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Akan tetapi, dia tidak bisa menjadi orang yang selalu mencurahkan setiap isi hatinya, atau apa yang dirasakannya, pada orang lain dengan begitu saja.
Cuma ada dua orang yang dianggap Alessandro sebagai sahabat: Pierpaolo dan Nelso. Keduanya berteman baik dengan Alessandro sampai-sampai keduanya menjadi saksi pernikahan Alessandro dan Sonia Amoroso, pernikahan yang membuat Alessandro dikarunia tiga anak. Di antara Pierpolo dan Nelso, salah satunya adalah penggemar Inter, satunya lagi tidak menyukai sepakbola sama sekali. Bagi Alessandro, persahabatan bukan berarti mengenal banyak orang, melainkan sesuatu yang berharga sekaligus rapuh yang bertahan sejak kita kecil sampai seumur hidup.
"Saya, Pierpaolo, dan Nelso sudah berbagi segalanya sejak dulu ketika kami baru mulai bermimpi, sampai mimpi-mimpi itu terwujud. Persahabatan terbentuk atas dasar kesamaan, terutama saat kami semua masih kecil. Tahun-tahun kunci terjadi di antara 10-18 tahun —pada periode itulah kami bisa menjadi sahabat seumur hidup."
"Ketika saya meninggalkan kampung halaman, persahabatan kami menjadi agak sedikit tidak biasa, tapi saya tidak pernah kehilangan mereka. Ketika saya pulang, meski kami tidak saling menghubungi selama berminggu-minggu, rasanya seolah kami baru saja mengobrol lima menit yang lalu. Semuanya seperti kembali seperti semula dan saya rasa persahabatan seperti ini takkan berubah. Kami menyukai hal sederhana dan saling memahami —yang semacam ini tak akan saya temukan di antara para jawara yang bermain di final Piala Dunia," sambungnya.
Karenanya Alessandro tidak memperjuangkan karier Del Piero lewat persahabatan di lapangan hijau. Ia bercerita bagaimana Juventus asuhan Giovanni Trappatoni, awal karier Del Piero di Juventus, bukan kesebelasan tempat memupuk pertemanan. Juventus gagal ketika itu, tapi dia tak yakin penyebab utama kegagalan Juve kala itu dipengaruhi kualitas pertemanan antar rekan setim.
Pada musim terakhirnya di Juventus, hubungan Del Piero dan kesebelasan yang ia cintai itu pun kurang harmonis. Tak heran karena Del Piero pun, seperti dalam pengakuannya di kemudian hari, tetap bahagia dengan apa yang sudah terjadi, termasuk kariernya setelah tak lagi berseragam bianconeri.
Lagi pula, Alessandro menyadari bahwa Del Piero telah bertemu dengan banyak pemain dan bermain dengan skuat yang berbeda-beda dalam 20 tahun di Juventus. Toh, Del Piero sang penyendiri tetap meraih semua kesuksesan. Kesedihan justru datang dari kehidupan Alessandro sebagai pribadi Del Piero yang sebenarnya.
Alessandro menjadi sosok yang tak bisa melupakan bagaimana rasanya menjalani kehidupan usai Del Piero cedera lutut di Udine pada 1998, saat dituduh menggunakan doping, pencabutan dua scudetto Juventus karena skandal Calciopoli, musim terakhir di Juventus dan kehilangan sang Papa tercinta. Hal terakhir adalah hal yang paling menyakitkan Alessandro, bahkan sampai saat ini.
"Rasa sakit terhebat dalam hidup saya adalah kehilangan ayah saya. Saya pikir sakitnya masih belum pulih dan masih mencari tahu cara memulihkannya. Saya masih belum mengeluarkan seluruh kesedihan saya semenjak Papa tiada dan barangkali, cepat atau lambat, saya akan melakukannya."
Gino Del Piero menderita penyakit serius yang tidak bisa disembuhkan sejak lama dan meninggal pada 2001, ketika Alessandro berusia 27 tahun. Alessandro bukannya tanpa upaya menyembuhkan sang Papa. Tapi memang penyakit misterius sang Papa di luar kendalinya, merupakan kehendak Tuhan. "Kegagalan saya menyembuhkan Papa, dengan semua uang dan kontak yang saya miliki, mengajarkan betapa rapuh dan tidak pastinya kehidupan ini," sesalnya.
Alessandro Del Piero bersama kedua orang tuanya, Gino dan Bruna
***
Alessandro adalah Del Piero, begitu juga sebaliknya. Tapi Alessandro lebih ingin orang-orang mengenalnya pun sebagai Alessandro, tidak hanya sebagai Del Piero. Alessandro adalah seseorang yang sudah ada sebelum Del Piero si atlet sepakbola itu lahir, sampai Del Piero mulai dilupakan banyak orang karena kariernya sebagai pemain sudah terhenti sejak 2015 silam. Sedangkan Del Piero adalah seseorang yang memahami 10 hal sifat dalam kehidupan lewat sepakbola untuk meraih tangga kesuksesan.
"Anggap saja ini buku harian yang memuat sepuluh hal yang telah saya pelajari. Sepuluh, nomor punggung saya. Sepuluh konsep kunci yang menuntun saya, tidak hanya di lapangan. Dan, biar saya jelaskan, buku ini bukan memoar, bukan otobiografi. Hal-hal tersebut biasa ditulis pada hari-hari terakhir, dan rasanya itu masih jauh di depan sana."
Begitu tulis Del Piero, atau Alessandro, dalam prakata buku Alessandro Del Piero: Playing On. Paragraf di atas, selain untuk menjelaskan rangkuman isi esainya itu, menjadi penegasan bahwa Alessandro Del Piero belum akan menemui akhir karier. Del Piero memperkenalkan sosok Alessandro yang selama ini banyak orang tidak tahu. Di situ jelas terlihat, bahwa meski karier Del Piero telah habis, masih ada sosok Alessandro yang bisa terus berkarya menjadi dirinya sendiri, tanpa karakter Del Piero sekalipun.
Baca juga:
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan Si Nyonya Tua Pada Del Piero
Romantisme Del Piero di Bernabeu
Komentar