Selamat ulang tahun Jamie Carragher. Setelah nyanyian ‘Happy Birthday to You’ usai, mari ganti lagu dengan chants milik Carragher yang berjudul, ‘We All Dream of a Team of Carraghers’ (menggunakan nada lagu Yellow Submarine dari The Beatles, grup musik asal Liverpool):
Number 1 is Carragher. Number 2 is Carragher. Number 3 is Carragher. Number 4 is Carragher, Carragher.
[Chorus] We all dream of a team of Carraghers. A team of Carraghers. A team of Carraghers. We all dream of a team of Carraghers. A team of Carraghers. A team of Carraghers.
Lanjutkan sampai “Number 11 is Carragher”, ulangi bagian chorus setiap selesai empat baris, dan tutup dengan “and 23 is Carragher, Carragher”.
Berhubung lirik ini tidak dimuat di situs Genius untuk diberi anotasi dan Carragher tidak pernah berupaya menjelaskannya selucu Clairo, maka tafsir bersifat polisemi. Bagi pendukung Liverpool jelas sebuah sanjungan kepada bek tangguh loyal yang menghabiskan seluruh waktu karier profesionalnya dengan The Reds. Sementara kemungkinan bagi pendukung kesebelasan lain, mendengarnya semacam satir menohok mirip artikel Arman Dhani era awal. Kok bisa-bisanya memimpikan tim berisi 11 pemain berkualitas seperti, errr, Carragher?
Benci memang untuk langsung lompat ke bagian trofi sebagai cara kerdil mengukur kualitas pemain, karena kelewat mudah dan seakan mengesampingkan variabel statistik lain. Namun percayalah, jumlah trofi Carragher mudah dihafal. Sebab tidak ada yang lebih dari tiga buah. Dua Piala FA, dua Community Shield, satu trofi Liga Champions UEFA, satu Piala UEFA, dan satu Piala Super UEFA.
Untuk capaian individu, Carragher tiga kali menjadi Pemain Terbaik Tahunan Liverpool dan sekali masuk Tim Tahunan Terbaik Premier League. Jika ternyata susah diingat, begini mudahnya: nol trofi Premier League. Carra—sapaannya—sendiri jengah dengan kenyataan ini.
“Sudah terlalu lama sejak Liverpool juara [Liga Inggris]. Terakhir kali mereka melakukannya, saya masih penggemar Everton!” curhat Carra kepada Daily Mail tahun 2008.
Sialnya itu masih relevan sampai setidaknya dia berusia 40 tahun.
Warna Biru Carragher
Sekalipun sepenuhnya memperkuat Liverpool sedari 1996-2013 dengan lebih dari 500 penampilan, Carragher diketahui pendukung fanatik rival sekota, Everton. Bahkan nyaris sepanjang waktu profesionalnya, dia diduga memiliki tato Everton yang tersingkap pada seragam lengan panjang. Carragher membantah. Meski tanpa sedikitpun ogah gamblang berbagi kisah betapa dia pernah jadi pendukung nomor satu Everton.
Carragher lahir di kawasan Bootle, Merseyside, pada 28 Januari 1978. Carra tumbuh di sana juga dengan menikmati masa kejayaan The Toffees era 1980-an. Nama tengahnya saja, James ‘Lee Duncan’ Carragher diambil dari manajer Gordon Lee dan pemain Duncan McKenzie. Sebab pada hari dia lahir, Lee mencoret McKenzie dari tim.
Dia kegirangan saat Arsenal cetak gol menit terakhir mengalahkan Liverpool dalam persaingan juara liga musim 1988-1989. Dia bertandang ke Jerman menyaksikan anak asuh Howard Kendall menahan imbang 0-0 Bayern München. Pertandingan penting menentukan Everton juara Piala Winners 1985.
Awal tahun 1996 sebelum menjalani debut, Carra masih saja bergairah mendengarkan Everton mencetak gol via komentator radio. Bikin sebal rekan setim, sehingga pelatih Hugh McAuley dan Dave Shannon mesti menegurnya. Bahkan saat pertama kalinya dimasukkan ke bangku pemain pengganti tim senior, Carra yang melakukan pemanasan menghampiri ayahnya di tribune, mengangkat jempol karena tahu Everton menundukkan Newcastle di tempat lain.
Carra punya kekaguman dan kenangan dengan legenda Everton sepanjang hidupnya. Mengagumi Neville Southall, bukan Bruce Grobbelaar. Kecewa perpindahan Gary Lineker ke Barcelona ketimbang memikirkan sepak terjang Ian Rush. Dia sumringah diberi sebotol soda oleh bek kiri, John Bailey. Sikap kecil yang membahagiakannya karena kehausan menyaksikan laga tanpa gol di Munich.
Carragher mengeyam pendidikan di Sekolah Keunggulan milik Liverpool pada usia 11 tahun. Dari sana jalinan profesionalitasnya terikat. Sistem pendidikan sepak bola yang bagus membuatnya tidak berpaling hati lagi. Dari bocah yang berlatih dengan seragam Everton, sampai akhirnya seorang pemain yang membela Liverpool saja.
“Ada dua Everton dalam hidupku: Everton sebelum Liverpool dan Everton setelahnya. Aku menganggap Everton tahun 80-an sebagai ‘kami’ dan Everton modern sebagai ‘mereka’,” ungkap Carragher dalam buku biografinya.
Kata Carra, Everton adalah kesebelasan top yang paling sering dia kalahkan. Namun pada laga testimonial dirinya, Carra ternyata pernah mencetak gol untuk Everton dengan berseragam Liverpool.
Ambiguitas Carra
Nyatanya cinta Carragher kepada Everton bukan sebatas cinta masa kecil. Dalam hari-harinya setelah pensiun, Carra enteng saja memakai seragam Everton. Posisi seperti ini mau tidak mau menyajikan ambiguitas. Menempatkannya ke posisi lemah saat keadaan tidak baik-baik saja
Bagi pendukung Everton mudah mendaku Carra hanya seorang profesional yang bermain untuk Liverpool. Tidak peduli dia seorang teman, Carra yang terpuruk sehabis laga mudah saja diejek tanpa kepalang tanggung.
Bagi pendukung Liverpool, mudah melihat Carra sebagai pendukung Everton. Berbeda dengan Steven Gerrard yang hidup dan bernapas bagi The Reds.
Banyak memang legenda Liverpool yang juga terang-terangan pendukung Everton saat kecil. Steve McManaman, Robbie Fowler, Ian Rush, dan Michael Owen juga demikian. Harus diakui, stabilitas Liverpool dari era ke era lebih baik daripada Everton di banyak aspek. Pilihan logis yang diambil untuk setiap orang Merseyside yang mendambakan hal terbaik dalam hidupnya.
Namun pembedanya, mereka tidak alergi berpindah kesebelasan. Tidak harus pindah ke Everton, tapi bisa ke kesebelasan lain. Mencari tantangan baru, mengukur seberapa jauh kemampuan, dan menghirup udara segar di luar Merseyside. Agar tidak hidup dalam tempurung. Agar mendapati pengakuan orang-orang baru tentang kualitas mumpuni yang dimiliki. Carragher tidak melakukan itu.
Dalam kasus Carra, status one-club man menjadi anomali. Ada delapan pemain Liverpool berstatus begitu, tapi hanya Carra yang melakukannya di era modern. Tidak serta merta dilihat sebagai perilaku agung, karena perpindahan kesebelasan bukan tindakan melanggar hukum. Tidak melulu mesti dilihat mereka pergi karena tidak cakap, tapi juga tengok adanya apresiasi tinggi pihak lain. Tidak melulu yang bertahan paling lama tanda yang terbaik, karena durasi singkat indah juga bisa dikenang laik.
Selain pemain Liverpool sepanjang karier meski pendukung Everton saat muda, apa lagi yang bisa dikaitkan dengan Carra? Carra lebih banyak mencetak gol bunuh diri (tujuh) daripada mencetak gol (tiga). Dia tidak kunjung naik pangkat sebagai kapten, karena selalu ada Gerrard. Lantas di mana kita bisa menempatkan sosok Carra dalam momen terbaik Liverpool saat dia bela?
Anggaplah, juara Liga Champions 2005 capaian tertingginya sebagai pemain. Namun, bagaimana kita meletakkannya dalam adegan-adegan krusial di Istanbul? Setelah aksi patriotik Gerrard, tepisan krusial Jerzy Dudek, penyama kedudukan Xabi Alonso, penalti kemenangan Vladimir Smicer, barukah kedisiplinan Carra disinggung? Meski tentu saja tidak seburuk Djimi Traore, bukankah Liverpool bisa-bisanya kebobolan tiga lebih dulu dari pertahanan yang digalangnya?
Karier Carragher sempurna di akhir musim 2012/13. Dalam laga terakhir melawan Queens Park Rangers, Carragher berjalan di tengah guard of honour, menatap koreografi ‘JC23’ buatan The Kop, dan diberi penghargaan atas dedikasinya.
Setelah gantung sepatu, sekejap dia pindah ke ruang siaran Sky Sports. Duduk nyaman di sofa, tanpa pernah rasakan panas kursi kepelatihan.
Berbeda dengan Gary Neville atau Thierry Henry yang meski sulit, tapi pernah berupaya. Mereka sadar ada jurang kelewat jauh tentang dunia penyiaran dengan praktik meramu taktik, karena telah mencoba. Sementara, Carragher tidak.
Carragher pun perlu ‘lawan’ berupa Gary Neville untuk membuat kariernya di dunia pandit bisa menggigit. Sama seperti Liverpool sepanjang kariernya yang butuh rivalitas Manchester United untuk tetap relevan sebagai kesebelasan besar. Meski perlawanannya pada era tersebut, acap kali kurang signifikan.
Carragher tidak ubahnya seperti bek-bek tahun 1980-an yang dia tonton, tapi bermain di era 2000-an. Pelayanan, loyalitas, dan talentanya luar biasa. Dia langgeng berada di klub, sekalipun berganti posisi dari gelandang pencetak gol, bek sayap, sampai bek tengah. Carragher bek tangguh dan bertahan secara ortodoks dengan atribut kerja keras, stamina mumpuni, main keras tanpa kompromi, dan mantapnya kemampuan memimpin.
Kesadaran taktik yang rigid dan fokus menjadi fondasi utama baginya membuat sapuan akhir, menjatuhkan lawan secara bersih, dan menghalau bola tanpa tedeng aling-aling. Didier Drogba menyebutnya lawan tertangguh, karena sekalipun agresif tapi sportif.
Sekalipun begitu, sulit melihat pemain macam Carra bisa eksis lama di kesebelasan elite Premier League saat ini. Kemampuan olah bola dan memulai serangan dari bawah kini menjadi kunci. Kecerdikan menggalang jebakan offside juga harus ada. Bisa sering mencetak gol ke gawang lawan bukan gawang tim sendiri, bahkan sangat penting. Kesadaran akan ruang dan pressing tinggi tanpa buru-buru buang bola juga prioritas di banyak departemen pertahanan beberapa kesebelasan.
Jangankan membandingkan Carra dengan pemain bertahan kesebelasan lain saat ini. Virgil van Dijk saja yang jadi garda depan pertahanan Liverpool, justru dibandingkan dengan Paolo Maldini saat performanya mengilap. Bukan Carragher.
Lantas pertanyaan lanjutannya begini: Apakah Carragher era puncak layak masuk ke dalam barisan bek Liverpool musim 2018/19 yang baru kebobolan 8 kali sebelum Tahun Baru 2019? Apakah kualitasnya cukup mumpuni untuk bisa masuk ke Tim Nasional Inggris yang tembus semifinal Piala Dunia 2018? Apakah dia justru hanya sebatas ikon Liverpool banter era yang dilebih-lebihkan karena selalu berada di kesebelasan, tanpa mau mengukur diri di tempat lain?
Apapun, Carragher nyatanya berhati biru dengan seragam merah selama yang kita tahu.
Komentar