*Ditulis oleh Putra Rusdi Kurniawan
Terkadang wasit bisa menjadi paradoks, ia dijuluki âSang Pengadilâ, tapi keputusan yang diambilnya justru membuat salah satu pihak merasa diperlakukan dengan tidak adil.
Dunia olahraga berkali-kali dipertemukan dengan wasit yang paradoksal. 2 Mei 2015 lalu, dunia tinju menggelar pertandingan yang bergelar The Match of Century yang mempertemukan Floyd Mayweather Jr dan Many Pacquiao di MGM Grand, Las Vegas. Pertandingan yang begitu dinanti ini berakhir dengan kekecewaan akibat kemenangan si antagonis, Mayweather. Waktu itu, wasit dianggap bersikap tak adil karena memenangkan Mayweather lewat hitungan poin.
Ranah sepakbola cukup akrab dengan cap âketidakadilanâ yang melekat pada awasit. Contoh terbarunya pada semifinal Piala Emas 2015 yang mempertemukan Panama dan Meksiko. Di akhir laga, wasit memberikan penalti yang mengubah keseluruhan laga. Waktu itu Ramon Torres yang membela Panama dianggap hand ball di kotak penalti beberapa saat setelah ia terjatuh akibat duel.
Pelanggaran hand ball membutuhkan pemahaman lebih dari wasit, karena tidak semua handball layak dijatuhi hukuman. Sebagai contoh, handball akibat gerakan refleks melindungi anggota tubuh dari cedera, seperti menutupi kemaluan atau muka dari bola atau kondisi yang menyebabkan tangan pemain tidak  dapat menghindarkan bola, contoh ini mengacu pada jarak tangan dan bola yang sudah terlalu dekat.
Baca juga:Mempelajari Aturan Hand Ball Lewat Kasus Di Maria
Jadi Wasit Itu Sulit, Maka Cobalah Permainan Ini
Keputusan kontroversial wasit juga muncul di babak perpanjangan waktu. Meksiko, lagi-lagi, dihadiahi tendangan penalti oleh wasit. Mimpi Panama harus buyar di tengah jalan, Meksiko menang 2-1 dan berhak untuk lolos ke partai puncak.
Bagi banyak orang, kemenangan yang didahului dengan kejadian-kejadian kontroversial adalah kemenangan yang pantas dipertanyakan. Pertandingan ulang menjadi hal yang dituntut oleh sebagian pihak. Namun apa boleh buat, alih-alih mendapatkan pertandingan ulang, Panama justru harus menyaksikan Meksiko yang menyelesaikan partai final dengan kemenangan 3-1 atas Jamaika.
Kekecewaan serupa juga pernah dialami oleh timnas Republik Irlandia saat melawan Perancis pada babak play off Piala Dunia 2010. Di laga itu, bek Perancis, William Gallas, mencetak gol penyeimbang saat babak perpanjangan waktu. Hasil imbang 1-1 membawa Perancis lolos ke putaran final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Gol Gallas pun diprotes Irlandia karena Thierry Henry diyakini melakukan handball sebelum memberikan umpan kepada Gallas.
Jauh sebelum dua kasus di atas, kejadian serupa juga terjadi pada perhelatan Piala Dunia 2002. Korea Selatan yang menjadi tuan rumah dituding sebagai biang kerok tersingkirnya Italia di babak 16 besar. Sejumlah keputusan wasit asal Ekuador, Byron Moreno, mulai dari gol Damiano Tomassi yang dianulir hingga kartu merah Francesco Totti yang dianggap diving, dinilai sebagai keputusan yang berat sebelah: menguntungkan tuan rumah dan merugikan Italia. Atas segala keputusannya yang menimbulkan tanda Tanya besar itu, Moreno bahkan disinyalir ingin membalaskan dendam karena negaranya dikalahkan oleh Italia 0-2 pada babak grup G Piala Dunia 2002. Yang menyedihkan, kejadian ini juga berakibat buruk terhadap karir pesepakbola Korea Selatan, Ahn Jung Hwan, yang waktu itu bermain untuk Perugia. Jung Hwan diusir  presiden Perugia atas dasar sakit hati yang muncul akibat pertandingan kontriversial tersebut.
Ada banyak kasus dalam sepakbola yang pada akhirnya mempertanyakan keadilan wasit itu sendiri. Memang, kekalahan dan kemenangan adalah perihal yang wajar dalam sepakbola. Namun tetap saja, kemenangan dan kekalahan akibat hal-hal kontroversial adalah dua hal yang sulit diterima; sesulit mengubah kepeutusan yang terlanjur diambil oleh wasit di atas lapangan.
Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris Universitas Diponegoro, bisa dihubungi lewat akun Twitter @putrark.
Komentar