Karya Muhammad Hafizhuddin
Bahasa Indonesia mengenal akronim Ospek. Mulanya itu singkatan dari Orientasi Studi Pengenalan Kampus (ospek) yang kerap diselenggarakan di sekolah-sekolah menengah atau universitas di awal tahun ajaran baru. Ada istilah lain yang mirip yaitu Masa Orientasi Siswa (MOS).
Pihak sekolah, baik jajaran guru atau pun siswa yang menjadi panitia, selalu beralasan masa orientasi dan segala tetek bengeknya dilakukan sebagai upaya penguatan mental, melatih kekompakan, dan mengajarkan kedisiplinan. Hal ini bisa saja benar, bisa saja salah. Masalahnya selalu terjadi pada penerapan di lapangan.
Beberapa hari lalu kita melihat geramnya Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan Anies Baswedan saat inspeksi mendadak ke beberapa sekolah di Tangerang. Anies melihat langsung bagaimana murid baru mengenakan atribut-atribut aneh seperti tas dari karung goni dan topi dari bola plastik (mungkin Anda pernah merasakan hal yang sama, atau bahkan lebih parah). Menyaksikan hal tersebut, Anies pun langsung menyuruh para siswa baru melepaskan atribut anehnya. Beberapa panitia juga ikut membantu melepaskannya.
âPenyimpangan, perpeloncoan, mempermalukan masih terus terjadi dan itu harus dihentikan. Saya temukan tadi panitia tidak pernah membaca peraturan soal orientasi siswa baru,â kata Anies kepada media.
Anies mengatakan hal-hal seperti ini akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Senior akan seenaknya memperlakukan juniornya. Tentunya akan berlangsung turun-temurun.
Tapi istilah Ospek kemudian berkembang tidak hanya untuk masa orientasi bagi siswa atau mahasiswa baru. Ospek kemudian berkembang menjadi istilah untuk fase awal bergabungnya seseorang ke dalam lingkungan baru. Dalam perkembangannya yang baru, âdi-ospekâ berarti dikerjain oleh orang-orang yang lebih dulu atau lebih awal atau lebih senior di dalam suatu lingkungan/komunitas.
Cerita lain tentang hubungan sepakbola dan sekolahPemerintah Cina akan Masukan Sepakbola pada Kurikulum di Sekolah
Game Football Manager Akan Dipelajari di Sekolah
Semua Pemain Akademi City Diwajibkan Sekolah
Komunitas/lingkungan dimaksud bisa memang berarti sekolah, bisa juga komunitas non/informal, katakanlah kelompok suporter, geng motor hingga circle group lainnya. Tidak selalu beraura kekerasan atau intimidasi fisik, tapi biasanya ada bau-bau dikerjain.
Dan ini juga terjadi di sepakbola. Bahkan sudah menjadi tradisi di banyak kesebelasan. Beberapa kesebelasan, khususnya di Inggris, punya caranya tersendiri untuk menyambut pemain baru. Aturannya, para pemain baru tersebut harus âdipermalukanâ di depan pemain lainnya. Tentu tidak dengan tas karung goni di punggung dan potongan bola plastik di kepala. Biasanya hanya disuruh bernyanyi.
Contoh teranyar yaitu Andre Ayew yang baru bergabung dengan Swansea City. Ia menyanyikan lagu Perancis dengan menjadikan pisau makan sebagai mik. Sementara di kubu Aston Villa, dengan percaya diri Micah Richards menyanyikan lagu Nice and Slow milik Usher diiringi tepuk tangan pemain lainnya, meski suara Micah tidak bisa dibilang baik.
Musim lalu, trio pemain anyar Chelsea rela bernyanyi sambil berjoget. Diego Costa dan Cesc Fabregas tanpa canggung menampilkan tarian Macarena. Sementara Filipe Luis, yang musim ini dipulangkan ke Atletico Madrid menyanyikan lagu Ai Se Eu Te Pego yang pernah tenar itu, dengan sedikit tidak percaya diri (Ah, bisa jadi ini menjadi salah satu aspek penilaian Jose Mourinho terhadap pemainnya yang pantas dipertahankan).
Beberapa tahun sebelumnya, pemain baru Chelsea harus menyanyikan lagu kebangsaan negara masing-masing dengan suara lantang. Frank Lampard berseloroh bahwa lagu kebangsaan Pantai Gading versi Salomon Kalou, yang didatangkan dari Feyenoord pada 2006, sangatlah buruk.
Selain bernyanyi dan berjoget masih banyak hal lain yang biasanya dilakukan oleh pemain lama dengan ide-ide jahilnya. Misal, Gerd Muller kala bergabung dengan Bayern Muenchen pada 1964. Saat itu, tak ada satu pun rekan barunya yang menyapa dan mengajaknya berbincang. âSaya merasa seperti tak terlihat,â ujarnya.
Meski mencetak dua gol di tim reserve pada pekan pertama, rekan-rekan lain hanya menjabat tangan Muller sembari tetap diam. Barulah di pekan berikutnya Muller disambut tepuk tangan meriah saat berjalan ke ruang ganti karena telah berhasil melewati apa yang mereka sebut two week silent treatment.
Ada juga perlakuan-perlakuan yang bisa dianggap cukup kasar dan keterlaluan. Pada 1999, John Hartson yang didatangkan dari West Ham harus terima pakaiannya dibakar oleh kawan-kawan barunya di Wimbledon FC.
Ceritanya, setelah mengikuti latihan perdana bersama klub, John menuju ruang ganti dan melihat kepulan asap dari jendela. Ia pikir ruang ganti terbakar, tapi alarm peringatan tidak berbunyi. Pemain lain malah terlihat menahan tawa. Saat mendekat, yang ia temukan hanya pakaiannya bermerek Armani yang benar-benar terbakar. John seolah tidak percaya, apalagi ia tidak membawa baju ganti lain. Jadilah ia menggunakan pakaian latihan untuk menghadiri konferensi pers setelahnya.
Rupanya John tidak begitu marah dan menganggap hal itu sebagai bagian dari keakraban di internal kesebelasan. âSaya tak tahu siapa yang melakukannya dan saya tak pernah mencari tahu. Seperti itulah cara Wimbledon, apa yang terjadi di ruang ganti tetap di ruang ganti. Tak perlu merasa marah,â ungkapnya.
Wimbledon FC di era Crazy Gang (periode 1980-an sampai 1990-an) memang terkenal dengan cara mereka mengerjai orang. Bahkan pemilik klub, Sam Hammam, tidak luput dari perangai nyeleneh Vinnie Jones, dkk.
Pada awal 2015, sempat muncul isu bahwa Profesional Footballers Association (PFA) mempertimbangkan untuk melarang bentuk-bentuk tradisi pengospekan terhadap pemain yang baru bergabung dalam klub. Sebab berdasarkan contoh yang sudah-sudah beberapa di antaranya dilakukan dengan cara yang tak wajar seperti yang dialami John Hartson (meski yang bersangkutan tak keberatan).
Namun tidak ada kejelasan yang lebih lanjut. Tak ada juga pernyataan resmi dari PFA terkait hal ini. Rasanya kesebelasan yang memiliki tradisi tersebut masih menerapkannya di musim baru ini.
Hanya saja kita belum melihat seperti ospek yang diberikan Chelsea terhadap Radamel Falcao. Jika tak ingin nasibnya seperti Filipe Luis, El Tigre (julukan Falcao) harus menunjukkan bakat bernyanyinya (sambil berjoget) dengan percaya diri. Bila perlu sambil mengaum.
Sumber: fourfourtwo.com, theguardian.com, dailystar.co.uk
Penulis seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, yang sedang mengabdi di Pers Mahasiswa Djatinangor. Dapat dihubungi melalui akun twitter: @KangApis
Komentar