Sesungguhnya cara untuk merayakan sebuah keberhasilan adalah dengan bergembira. Ada yang konvoi keliling kota sambil membakar flare, minum bir, sampai merayakan dengan cara terdiam mematung. Sebagaimana diketahui bahwa perayaan tidak melulu dirayakan dengan pesta-pora dan suara hingar bingar kendaraan bermotor yang kerap membisingkan telinga.
Terdiam dan menangis juga merupakan salah satu cara perayaan yang sangat emosional. Ketika jiwa tak lagi kuat untuk berdansa, mulut tak sanggup untuk teriak, maka sebaiknya lakukan dengan cara diam dan menangis. Percayalah tidak ada perayaan yang lebih khidmat selain melakukan hal itu.
Adalah Frank Lampard satu dari sekian banyak pesepakbola yang lebih memilih tidak menggelar selebrasi ketika berhasil mencetak gol ke gawang Chelsea, akhir pekan lalu. Semua makhluk hidup seantero jagat ini tahu, bahwa Lampard adalah sosok yang terikat dan akan selalu terikat dengan Chelsea.
Lampard bukan yang pertama dan satu-satunya melakukan perayaan gol dengan cara diam dan menangis. Tapi cerita indah dari era keemasannya bersama Chelsea menjadi sebuah pembeda dibanding ketika Cristiano Ronaldo yang membuat langkah mantan klubnya, Manchester United, tersungkur dari Liga Champions Eropa kala bertemu Real Madrid. Banyak kubu Manchester United yang mengutuk Ronaldo, meskipun kala itu Ronaldo juga tak melakukan selebrasi.
Tapi Lampard berbeda dengan Ronaldo. Baik dari segi rambut, popularitas, trofi Ballon dâOr,  ataupun berapa banyak iklan yang dibintangi. Jika selama ini orang lebih familiar dengan sifat Ronaldo yang begitu arogan, ini sebaliknya, sifat Lampard bisa dikatakan jauh dari kata arogan dan glamor. Mungkin Lampard lebih memilih ke tempat latihan meskipun tidak ada jadwal latihan daripada ke salon untuk mengganti model rambutnya yang sungguh tidak kekinian.
Ibaratnya, Ronaldo seperti langit dan Lampard adalah bumi. Sifat yang sangat bertolak belakang ini tercermin ketika final Liga Champions Eropa musim 2007/2008 antara Manchester United kontra Chelsea di Moskow. Ronaldo mencatatkan namanya sebagai pencetak gol pembuka untuk Manchester United, pun Lampard yang berhasil menyelamatkan Chelsea dari kekalahan, setidaknya tidak kalah di 90 menit.
Kala itu Ronaldo meluapkan emosinya ketika berhasil membobol gawang Petr Cech dengan sundulan yang tidak mengubah tatanan rambutnya, dan seperti yang sudah-sudah, Ronaldo melakukan selebrasi dengan tingkat arogansi yang cenderung memuakan.
Chelsea yang untuk kali pertama berada di final Liga Champions Eropa membutuhkan sosok juru selamat  untuk segera menyelamatkan mereka dari belenggu Setan Merah.
Begitu pula yang terjadi dengan suporter Chelsea yang tengah cemas dan berharap juru selamat segera hadir ke tengah lapangan dan memberikan setidaknya sebuah gol penyama kedudukan.
Rupanya Tuhan menjawab doa mereka, yang mengingatkan pada satu kalimat yang ada di kitab suci, berbunyi: Sesungguhnya Tuhan menjawab doa yang teraniaya. Maka Tuhan memakai raga Frank Lampard untuk menjawab serangkaian doa suporter Chelsea. Lampard berhasil mencetak gol dan membuat skor menjadi 1-1.
Jika Ronaldo melakukan selebrasi yang tergolong norak, maka Lampard melakukan selebrasi ala kadarnya mencerminkan pribadinya yang tenang, kalem dan tak berlebihan. Lampard merayakan golnya memang sebagai Frank Lampard. Berlari ke sudut lapangan sambil mengacungkan kedua jari telunjuk ke atas, seperti mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta.
Namun ada yang lain dari selebrasi Lampard pada malam final itu, kali ini Lampard begitu emosional, kepergian mendiang ibunda Lampard menjadi sebuah alasan mengapa Lampard sangat emosional ketika merayakan golnya ke gawang MU itu. Usai melakukan repetisi selebrasi seperti biasa, tanpa diduga Lampard terlihat menangis terharu, air mata membahasi pipi yang sedari tadi hanya dibasahi oleh keringat dan air hujan.
Lampard mempersembahkan golnya untuk ibunda tercinta yang telah berpulang lebih dulu sebelum melihat anaknya mencetak gol di pertandingan penting itu. Chelsea memang kalah di final tetapi aksi Lampard yang merayakan golnya dengan cara menangis dan mempersembahkan untuk sang ibu mengingatkan bahwa tak selamanya perayaan dirayakan dengan cara tertawa.
Lampard dan Chelsea adalah bagian yang bisa dipisahkan. Seperti pentingnya jantung dalam organ tubuh manusia. Begitu pun sosok Lampard di Chelsea. Lampard yang didatangkan oleh Claudio Ranieri dari West Ham United berhasil menjelma menjadi seorang pemain yang namanya begitu dielu-elukan.
Bahkan torehan 147 golnya bersama Chelsea menjadikan Lampard sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa di Chelsea. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana seorang gelandang tetapi bisa menjadi pencetak gol terbanyak. Tetapi Lampard berhasil mematahkan stigma bahwa pemain tengah hanya bertugas sebagai pengumpan untuk penyerang.
Cerita romantis nan indah Lampard bersama Chelsea setidaknya memang telah berakhir. Kepergian Lampard dari Stamford Bridge bisa menjadi salah satu kepergian yang sudah seharusnya diiringi dengan air mata. Lampard pun memilih New York City sebagai pelabuhan selanjutnya untuk melanjutkan karir. Tentunya ada alasan lain mengapa Lampard memilih New York City sebagai klub berikutnya. Mungkin Lampard tidak mau bermain untuk klub yang bisa bertemu dengan Chelsea.
amun sayangnya harapan Lampard sirna ketika New York City meminjamkannya ke Manchester City yang notabene adalah rival Chelsea dalam perburuan gelar Liga Inggris. Sebagai pesepakbola profesional, Lampard pun berlabuh ke Manchester City untuk enam bulan kedepan. Tetapi dengan satu syarat, Lampard enggan bermain ketika Manchester City berhadapan dengan Chelsea.
Tetapi apa daya, Lampard hanyalah seorang bawahan yang sudah semestinya taat pada atasan. Nama Lampard pun masuk dalam pemain cadangan Manchester City saat bertemu Chelsea.
Akhirnya gong penanda kehidupan Lampard yang baru pun berbunyi nyaring saat ribuan suporter Manchester City meneriakan namanya. Melihat Frank Lampard memakai jersey warna biru selain Chelsea adalah hal yang tak pernah terpikirkan oleh siapa pun, terlebih lagi melihatnya mencetak gol ke gawang Chelsea. Sungguh menyakitkan. Tapi apa boleh buat, Lampard adalah pesepakbola yang selalu taat dan bermain untuk klub yang dibelanya.
Sama seperti di final Liga Champions Eropa kala Lampard melakukan selebrasi dengan cara menangis dan terdiam. Kali ini pun demikian, untuk kedua kalinya Lampard merayakan golnya dengan cara menangis.
Tidak ada yang lebih mengharukan selain melihat ekspresi haru Frank Lampard itu. Ingatan Lampard di detik-detik itu mungkin mengawang ke masa lampau. Dia teringat ketika sang Ibu yang telah tiada itu berpesan pada dirinya untuk terus dan tetap bermain bersama Chelsea. Sebuah hal pelik dan pengkhianatan telah dia lakukan. Tapi apadaya, inilah kenyataan, inilah hidup, masa depan adalah misteri, tak pernah ada yang menduga.
Dikirim oleh Raymond Latumahina, Mahasiswa-entah-kapan-sarjana, berkelana di Twitter dengan nama @raysistance
Komentar