Pekan lalu, timeline twitter saya sempat diramaikan tweet yang mengejek dan menyindir salah satu kelompok supporter sepakbola, pasalnya kelompok suporter tersebut menjadi objek liputan dalam program kriminal di salah satu stasiun televisi nasional. Saya tak ingin ikut menghujat atau membela salah satu kelompok, namun marilah kita menanggapi fenomena ini dengan jernih bahwa kriminalitas memang telah menjangkiti sepakbola tanah air, tak hanya dalam ranah supporter namun juga regulator dan para pelaku utama di lapangan.
Dugaan pemain sepakbola yang menerima suap menjadi cerita lama. Tak cukup di situ, bahkan kasus wasit disuap pun sudah tak bisa disangkal menyusul dihukumnya Ketua Komite Wasit, Djafar Umar, di awal-awal bergulirnya Liga Indonesia, karena sindikat pengaturan wasit dan pertandingan.
Itu memperpanjang cerita tak sedap soal kriminalitas pengaturan skor di sepakbola Indonesia. Di masa yang sering dipuja sebagai masa keemasan sepakbola, bahkan pernah mayoritas pemain senior timnas tersangkut kasus suap. Menjelang persiapan Asian Games 1962, saat Indonesia jadi tuan rumah, para pemain timnas yang tersangkut suap sampai diperiksa di kantor polisi. Imbasnya menyedihkan: Tony Pogacknik, pelatih timnas saat itu, mesti merombak skuatnya, dan timnas pun hancur di event yang sebenarnya digadang dan dipersiapkan sebagai puncak prestasi tim nasional.
Di era Galatama, isu suap menjadi cerita sehari-hari. Amat biasa surat kabar, misalnya Tabloid Bola, memberitakan perkara suap ini. Toh ini tak terselesaikan dan kemudian menjadi salah satu penyebab penting merosotnya mutu dan gengsi Galatama.
Katakanlah semua itu (aksi kejahatan sepakbola oleh regulator dan pelaku sepakbola) memang samar-samar dan tak terbukti secara tegas karena dilakukan secara rapi dan oleh mafia-mafia yang memiliki jaringan, namun tidak demikian dengan apa yang dibikin oleh suporter sepakbola. Semuanya kasat mata, tertangkap tangan, terdokumentasi, bahkan terkadang barang bukti pun tak sulit didapat.
Tindakan-tindakan supporter sepakbola yang mengarah kepada kriminalitas ini sesungguhnya bukan lagi urusan komdis, federasi, ataupun klub yang didukungnya, namun sudah menjadi yurisdiksi penegakan hukum oleh aparat keamanan, karena apa yang seringkali dilakukan oleh supporter di negeri ini secara nyata telah menjurus kepada aksi kriminal murni secara hukum positif.
Selama ini yang menjadi rujukan dalam pemberian sanksi dalam kerusuhan sepakbola ditanah air adalah PSSI, dan bentuk sanksi nya pun tidaklah berhubungan dengan hukum positif yang berlaku. Sanksi biasanya berupa hukuman kepada kelompok suporter tersebut, misalnya: dilarang melakukan tur tandang, dilarang menggunakan atribut. Kadang sanksi juga diberikan pada klub, seperti dilarang menggelar pertandingan kandang dengan penonton, sampai dihukum bermain di luar kota.
Padahal begitu banyak hal-hal yang terkait dengan tidak kerusuhan ini adalah nyata-nyata pelanggaran norma hukum, terutama hukum pidana. Ada beberapa hal yang memenuhi unsur delik pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang biasa dilakukan oleh para suporter sepakbola di Indonesia, ada beberapa tindak pidana kejahatan yang berkaitan langsung dengan terjadinya kerusuhan supporter sepakbola.
Pertama adalah tindak pidana tentang penghancuran atau perusakan barang yang diatur dalam Bab XXVII buku kedua KUHP. Mengenai hal ini,  semua dapat kita lihat saat terjadinya kerusuhan sepakbola baik di dalam stadion maupun luar stadion. Bukti-buktinya pun jelas dan terekam dalam berbagai dokumentasi, pembakaran serta perusakan fasilitas umum dan kendaraan-kendaraan pribadi menjadi hal yang dapat dipastikan akan selalu mengikuti saat terjadi kerusuhan sepakbola.
Kedua adalah tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Bab XX buku kedua KUHP, dan tindak pidana yang satu ini akan semakin nyata saat melibatkan dua kelompok suporter yang berbeda. Bahkan aksi-aksi penganiayaan  dalam kerusuhan sepakbola tidak jarang pula harus menelan korban jiwa.
Selain itu beberapa hal lain yang dilakukan para suporter dan terjadi sebelum atau sesudah kerusuhan pun dapat pula dijerat dengan hukum pidana, yaitu saat para suporter mengonsumsi obat-obatan terlarang untuk membuat mereka lebih âterbangâ saat beraksi mendukung tim kesayangannya. Bahkan sekedar mengenggak minuman keras sebelum pertandingan seakan telah menjadi ritual rutin bagi sebagian suporter sepakbola, dan efeknya pun cukup mengerikan. Dalam keadaan mabuk, para suporter tentu lebih tidak terkendali, sangat agresif dan mudah melakukan hal-hal yang sulit dikontrol.
Selain tindak kejahatan, bentuk pelanggaran pun biasa mereka lakukan saat menuju ataupun pulang dari stadion. Dalam hal ini adalah tindak pidana pelanggaran lalu-lintas. Kita akan sangat mudah menjumpai pemandangan suporter yang mengemudikan motor ugal-ugalan, tidak menggunakan helm, berboncengan motor lebih dari tiga orang dll.
Maka di mana peran para penegak hukum saat tindakan-tindakan âkhasâ suporter sepakbola ini telah nyata-nyata termasuk kategori pidana dan kriminal murni?.
Relatif jarang kita dengar berita penuntutan secara konvensional bagi pelaku tindak pidana dalam sebuah pertandingan sepakbola, yaitu tuntutan jaksa, proses peradilan dipengadilan umum hingga jatuhnya vonis. Sebuah kekeliruan telah terjadi, kejahatan-kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dalam ranah pertandingan sepakbola dianggap berbeda cara penanganannnya dengan penanganan tindak pidana di luar sepakbola, padahal kita memiliki hukum acara yang harus dilaksanakan untuk menegakkan hukum pidana.
Kejahatan di luar lapangan yang berhubungan dengan sepakbola pun tak mendapat konsekuensi hukum yang jelas, jika suatu kasus dalam federasi berhasil terbongkar yang terjadi kemudian hanyalah sanksi administratif dikalangan intern organisasi PSSI itu sendiri yaitu berupa pemecatan. Padahal yang namanya suap adalah  termasuk kejahatan pidana, dan siapapun pelakunya haruslah berhadapan dengan hukum.
Sudah saatnya paradigma hukum dalam menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan sepakbola kembali diluruskan. Siapapun orangnya dan apapun tindakannya meski dilakukan dalam ranah sepakbola, jika itu memenuhi unsur-unsur pidana maka hukum harus masuk dan menampakkan wajahnya. Ini penting agar masyarakat mendapat pembelajaran dan keyakinan bahwa ketertiban dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sepakbola, akan terjamin.
Para pelaku pun akan berpikir dua kali saat melakukan tindakan yang akan membuatnya berhadapan dengan sanksi yang tegas, tak hanya denda namun juga hukuman kurungan dan penjara hingga bertahun-tahun. Efek jera, jika bisa dipraktikkan secara maksikum, memungkinkan terbangunnya pemahaman akan pentingnya berlaku tertib, bertindak secara wajar dan tak melanggar hukum.
Contoh nyata dapat kita lihat dalam kasus-kasus di Eropa. Calciopolli di Italia, misalnya. Justru FIGC lah yang membiarkan penyidik umum memasuki wilayahnya dan membantu membuka akses untuk membongkar kasus ini, ini semua tentang nurani dan kesungguhan dalam law inforcement.
*Tulisan ini dikirim oleh: Eko Noer Kristiyanto, Anggota IPHI (Ikatan Peneliti Hukum Indonesia), berakun twitter @ekomaung
Komentar