Oleh:Â Minke Mo
 Menetapkan status miskin bukan hal remeh. Ada ukuran dan standar tertentu, dan masing-masing standar menetapkan variabel yang berbeda-beda. Hasilnya pun hampir dipastikan akan berbeda. Ambil misal Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia.
Penetapan batas bawah angka kemiskinan ala Bank Dunia memakai dolar PPP (purchasing power parity) yang kerap diterjemahkan ngawur sebagai kurs rupiah tanpa mempertimbangkan tingkat inflasi. Sementara BPS memakai GKM (garis kemiskinan makanan) dan GKNM (garis kemiskinan non-makanan) yang memasukan kebutuhan kalori manusia dalam perhitungannya. Bagaimana caranya bersepakat dengan status miskin atau tidak jika yang satu menggunakan inflasi dan lainnya kalori?
Di sepakbola memang belum ada garis yang jelas perihal sampai batas mana sebuah klub bisa dilabeli miskin. Apakah ketidakmampuan membeli pemain top? Rutinitas meminjam pemain dan memburu pemain gratisan di pasaran? Atau yang menggalang dana publik demi dapur yang tetap mengepul?
Akhir cerita The Curious Case of Benjamin Button masih sedikit lebih jelas daripada senarai pertanyaan di atas, kendati ada kebingungan apakah Benjamin mati sebagai bayi, embrio atau justru sperma. Yang sudah pasti, Benjamin menemui kematian lewat perjalanan hidup yang ganjil.
Juga yang sudah pasti, Atletico de Madrid bukanlah si kere seperti yang dibayangkan (atau malah diharapkan?) banyak orang.
Ya, esai ini hendak memblejeti stereotipe perihal Atleti yang dianggap sebagai klub miskin. Dan bursa transfer musim panas ini agaknya telah membuka mata banyak penikmat sepakbola perihal kondisi dompet Atleti. Belanja pemain sampai melebihi 100 juta euro jadi indikasi nyata kemampuan finansial rival Real Madrid ini. Angka 100 juta euro menjadi rekor transfer sepanjang sejarah klub yang berdiri pada 28 April 1903 ini.
Menyebut Atleti sebagai tim miskin juga cenderung ahistoris mengingat jor-joran musim ini bukanlah fenomena yang baru sekali ini terjadi.
Sebelum Christian Vieri bertandem dengan Ronaldo dan kemudian disemati julukan Robo (Ronaldo-Bobo Vieri) di Inter, kombinasi yang cuma ngeri-ngeri sedap di lembar La Gazetta Dello Sport, ia pernah mencicipi sepakbola Spanyol. Vieri bermain di Atleti pada musim 97/98. Dan dia adalah El Pichichi musim itu dengan mencetak 24 gol dalam 24 pertandingan.
Sebagai catatan, Atleti membeli Vieri dari Juventus dengan duit 15 juta euro. Jumlah yang tak remeh saat itu. Bandingkan dengan transfer Alan Shearer dari Blackburn ke Newcastle setahun sebelumnya yang mencapai 15 juta poundsterling dan saat itu menjadi rekor transfer termahal.
Vieri kemudian dijual ke Lazio semusim kemudian. Selanjutnya datanglah Jimmy Floyd Hasselbaink di musim 99/00. Kali ini Atleti membayar 16,7 juta euro dari Leeds United untuk membeli jasa Hasselbaink yang kemudian mencetak 35 gol dalam 47 pertandingan. Tapi tetap saja ia harus menerima kenyataan pahit klubnya turun kasta ke segunda division.
Daftar pembelian mahal Atleti masih berlanjut. Juninho Paulista datang dari Middlesbrough seharga 13,8 juta euro di musim yang sama dengan Hasselbaink. Javi Moreno dari AC Milan senilai 13 juta euro di musim 02/03. Yang masih populer sekarang adalah Kun Aguero, dibeli Atleti dari Independiente seharga 21,7 juta euro pada musim 06/07 saat usianya masih 18 tahun.
Rekor pembelian Atleti sepanjang sejarah klub adalah Radamel Falcao, 47 juta euro dari Porto. Walaupun ada desas-desus Atleti hanya mengeluarkan separuhnya, dengan separuh lagi ditanggung Doyen Sports, tetap saja nilainya menunjukkan betapa Atleti bukan klub kere.
Menilik belanja total pada musim transfer, Atleti pernah menghabiskan 82 juta euro (musim 07/08) dan 91,2 euro juta (musim 11/12) di dua bursa transfer berbeda. Jelas sudah ini bukan bursa pertama Atleti menguras dompet mereka.
Sisi lain, Atleti juga punya utang sebesar 543 juta euro per Juni 2013. Mekanismenya sama seperti kartu kredit. Jika bank tahu anda punya duit banyak, maka limit kartu kreditnya pun tinggi. Seperti itulah kreditur memandang Atleti.
Atleti bukan Rayo Vallecano yang dua musim lalu gagal bermain di Eropa karena UEFA memandang mereka tak punya cukup duit untuk berkelana di benua biru. Atleti juga bukan Real Oviedo dan SD Eibar yang menggalang iuran publik demi hak berlaga di divisi yang mereka perjuangkan.
Lalu mengapa Atleti kerap dilabeli sebagai klub semenjana nan nelangsa? Tersangkanya adalah polah Real Madrid dan Barcelona di bursa transfer.
Dua raksasa Spanyol ini punya hobi membeli pemain masyhur alias marquee signing. Koran mana yang bisa cuek saat David Beckham dan Zinedine Zidane datang dari Manchester United dan Juventus? Editor mana yang absen di jumpa pers pembelian Javier Saviola, anak emas pecandu Championship Manager, dan Zlatan Ibrahimovic?
Aguero dan Falcao memang ditebus mahal, tapi siapa dan berapa banyak orang, sih, yang kenal mereka saat pertama kali muncul? Sedikit. Yang teranyar, pembelian Mario Mandzukic dan Antoine Griezmann dari Bayern Muenchen dan Real Sociedad dengan total 52 juta euro gaungnya tertutup oleh transfer James Rodriguez dan Luis Suarez.
Seperti dibilang Diego Simeone, Atleti punya duit untuk digelontorkan. Tapi uang 100 juta euro mereka pakai untuk membeli delapan pemain, sedangkan jika itu Barca atau Madrid palingan cuma untuk dua pemain saja.
Masih belum paham? Begini, bayangkan saja Madrid itu Bill Gates dan Barca itu Warren Buffet, lalu Atleti itu Michael Hartono (Djarum). Kekayaan Hartono jelas tak semelimpah Gates dan Buffet, tapi memasukkan Hartono ke dalam daftar orang kere jelas kesalahan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
 Dikirim oleh:Panggil saja saya Minke Mo. Menggemari buku-buku Pramoedya Ananta Toer dengan tingkat fanatisme menengah. Mengampu akun @ATM_GarisLunak
Tulisan kiriman pembaca lainnya dapat dilihat di sini
Komentar