Di Olympic Stadium Montreal, Kanada, berlangsung partai semifinal Piala Dunia Sepakbola Perempuan yang mempertemukan the Lionesses, kesebelasan Inggris perempuan, berhadapan dengan Nadeshiko, julukan kesebelasan Jepang perempuan. Duel sengit ini berakhir sama kuat 1-1 pada babak pertama. Kedua tim saling jual beli serangan pada babak kedua, ketika pertandingan sepertinya akan dilanjutkan ke babak tambahan waktu, hal yang luar biasa ajaib terjadi: defender senior Inggris, Laura Basset, melakukan gol bunuh diri di detik-detik akhir pertandingan (baca: Tragedi Laura Basset).
Jepang pun berhak melaju ke partai puncak untuk menghadapi Amerika Serikat yang beberapa jam sebelumnya menaklukan Jerman.
Semua anggota tim Jepang larut dalam sukacita. Tak hanya kapten Aya Miyama dan pemain senior Homare Sawa, staff pelatih dan juga seluruh ofisial yang dibawa ke Kanada oleh pelatih Norio Sasaki merasakan kegembiraan yang luar biasa. Bahkan di media sosial sudah bermunculan perayaan khusus untuk kesebelasan Jepang perempuan merayakan keberhasilan mereka mencapai final Piala Dunia untuk kedua kalinya, sekaligus mendekatkan mereka kepada ambisi mempertahankan gelar yang mereka raih di edisi sebelumnya, Jerman 2011.
Pandit Football Indonesia banyak menurunkan cerita-cerita menarik dari gelaran Piala Dunia Perempuan. Anda bisa membaca kisah-kisah seru Piala Dunia Perempuan ini di sini:
Performa Jepang pada Piala Dunia Perempuan edisi ketujuh ini terbilang sangat berbeda dengan sebelumnya. Pada edisi kali ini Jepang lebih mengandalkan kolektivitas dan kerjasama, tidak lagi mengandalkan pencetak gol terbanyak mereka, Homare Sawa. Bahkan ban kapten sudah tidak lagi melingkar di lengan pemain kelahiran 6 September 1978 ini. Kepemimpinan Nadeshiko sudah diestafetkan kepada Aya Miyama yang 6 tahun lebih muda dibandingkan Sawa.
Tidak sampai disitu, Jepang juga mulai memunculkan pemain-pemain muda yang nantinya akan meneruskan perjuangan para seniornya. Yang paling sensasional tentunya Mana Iwabuchi (22 tahun) yang bermain untuk FC Bayern dan Yuika Sugasawa (24 tahun) yang bermain di kesebelasan lokal, JEF United.
Jepang mengusung ambisi mempertahankan gelar juara, yang selama ini hanya bisa dilakukan oleh Jerman pada edisi 2003 dan 2007. Dengan komposisi tim yang tidak jauh berbeda, namun jauh lebih matang dibandingkan 4 tahun sebelumnya, target Jepang untuk menjadi juara kedua kalinya bukan angan kosong belaka.
Lolosnya Jepang ke partai puncak untuk kedua kalinya bukan berasal dari proses yang instan. Sebelum munculnya generasi emas sepakbola perempuan Jepang yang saat ini bermain di Kanada, mereka sempat mengalami krisis pada 1999 hingga 2002. Krisis itu diawali oleh kegagalan mereka lolos ke Olimpiade Sydney 2000.
Hal ini menyebabkan banyak kesebelasan menarik diri dari L-League, yang merupakan kompetisi sepakbola perempuan di Jepang. Padahal beberapa tahun sebelumnya pamor sepakbola perempuan di Jepang sudah mulai meningkat.
Akhirnya pada 2002 JFA (Japan Football Associations), selaku otoritas sepakbola Jepang, mengagendakan perubahan besar besaran. Salah satu pemicu perubahan besar-besaran dalam sepakbola perempuan di Jepang adalah perfoma ciamik Jepang ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia Laki-laki pada tahun. Revitalisasi pemain dan perubahan struktur organisasi menjadi agenda utama dalam perubahan yang dicanangkan JFA.
Bandingkan dengan kebobrokan tata kelola sepakbola perempuan di Spanyol. Di sana, para pemain perempuan bahkan berani menentang dan mengkritik federasi dan pelatihnya secara terbuka. Simak kisahnya:
Perubahan dalam sepakbola perempuan di Jepang dimulai dengan ditunjuknya Eiji Ueda sebagai pelatih kepala tim nasional. Ia diberi target untuk meloloskan Jepang ke Olimpiade Athena 2004. Meskipun sempat mengalami kekalahan beruntun, Homare Sawa dan kawan kawan berhasil memastikan tiket ke ajang olahraga terbesar di dunia ini dengan mengalahkan Korea Utara di partai penetuan.
Lolosnya Jepang ke Athena 2004 juga meningkatkan ketertarikan publik terhadap Sawa, dkk. Pada 2004, JFA sempat mengadakan survey terbuka untuk menentukan julukan bagi kesebelasan sepakbola perempuan. Dari 2700 nama yang masuk, maka dipilihlah nama Nadeshiko yang berarti âbunga anyelirâ. Nama ini berasal dari frase tradisional Jepang, Yamato Nadeshiko, atau Perempuan Ideal Jepang.
Perubahan juga terjadi di L-League. Sistem wilayah, yang membagi kompetisi ke dalam wilayah yaitu Timur dan Barat dan juara masing masing wilayah akan bertemu di partai puncak untuk memperebutkan gelar juara, tidak lagi dipakai. Sejak 2004, L-League mengantinya dengan sistem kompetisi penuh.
L-League terbagi 3 divisi, yaitu Nadeshiko League Div.1 sebagai kompetisi utama, Nadeshiko League Div.2 merupakan tingkat kedua dan Challenge League yang merupakan kompetisi level 3 untuk sepakbola perempuan Jepang.
Ditambah lagi dengan regulasi baru yang mengharuskan setiap tim peserta liga harus menjadi tuan rumah kamp latihan antara peserta L-League dan klub sepakbola perempuan internasional dalam satu waktu setiap tahun. Hal ini ditujukan untuk saling berbagi pengalaman dan tentunya meningkatkan kemampuan sepakbola para peserta L-League.
13 tahun sejak perubahan yang dicanangkan JFA untuk sepakbola wanita, hasilnya langsung terlihat nyata. Nadeshiko sudah meraih berbagai prestasi diantaranya Juara Turnamen Sepakbola Perempuan Asia Timur tahun 2008 dan 2010, medali emas Asian Games 2010, dan Juara Piala Dunia Perempuan 2011. Ditambah prestasi terbaru mereka, medali perak cabang sepakbola perempuan Olimpiade London 2012. Sebuah hasil yang luar biasa yang berasal dari keinginan seluruh elemen sepakbola Jepang untuk melakukan perubahan.
Kini mereka sedang mencoba menuai apa yang sudah ditanam itu: mempertahankan gelar juara dunia.
Harapan tersebut bukan hanya milik warga negara seluas 377,944 km persegi ini saja, tetapi mungkin juga menjadi harapan dari seluruh bangsa asia, yang berharap bahwa perempuan-perempuan terbaik dari ras kuning berhasil mengangkat trofi Piala Dunia, di saat tim sepakbola pria Asia sedang dalam fase yang masih jauh dari tangga juara dunia. (baca editorial kami tentang kiprah perempuan-perempuan Asia bermain sepakbola).
Harapan ini juga agaknya tertuang dalam jersey Aya Miyama dan kawan kawan yang memilki aksen merah muda warna khas bunga sakura, yang kira-kira mengisyaratkan bahwa kemenangan Nadeshiko di BC Place, Vancouver 5 Juli, nanti sangat ditunggu tunggu, seperti menantikan bunga sakura yang hendak bersemi sekali lagi.
Pandit Football Indonesia relatif memberi perhatian besar kepada perkembangan sepakbola perempuan. Tulisan mengenai sepakbola perempuan bahkan lebih sering ditulis ketimbang futsal. Untuk menelusuri seperti apa serunya perkembangan peranan perempuan dalam sepakbola, telusuri di halaman ini: ragam cerita sepakbola dan dunia perempuan.
Komentar