Ditulis oleh F.X. Steven Danis
Keberadaan sepakbola perempuan itu ibarat mitos atau cerita-cerita seram yang kebenarannya terus dipertanyakan.
Ketika Anda membaca tulisan ini, kira-kira sudah memasuki dini hari di Vancouver, Kanada. Lampu-lampu stadion sudah dimatikan, arena utama pun sudah kosong-melompong, sementara hawa dingin yang menusuk seantero stadion membikin suasana makin mencekam.
Kondisi BC Place Stadium yang seperti ini benar-benar kontras bila dibandingkan dengan 7 Juli 2015 lalu. Waktu itu, kursi-kursi hampir penuh âbukan oleh penduduk Vancouver, namun pendatang entah dari mana. Yang jelas, sebelumnya, stadion ini tak pernah terisi penuh seperti ini.
Suasananya bahkan lebih mencekam daripada malam ini. 53.341 pasang matang mengikuti ke manapun bola berjalan. Lapangan itu juga tak kosong. Teriakan yang keluar dari tiap sudut stadion membuat bulu kuduk berdiri.
Hari itu berlangsung laga final Piala Dunia Perempuan, kompetisi yang keberadaannya bagai mitos, yang lebih sering dianggap tak ada daripada ada. Buktinya, SekretariS Jenderal FIFA, Jerome Valcke, tak jadi menghadiri pembukaan turnamen empat tahunan ini. Pun demikian dengan Sepp Blatter, âtuhanâ badan otoritas tertinggi sepakbola dunia, yang juga tak jadi menghadiri laga final dan penutup kompetisi yang empat tahun mendatang diadakan di Perancis.
Simak tulisan-tulisan kami tentang sepakbola perempuan:Women on Top: Jangan Meremehkan Sepakbola Perempuan
Jangan Remehkan Perempuan-perempuan Asia
Annie Zaidi: Perempuan, Asia, Muslim yang Mencetak Sejarah di Sepakbola Inggris
Perempuan-perempuan Spanyol yang Melawan Federasi
Sepakbola perempuan sebenarnya ada dalam tatanan âkeagamaan FIFAâ, namun tak benar-benar dianggap ada. Dan untuk perlakuan yang semaam ini, rasanya, Dick Kerr Ladies yang menjadi akar permasalahannya. Pada tahun 1917, kesebelasan perempuan asal Preston ini berani menantang para pria bertandingan melawan mereka.
Seperti halnya arwah yang coba diusir para pendeta atau kyai dalam praktik exorcism, Football Association (FA) mulai membatasi gerak Alice Kell dan kawan-kawan dengan melarang mereka untuk bermain sepakbola. Akibatnya, klub ini hanya mampu bertahan sampai umur 24 tahun. Analoginya, FA tidak ingin Dick Kerr Ladies menjadi patronasi sempurna berkembangnya âpemujaan sesat (atau âsetanâ)â terhadap sepakbola perempuan di wilayah Keuskupan Canterbury tersebut.
Berabad-abad sesudahnya, tanpa kita sadari pergolakan juga terjadi di Spanyol. Bagaimana tidak, di era modern ini para perempuan Spanyol harus berjuang keras menunggu diakuinya eksistensi mereka dan menegaskan bahwa sepakbola perempuan bukan sekadar isapan jempol belaka. Perempuan tak hanya bisa menjadi juru rawat klub seperti Eva Carneiro di Chelsea, mereka juga memiliki hal sama untuk bermain dan melatih sebuah tim.
Sepakbola perempuan selalu berada di wilayah abu-abu, antara ada dan tiada. Walau Valcke yang menjadi dalang penggunaan rumput sintetis dan Blatter yang kerap membuat blunder lewat kealpaannya di Kanada, toh, BC Place Stadium tetap penuh sesak.
Silakan baca tulisan tentang kisruh penggunaan rumput buatan pada Piala Dunia Perempuan 2015
Selepas Piala Dunia, seharusnya eksistensi mereka baik para pesepakbola, klub, bahkan kompetisi perempuan tidak akan benar-benar hilang. Mereka sebenarnya selalu menghantui kita; bahkan bisa jadi kerap menggangu tidur para petinggi Manchester United ataupun Real Madrid yang memilih tak memiliki klub perempuan walau sudah didesak fans selama beberapa tahun ke belakang.
Sepakbola perempuan akan tetap ada meski Pangeran Siahaan berkelakar, apakah ada yang menonton mereka? Toh, tak ada drama (baca: diving) ataupun intrik-intrik di lapangan karena para perempuan yang rentan terkena ACL, selalu bangun lagi ketika dijatuhkan lawan.
Pada akhirnya, jika berkaca pada apa yang terjadi di ranah sepakbola perempuan, pertanyaan konyol seperti âapakah Anda percaya pada hantu?â akan sama nilainya seperti âapakah Anda percaya perempuan dapat bermain sepakbola?â
Penulis merupakan mahasiswa filsafat, pernah melatih futsal perempuan dan kontributor tetap di @womensfootie_id. Bisa dihubungi lewat akun Twitter @stevenkurus
Komentar