David Désiré Marc Ginola dikenal dengan liukan tubuhnya yang erotis tatkala mengendalikan bola di lapangan hijau. Bukan itu saja, pria kelahiran Gassin, 25 Januari 1967 ini juga punya paras yang menawan. Tak heran jika kemudian dirinya menekuni dua profesi sekaligus pada masa jayanya, sebagai pesepakbola dan model.
Sebagai seorang gelandang menyerang, Ginola dikenal sebagai pemain yang tak mau memedulikan pertahanan. Wajar jika kemudian banyak pihak yang menilainya arogan. “Beri bola kepadaku dan biarkan sisanya menjadi urusanku,” ujarnya seperti dikutip FourFourTwo.
Namun sulit dipungkiri jika Ginola muda memang sangat berbakat dalam sepakbola. Sebelum mendapatkan jam terbang selama 10 musim di Liga Perancis dan bertualang hebat di Inggris, dia menata karier gemilang sebagai pemain terbaik di turnamen usia muda paling terkenal di dunia bernama Toulon Cup pada 1987. Turnamen itu membuat nama Ginola sejajar dengan Jean-Pierre Papin, Alan Sharer, Claudio Taffarel, dan bintang top lainnya yang merupakan alumnus turnamen ini.
Tumbuh di Perancis, Menjadi Dewasa di Inggris
Di negerinya, Perancis, Ginola memulai karier profesionalnya bersama Toulon pada 1985. Dia kemudian berpindah-pindah kesebelasan dari Racing Club de Paris kemudian ke Stade Brestois. Ginola baru mendapatkan trofi juara bersama Paris Saint-Germain (PSG) pada pada musim 1993/94.
Setelah musim hebat bersama PSG, dia mulai beredar di kompetisi Liga Primer Inggris. Ada empat klesebelasan yang pernah dibelanya, yaitu Newcastle United (1995-1997), Tottenham Hotspur (1997-2000), Aston Villa (2000-2002), dan Everton (2002). Namun namanya lebih melekat dengan Newcastle dan Spurs.
Ginola memang tidak meninggalkan tinta emas yang patut dikenang oleh publik Newcastle upon Tyne. Akan tetapi pengorbanannya bergabung bersama kesbelasan ini layak diingat. Pemain yang identik dengan nomor 14 ini mengabaikan dua kesebelasan raksasa, yakni Barcelona dan Arsenal, demi bisa bergabung bersama tim asuhan Kevin Keegan di St. James Park, meski pada akhirnya mereka hanya finis di urutan kedua pada 1995/96.
“Liga Premier Inggris sulit bukan karena permainannya sulit. Itu karena, sampai peluit akhir, permainan tidak pernah berakhir. Di Italia kamu unggul 2-0, pertandingan berakhir. Di Inggris, dengan 10 menit tersisa, kamu unggul 2-0 dan kamu bisa kalah 3-2,” ucap Ginola, mengenang musim bersama The Magpies, dalam sebuah wawancara bersama Sky Sports.
Berbeda dengan apa yang dijalaninya bersama The Magpies, bersama The Lilywhites kariernya melambung. “Musim 1998/99 mungkin adalah yang terbaik. Karena aku suka bermain untuk Spurs. White Hart Lane adalah kebunku. Hubungan dengan penggemar sangat mengagumkan. Aku berumur 30, 31, 32 dan ini adalah saat kamu memiliki kedewasaan untuk memahami bahwa bagian utama dari kariermu ada di belakangmu dan kamu ingin mencapai yang tinggi,” katanya.
Dia juga merasa berada di puncak kariernya bersama Spurs dengan melakukan hal-hal hebat, percaya diri, dan mencapai top performance dalam urusan fisik. “Inilah saatnya kamu menyadari bahwa kamu ingin melakukan hal-hal luar biasa. Kamu percaya pada kemungkinan dan kemampuanmu di sana. Aku tidak mengalami cedera satu detik pun musim itu dan memastikan secara fisik aku sangat kuat,” tambahnya.
Biang Kerok Kegagalan Perancis Lolos ke Piala Dunia
Namun nasibnya di Timnas Perancis tidak semulus di klub. Pemain yang nyentrik dengan rambut gondrong dan flamboyan ini hanya mencatatkan 17 caps dan 3 gol bersama Les Bleus. Dia mengukir kenangan pahit di timnas pada saat kualifikasi Piala Dunia melawan Bulgaria pada November 1993.
Perancis hanya butuh hasil imbang untuk bisa lolos ke Piala Dunia 1994 dan saat itu publik Perancis sangat percaya jika timnasnya akan bermain di Piala Dunia edisi ke-15 yang hendak diselenggarakan di Amerika Serikat. Jutaan harapan publik akhirnya musnah begitu saja tatkala Ginola melepas umpan yang salah kepada striker lawan, Emil Kostadinov, dan Bulgaria memanfaatkan blunder tersebut menjadi gol, skor 1-2 tak berubah hingga peluit akhir dibunyikan.
Gerard Houllier sebagai Pelatih Perancis pun geram dengan menunjuk Ginola sebagai biang kerok kekalahan timnya. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Coaches Secrets, narasi kekecewaan ditunjukannya.
“Hanya tersisa 30 detik waktu normal kami akan lolos, tapi kami ditikam dari belakang dan dengan cara yang paling buruk. Wasit sudah menempelkan peluit di bibirnya ketika Ginola mengambil tendangan bebas di dekat sudut lapangan, tapi dia malah mengirimkan umpan silang 60 meter alih-alih menahan bola. Itu membuat Bulgaria mendapat angin dan memukul kami melalui serangan balik,” tulisnya.
Sejak peristiwa itu pula media Perancis menyebut Ginola sebagai ‘pembunuh sepakbola Perancis’. Oleh karenanya lah dia meninggalkan Perancis menuju Inggris (Newcastle). Hingga kini, sang pemain terus berupaya menangkis cemoohan yang diarahkan padanya. Dia merasa sendirian memikul beban kegagalan Perancis ke putaran final piala dunia 1994.
“Sangat menyenangkan untuk mengatakan Ginola adalah penjahat tetapi dalam sepakbola kamu menang dengan 11 pemain dan kamu kalah dengan 11 pemain. Dan pada saat itu, aku kehilangan semuanya, sendirian,” pekiknya, seperti dikutip dari ESPN.
Menekuni Akting dan Sempat Mati Suri
Pada 2002 Ginola memutuskan untuk mencabut namanya dari peredaran dunia sepakbola. Selain meneruskan dunia modelling yang sudah ditekuni sejak bermain di PSG, dia banting setir menjadi aktor. Ginola mengambil kursus akting dengan mengikuti kelas di RADA.
Didier the Butcher, ROSBEEF, Mr FIRECUL, THE LAST DROP, Lock Stock and Two Smoking Barrels, At Home with the Braithwaites, dan Euro Lottery adalah deretan film yang pernah dibintangi Ginola.
Tak cukup itu saja, agaknya kehidupan kedua Ginola setelah pensiun dari sepakbola sangat menarik. Sebab dia juga menjadi pencicip wine. Bahkan dia memiliki perkebunan anggur di Provence sekaligus memproduksi wine kelas atas, yang membuatnya menerima medali perak di International Wine Challange 2008.
Namun satu hal yang membuat Ginola belajar di kehidupan bagian keduanya ini, yaitu ketika dirinya hampir tidak bisa melihat dunia lagi. Ginola mengalami serangan jantung dan meninggal selama 8 menit dalam sebuah pertandingan amal.
“Saat itu aku tengah berlari ke tengah lapangan saat detak jantungku berhenti dan aku terjerembab dengan wajah menyentuh tanah lebih dulu. Para pemain menyangka aku bercanda, tapi kemudian mereka berkata,`Lihat dia, dia bermasalah, dia tidak bercanda`,” ujar Ginola kepada The Sun.
“Jantungku berhenti selama setidaknya 8 menit. Tidak ada denyut. Saat itu ” meninggal. Kemudian ambulans datang dan mereka mengaitkanku dengan alat pacu jantung. Setelah kali keempat, jantungku akhirnya berdenyut kembali. Petugas medis kemudian melihat ke arah temanku dan memberi tahu jika mereka menemukan denyut. Semua orang mulai bersorak dan menangis,” tambahnya.
Sebelum mengalami fase mati klinis, Ginola sama sekali tak pernah memikirkan kematian. Namun setelah itu, dia mulai menata kehidupannya. “Bagiku mati itu seperti melihat televisi yang tiba-tiba blank. Aku tidak merasakan apapun. Sejak saat itu, aku menanyakan kepada diriku sendiri apakah aku layak mendapatkan kesempatan kedua,” kata Ginola.
Komentar