Radja Nainggolan, Batak dan Predikat "Si Pemain Medan"

PanditSharing

by Pandit Sharing 50094

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Radja Nainggolan, Batak dan Predikat

Dikirim Oleh: Murhartadi Siregar*

Sambil menunggu bergulirnya musim baru kompetisi Eropa, turnamen pemanasan semacam International Champions Cup 2015 menjadi hiburan bagi penikmat sepakbola tanah air, termasuk penulis. Salah satu pertandingan mempertemukan AS Roma menghadapi Manchester City, di mana Radja Nainggolan turut bermain.

Radja Nainggolan lahir di Antwerp, Belgia, dari pasangan Lizi Bogaerd yang berkebangsaan Belgia dan Marianus Nainggolan yang berkebangsaan Indonesia. Lizi dan Marianus berpisah ketika raja masih berusia lima atau enam tahun.

Radja tinggal dan tumbuh bersama ibunya di Belgia, sedangkan ayahnya tinggal di Indonesia. Karir sepakbola Radja pun dimulai dan berkembang di Belgia. Pemain kelahiran 4 Mei 1988 ini memulai karirnya di klub lokal, Germinal Beerschot. Ia lalu pindah ke Italia bersama Piacenza saat masih berusia 17. Karir Radja kian menanjak saat hijrah ke Cagliari, hingga kini berseragam AS Roma.

Konon kabarnya Radja ditelantarkan ayahnya sejak kecil. Karena itu pulalah ia lebih memilih berkewarganegaraan Belgia ketimbang Indonesia, sebagai bentuk protes kepada sang ayah. Alasan Radja memilih Belgia karena ditelantarkan boleh jadi tidak benar. Karena jika Radja memilih Indonesia, akan timbul keterbatasan dalam karirnya sebagai pesepakbola. Misalnya, dia tidak akan bisa bermain di Liga Inggris yang mensyaratkan kewarganegaraan pemain asing tidak boleh dibawah rangking 70 FIFA. Ditambah kemungkinan lebih berprestasi di level timnas bersama generasi emas Belgia. Toh sama-sama negara orangtuanya.

Saat pertandingan AS Roma menghadapi Manchester City berlangsung, penulis dan beberapa rekan menyaksikan pertandingan tersebut di televisi. Karena Radja menggunakan nama “Nainggolan” sebagai nama pada kostumnya, seorang rekan berkomentar, “Pemain Medan itu”.

Apa yang diucapkan rekan penulis tadi terbilang menarik. Ada sejumlah hal yang semestinya bisa dikaji lebih dalam sebelum memahami pernyataan tersebut.

Pertama, adalah tentang “Medan”. Sebelum 1590, Medan adalah area hutan belantara di antara Sungai Deli dan Sungai Babura, yang kemudian dihuni oleh Guru Patimpus bersama keluarganya (Guru Patimpus kemudian dianggap sebagai pendiri Medan). John Anderson, seorang Eropa yang datang ke tanah Deli pada 1833 menemukan Medan sebagai sebuah kampung berpenghuni kurang lebih 200 penduduk. Karena kebijakan VOC-nya Belanda lah, pada 1886 Medan berubah status menjadi daerah administratif kota dan dijadikan ibukota Karesidenan Sumatera Timur.

Medan terus berkembang hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Medan merupakan kota besar dan menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara hasil penggabungan Karesidenan Sumatera Timur dan Karesidenan Tapanuli.

Kedua adalah “Nainggolan”. Nainggolan adalah sebuah marga dari suku Batak. Marga selalu mengikuti di belakang nama orang yang memiliki marga tersebut. Jadi, Radja Nainggolan adalah seorang yang bernama Radja dan bermarga Nainggolan.

Suku batak adalah suku yang menganut sistem patriliniar, garis keturunan dari ayah. Seseorang anak akan mendapat marga dari ayahnya, yang artinya marga si ayah akan sama dengan marga si anak. Suku Batak adalah penduduk asli yang mendiami pegunungan bukit barisan di sekitar Danau Toba. Kawasan yang menjadi tempat bermukim suku batak saat ini masuk ke dalam daerah administratif Provinsi Sumatera Utara.

Maka dari itu, sangat mudah mengasosiasikan Nainggolan yang merupakan marga Batak dengan kota Medan sebagai ibukota. Mungkin sudut inilah yang memproduksi pernyatan bahwa Radja Nainggolan adalah pemain Medan.

“Pemain Medan”, diksi ini menjadi pertanyaan lanjutan dari pernyataan “Pemain Medan itu”. Pemain seperti apa sebenarnya yang dapat didefinisikan sebagai “Pemain Medan?”

Medan dan sepakbola menghasilkan PSMS Medan. Sebenarnya masih ada kesebelasan lain yang bermukim di Medan. Seperti Pardedetex (era Galatama), Medan Chiefs (ketika IPL bergulir), Pro Duta (pindahan dari Yogyakarta), PS Kwarta, dan Medan Jaya (Galatama berlanjut di era Liga Indonesia). Namun dengan segala reputasinya, PSMS Medan-lah yang mampu menjadi  simbol sepakbola di kota Medan.

PSMS memiliki ciri khas permainan cepat, keras, ngotot, dan tanpa kompromi, atau biasa dikenal dengan sebutan “Rap-rap”. Dan entah kenapa, filosofi Rap-rap ini tidak berubah dari masa ke masa. Pergantian pelatih, keluar dan masuk pemain tidak banyak memengaruhi Rap-rap.

Lantas, siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai “Pemain Medan?”

Apakah marga batak yang melekat di nama seorang pemain? Jika ini dijadikan sebagai dasar, maka Patar Tambunan , Ansyari Lubis, Mahyadi Panggabean, Ferdinand Sinaga, dan Paulo Sitanggang adalah pemain Medan. Namun nyatanya, Ansyari Lubis lahir di Tebing Tinggi, Ferdinand Sinaga lahir di Bengkulu, dan Paulo Sitanggang lahir di Deli Serdang. Ditambah lagi, Ansari, Ferdinand dan Paulo tidak atau belum pernah membela PSMS Medan.

Kalau kelahiran yang dijadikan dasar sebagai dasar, maka contoh pemain Medan adalah adalah Legimin Rahajo, Wijay, Agus Cima, Roni Pasla, dan Jaya Hartono. Lahir di Medan, namun mereka sama sekali tidak memiliki marga batak dan bukan orang batak. Bahkan Wijay adalah WNI keturunan India. Menilik sisi lain, Legimin Rahajo, Wijay, Agus Cima, Roni Paslah, dan Jaya Hartono pernah membela PSMS Medan.

Atau apakah “Pemain Medan” adalah pemain yang dapat memainkan sepakbola dengan filosofi Medan?

Tidak seperti Athletic Bilbao di Spanyol yang hanya menggunakan pemain lokal atau keturunan, PSMS juga mengontrak pemain luar untuk membela panji Ayam Kinantan, julukan PSMS. Murphy Komunple (Kewarganegaraan Liberia), Restu Kartiko (lahir di Semarang), Boy Jati Asmara (lahir di Bandung), dan Marwal Iskandar (lahir di Palopo), merupakan contoh pemain ‘luar’ yang pernah bermain di PSMS. Mereka dapat bermain ‘sangat Medan’. Bahkan Restu Kartiko yang pemain luar terlihat lebih Rap-rap dari pada Agus Cima yang lahir dan tumbuh di Medan.  Mereka-kah “Pemain Medan?”

Jika “Pemain Medan” harus orang batak, lahir di Medan, dan pernah bermain untuk PSMS Medan, contoh pemain Medan adalah Iwan Karo-Karo dan Saktiawan Sinaga.

Lalu ada di golongan mana Radja Nainggolan? Orang Batak? Ya karena marganya “Nainggolan”. Lahir di Medan? Tidak, dia lahir di Antwerp, bahkan kewarganegaraannya pun Belgia. Bermain untuk PSMS, jelas sekali tidak, (atau mungkin belum?). Bermain Rap-rap? Posisi sebagai gelandang tengah atau gelandang bertahan Nainggolan untuk banyak bertabrakan dengan pemain lawan.

Lalu? Apa dia “Pemain Medan” seperti kata rekan saya tadi?

Bisa “Ya”, bisa juga “tidak”. Terserah. Faktanya: Namanya Radja, marganya Nainggolan, dia orang batak, lahir di Antwerp,kewarganegaraan Belgia, dan belum pernah bermain untuk PSMS Medan.

Toh Medan dengan PSMS-nya tidak melulu tentang batak. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2010, mayoritas penghuni Kota Medan adalah orang Jawa dengan 27%, diikuti Batak 19% dan keturunan Tiongkok 17%.

Foto: utdreport.com

Penulis tinggal di Yogyakarta dengan akun twitter @murhartadi

Komentar