Oleh: Eko Noer Kristiyanto
Tampil di hadapan puluhan ribu pendukung sendiri yang berteriak dengan lantang di Estadio Minearao, sang empunya gelar juara dunia lima kali, Brasil, dihancurkan tanpa ampun oleh Jerman. Para analis, pundit, pengamat, atau komentator bola pun tak pernah ada yang memprediksikan bahwa skor akhir akan setimpang itu.
Bukan hanya tersingkir dari turnamen akbar yang digelar di halamannya sendiri, Brasil juga harus menerima kekalahan terbesar sepanjang sejarah mereka bermain di lapangan hijau. Banyak pihak mengatakan bahwa seluruh Negeri Samba berduka dan bersedih atas kekalahan menyakitkan itu.
Tapi bisa jadi pernyataan tersebut keliru, atau setidaknya terlalu berlebihan. Pasalnya, cukup banyak juga warga negara Brasil yang âsenangâ akan hasil tersebut. Kekalahan memalukan itu justru bisa dijadikan âpembalasanâ atas apa yang mereka alami sebagai warga negara.
Tentu bukan tertuju kepada Neymar dkk. Tetapi, kepada pemerintah Brasil yang memaksakan diri untuk menyelenggarakan perhelatan besar meski kondisi negara tak ideal. Ketika begitu banyak hal lain perlu diprioritaskan, otoritas federasi sepakbola Brasil dan pemerintahan Dilma Rousseff, presiden Brasil, lebih memilih fokus dan mengerahkan energi serta sumberdaya untuk mensukseskan penyelenggaraan Piala Dunia.
Ya! Walau cukup dikenal âutamanya karena sepakbolaâBrasil bukanlah negara maju dan makmur. Negara ini masih memiliki persoalan multi sektor seperti ketimpangan sosial, pengangguran, kriminalitas, pendidikan, perumahan kumuh, dsb.
Dengan kondisi seperti ini, idealnya pemerintah mampu memberi pelayanan dan meningkatkan infrastruktur serta fasilitas-fasilitas bermutu bagi warganya yang masih âkalahâ secara ekonomi. Tapi dana teramat besar itu, yang sesungguhnya bisa digunakan untuk pembangunan sekolah atau rumah sakit, justru berbelok menjadi pembangunan stadion-stadion megah yang entah digunakan untuk apa setelah Piala Dunia berakhir.
Mesti diingat, Â beberapa stadion itu terletak di daerah-daerah yang tidak memiliki basis penonton sepakbola yang banyak. Misalnya saja Stadion Arena da Amazonia yang terletak di pedalaman hutan Amazon. Di kota berpenduduk 2 juta orang itu, rata-rata penonton yang menghadiri pertandingan sepakbola di stadion hanyalah seribu orang. Padahal, stadion yang dibangun dengan dana 300 juta dollar itu berkapasitas 42 ribu orang.
Penolakan dari masyarakat yang menolak gelontoran uang untuk Piala Dunia ini sebenarnya cukup kasat mata. Dari mulai aksi-aksi demonstrasi yang cukup marak menjelang kick off Piala Dunia, hingga maraknya pemberitaan mengenai borok pemerintah yang mengorbankan rakyat demi piala dunia. Salah satu kabar paling mengerikan sendiri adalah berita tentang disingkirkannya anak-anak jalanan dengan cara tidak manusiawi. Semua demi menghapuskan citra kumuh Brasil di mata turis mancanegara yang akan membanjiri Brasil.
Adalah benar bahwa sepakbola sangat penting bagi masyarakat Brasil. Bahkan, melalui sepakbola pula,  semua borok ekonomi dan kesenjangan masyarakat Brasil menjadi  tertutup. Dengan gelar lima kali juara dunia dan menjadi negara pengekspor pemain sepakbola terbanyak di dunia, siapa yang tak mengenal negara Amerika Latin ini?
Meski demikian, perlu direnungi juga bahwa orang-orang menyandarkan hidup dan mimpi menjadi pemain bola justru karena ingin lepas dari keterpurukan ekonomi yang mengakrabi banyak keluarga di Brasil. Lagi-lagi, sepakbola menjadi kamuflase kebobrokan kondisi ekonomi mereka.
Betapa pentingnya sepakbola bagi Brasil. Tetapi saya yakin bahwa tugas negara yang utama bukanlah itu. Tak akan ada kata-kata âmenjadi tuan rumah yang baik dan menjadi juara piala duniaâ di dalam konstitusi negara Brasil.
Konstitusi âsetiap negara pasti memiliki konstitusi, baik tertulis maupun tak tertulisâsuatu negara memuat dua hal pokok. Pertama, tentang struktur organisasi negara, termasuk wewenang dan pembatasannya. Sementara itu yang kedua, tentang perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara.
Muatan kedua terkait HAM orientasi utamanya adalah tentang bagaimana menyejahterakan masyarakat, terkait perekonomian, pendidikan, fasilitas umum dsb. Dalam konteks yang sama, Indonesia pun memuatnya dalam pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu, mereka-mereka yang menolak perhelatan Piala Dunia, dan mereka-mereka yang merasa terabaikan, terzalimi, tersingkirkan, termarginalkan oleh pemerintah Brasil gara-gara turnamen ini, bisa jadi akan sedikit tersenyum. Kekalahan ini tentu akan sedikit menoreh aib di tangan panitia dan penyelenggara, termasuk pemerintah.
Sebaik apa pun penyelenggaraan tahun ini, tanpa prestasi mereka tak bisa sesumbar, dan menepuk dada. Apalagi bertindak sombong. Ibaratnya, para demonstran masih bisa berkata: âapa kataku jugaâ, atau âbener kan kata gueâ, atau âtah naon ceuk aing geâ.
Brasil tak perlu membuktikan kesepakbolaannya dengan bertindak sebagai tuan rumah piala dunia. Seluruh dunia sudah mengakui bagaimana Brasil adalah raja di raja soal mengolah si kulit bundar. Urus saja rakyatmu dan kembalikan uang pajak dengan membangun infrastruktur yang lebih penting bagi rakyat.
--
Penulis Direktur Rechtsvinding Institute. Memiliki akun twitter @ekomaung
Komentar