Gelombang islamofobia di daratan Eropa sudah berlangsung lama. Nama yang identik dengan muslim, warna kulit, dan cara berpakaian dijadikan pembatas untuk masyarakat muslim yang bermukim di Eropa. Konon, Perancis jadi negara Eropa pertama yang meloloskan undang-undang larangan penggunaan jilbab/hijab di sekolah-sekolah. Hal tersebut tentu dijadikan referensi oleh negara Uni Eropa lainnya.
Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Amnesty International pada 2012 yang dipusatkan di Belgia, Perancis, Belanda, Spanyol, dan Swiss: "Perempuan muslim tidak mendapatkan pekerjaan dan anak-anak perempuan tidak boleh hadir ke sekolah karena mereka mengenakan baju terkait kepercayaan mereka, seperti jilbab," seperti dinukil dari BBC.
Hal tersebut pernah dialami oleh Nazma Khan yang tinggal di Amerika Serikat (AS) sejak usia 11 tahun. Dia mendapatkan perlakuan diskriminatif serupa dengan yang didapat kebanyakan muslimah di kawasan barat. Perempuan asal Bangladesh ini jadi satu-satunya siswi yang mengenakan hijab di sekolahnya. Tak jarang teman-temannya mengejek Nazma dengan panggilan batman atau ninja. Saat Nazma beranjak dewasa, serangan diskriminatif itu tak kunjung mereda. Bahkan saat kuliah, dia pernah dipanggil Osama bin Laden alias teroris.
"Tumbuh besar di Bronx, New York City, aku mengalami diskriminasi karena hijabku. Waktu di sekolah menengah pertama, aku adalah `batman` atau `ninja`. Ketika aku masuk universitas setelah peristiwa 9/11, aku dipanggil Osama bin Laden atau teroris. Hal itu sangat mengganggu. Aku berpikir bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri diskriminasi ini adalah jika kita minta saudari-saudari kita untuk memiliki pengalaman mengenakan hijab sendiri," ujar Nazma dalam situs resmi World Hijab Day.
Lewat kisah perjuangan Nazma itulah lahir sebuah gerakan World Hijab Day (WHD) atau Hari Hijab Dunia yang diperingati setiap 1 Februari sejak 2013, di mana perempuan di seluruh dunia diperkenankan untuk memakai hijab selama 24 jam.
Perlakuan Diskriminatif di Lapangan Hijau
Seperti dikatakan pencetusnya, pengalaman berhijab ini diperuntukan bagi semua perempuan dengan latar belakang dan agama apa pun. Tujuannya untuk memberikan edukasi bahwa perempuan muslim yang menggunakan hijab bukanlah kelompok yang menakutkan, radikal, bahkan teroris.
Kini WHD memiliki banyak sukarelawan dan duta besar di seluruh dunia untuk melangsungkan kegiatan WHD dan membawa kesadaran tentang hijab serta mulai mengikis persoalan diksriminatif terhadap hak-hak perempuan dalam mengenakan hijab di seluruh dunia. Diharapkan WHD juga bisa membawa energi positif bagi kalangan muslimah yang berkarier di dunia sepakbola.
Sebab, jika ditilik ke belakang, di lapangan sepakbola para muslimah sempat mendapatkan perlakuan persis sebagaimana yang dialami Nazma Khan dan kebanyakan muslimah di Eropa. Narasi perjuangan pesepakbola berhijab pun terus muncul sejak otoritas tertinggi sepakbola dunia pada 2007 menerbitkan aturan larangan menggunakan aksesoris berlebihan saat bermain, termasuk hijab.
Kasus pertama menimpa Asmahan Mansur pada 2007. Federasi sepakbola Kanada mengatakan bahwa Asmahan diberi dua pilihan oleh wasit antara melepas hijabnya atau sama sekali tidak bermain untuk pertandingan di sebuah turnamen yang diadakan di Laval, kota Quebec, Kanada. Asmahan masih berusia 11 tahun kala membela kesebelasan Nepean Hotspurs. Meski usianya belum cukup dewasa, dia menolak melepaskan hijabnya dan lebih memilih tidak bermain sepakbola.
Apa yang menimpa Asmahan saat itu belum terlalu menyita perhatian publik, karena isu ini baru menjadi berita besar saat Olimpiade 2012 silam. Ketika itu kesebelasan perempuan Iran yang bertanding melawan Yordania dinyatakan kalah walk out dengan skor 0-3 sebab para pemain Iran enggan melepas jilbabnya.
Untuk kasus-kasus berikutnya, publik kian sensitif terhadap persoalan hijab di sepakbola. Contohnya cerita dari Samah Aidah, yang kisahnya diangkat lewat Huffington Post dengan judul "Tim sepakbola Overland High School mengajarkan mereka tentang kesetaraan", berhasil menarik atensi publik. Serupa dengan kasus Asmahan, semua bermula ketika wasit melarang Aidah bermain dengan alasan enggan melepas hijab.
Lantas teman-teman setimnya yang berasal dari Overland High School, Aurora, Colorado, AS tak tinggal diam. Sebagai bentuk protes terhadap wasit dan dukungan terhadap Samah, sehari setelah pertandingan satu tim mengambil foto dengan mengenakan kerudung. Kemudian mereka mengunggahnya ke twitter.
Persoalan Hijab di Meja FIFA
Dalam peraturan nomor 4 tentang kostum pertandingan, FIFA mengatur jika pemain tidak diperbolehkan menggunakan pakaian atau memakai apapun yang membahayakan dirinya sendiri, atau pemain lain. Termasuk perhiasan dalam bentuk apapun. Laws of the game tersebut juga melingkupi perihal peralatan dasar bermain sepakbola berupa kaus, celana pendek, pelindung tulang kering, dan sepatu.
Meski belum ada bukti empiris bahwa hijab dapat melukai para pemain di lapangan, FIFA keukeuh jika hijab tidak diperkenankan atas pertimbangan keselamatan dan kesehatan pemain yang menggunakannya.
Dalam rentang 2007-2012, FIFA tidak melunak terkait aturan larangan hijab bagi pesepakbola perempuan muslim, sebelum kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dewan Asosiasi Sepakbola Internasional (IFAB), dan Konfederasi Sepak bola Asia (AFC) memengaruhi FIFA agar larangan berhijab dicabut sesegara mungkin.
"Ini merupakan kesempatan bagi perempuan muslim yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menunjukkan bahwa pemakaian jilbab bukanlah halangan untuk unggul dalam kehidupan dan olahraga," kata Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB, Wilfried Lemke, dalam suratnya kepada Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter.
IFAB pun melakukan percobaan selama dua tahun menyusul permintaan AFC, dan terbukti penggunaan jilbab tidak beresiko menimbulkan cedera. Namun sebulan pasca diresmikan, otoritas sepakbola Perancis (FFF) menolak keputusan dicabutnya larangan hijab di sepakbola. Sikap itu diambil atas dasar prinsip konstitusi dan legislatif tentang sekularisme yang berlaku di negeri mereka.
"Berkaitan dengan partisipasi Tim Nasional Perempuan Perancis di kompetisi internasional dan organisasi kompetisi nasional, Federasi Sepakbola Perancis menegaskan kembali adanya kewajiban untuk menghormati prinsip konstitusional dan legislatif mengenai sekularisme yang berlaku di negara kami dan tertera dalam undang-undang," demikian pernyataan FFF.
Terlepas dari pertentangan hukum yang berlaku di Perancis. Keputusan tersebut disambut baik oleh AFC. "Aku amat gembira mendengar bahwa larangan atas penutup kepala sudah dicabut. Atas nama Komite Eksekutif AFC dan keluarga sepakbola Asia, aku memuji IFAB dan FIFA yang melakukan hal yang benar. Pencabutan larangan akan memungkinkan ribuan pemain perempuan, yang mengenakan penutup kepala, bisa bertanding," tutur Pejabat Presiden AFC, Zhang Jilong.
Demi Kesetaraan
Pemain sepakbola perempuan yang memakai hijab seperti Asmaah Helal pun tak kalah gembira. Sebab dengan diperbolehkannya hijab di sepakbola, mereka seperti dibukakan pintu untuk meraih kesetaraan. Diharapkan dengan dicabutnya larangan hijab ini akan lebih banyak lagi perempuan muslim yang berjuang di sepakbola dan mengikis kesetaraan gender.
"Saat itu aku merasa sangat senang sekali, karena artinya aku bisa mengejar mimpiku. Cita-citaku sejak dulu adalah memang untuk bermain bersama The Matildas. Aku ingin membuka kesempatan bagi anak-anak muda, terutama perempuan untuk mendapatkan kesehatan dan gaya hidup yang lebih baik,” Asmaah Helal dari klub UNSW (United New South Wales) yang berlaga di Super League Australia, dikutip dari ABC International.
"Caranya dengan meningkatkan jumlah partisipasi mereka dalam kegiatan olahraga. Sambutannya cukup baik melalui program sepakbola ini, karena berhasil menarik 500 anak muda setiap tahunnya. Karena keberadaan kita di dunia ini adalah untuk saling membantu sesama,” tambahnya lagi.
Terlepas dari konteks kebebasan yang digaungkan gerakan World Hijab Day, di mana wanita bebas untuk tidak menunjukkan bagian tubuh yang pribadi kepada khalayak umum, di sepakbola hak menggunakan hijab berarti juga kesetaraan, sebab andai FIFA masih keras kepala seperti FFF, akan makin banyak perempuan muslim yang mendapat ketidakadilan gender. Diskriminasi bukan hanya mencakup kebebasan, tapi diskriminasi merembet pada identitas gender mereka. Tentu sepakbola bukanlah untuk menciptakan sekat-sekat seperti itu.
Komentar