Muhammad Hafidh*
Dilihat dari sisi manapun, pencurian adalah hal yang merugikan. Sesuatu yang awalnya milik kita, lantas berpindah tangan tanpa izin dengan cara yang tidak sah pula. Pencurian ini beragam bentuknya mulai dari yang diatur Kitab Undang-undang Hukum Pidana hingga yang cuma disanksi moral dan nilai-nilai di masyarakat.
The Voice adalah salah satu ajang pencarian bakat yang bermula dari The Voice of Holland yang digelar di Belanda. Sebagaimana ajang franchise lain, The Voice juga digelar di Amerika Serikat dan tentu saja di Indonesia.
Pemenang The Voice ditentukan oleh khalayak lewat pemungutan suara melalui telepon, internet, pesan singkat, hingga total jumlah pembelian di iTunes Store. Peserta yang berhasil menjuarai acara tersebut berhak menerima kontrak rekaman senilai 100 ribu dollar dengan rumah rekaman Universal.
Untuk penjurian awal The Voice menggunakan empat orang yang merupakan musisi top dari negara penyelenggara. Setiap juri berfungsi sebagai pembimbing dari tiap kontestan yang mereka pilih.
Karena kesibukan masing-masing para juri ini umumnya berbeda tiap musimnya. Mereka yang pernah dan masih menangani The Voice adalah Christina Aguilera, Cee Lo Green, Adam Levine, Blake Shelton, Shakira, Usher, Pharel Wiliam, dan Gwen Stefany.
Uniknya setiap juri memungkinkan mencuri bakat setiap kontestan saat momen battle. Kontestan pada awalnya dipilih dan dilatih oleh juri. Mereka kemudian ditandingkan satu sama lain dengan lagu yang sama. Pencurian terjadi apabila salah satu kontestan dari satu pelatih gagal lolos dari tahap tersebut yang membuat pelatih lain berkesempatan mencuri kontestan tersebut. Tentu, menarik melihat Adam Levine merebut dan mencuri salah satu kontestan yang sebelumnya dilatih Blake Shelton, pun sebaliknya.
Pencurian di The Voice membuat penulis teringat dengan pencurian-pencurian yang juga terjadi di sepakbola. Berbeda dengan The Voice, pemain yang dicuri masih berstatus rumor dan belum sepenuhnya dimiliki oleh salah satu klub.
Hal terbaru terjadi pada Manchester United yang kehilangan Nicolas Otamendi dan Pedro Rodriguez karena pindah ke Manchester City dan Chelsea. Padahal, dua pemain tersebut amat dekat dengan kesepakatan bersama United.
Pedro menjadi incaran utama manajer MU, Louis van Gaal, setelah hengkangnya Angel Di Maria ke Paris Saint-Germain. Pun dengan Otamendi yang sejak Juli dihubung-hubungkan dengan United.
Apa yang terjadi pada MU merupakan hal yang biasa terjadi di sepakbola seperti Arsenal yang sering kehilangan pemain yang mereka incar karena bergabung ke kesebelasan lain dengan berbagai alasan. Namun, di sisi lain terasa ada kejanggalan karena kesebelasan sekaliber Manchester United gagal dalam urusan proses transfer. Sejumlah orang pun mulai mempertanyakanapakah United memang sudah menjadi kesebelasan yang tak lagi menarik bagi pesepakbola pada puncak karirnya.
Pedro, meskipun tidak selalu diturunkan di tim utama Barcelona, merupakan bagian penting bagi Barcelona itu sendiri. Buat Messi, Pedro bagaikan Robin yang membantu Batman dalam menumpas semua kejahatan. Bersama Barcelona, Pedro sudah memenangi 20 trofi dan merasakan dua kali treble winner. Dengan raihan tersebut, Pedro tentu ingin memenangi lebih. Namun, ia tak memilih Manchester United melainkan hijrah ke Chelsea.
Selain itu, faktor menumpuknya pemain sayap di skuat United menghantui langkah Pedro untuk hijrah ke Manchester. Pedro pastilah sadar kalau sebelumnya Di Maria tak bisa menunjukkan performa terbaiknya di Old Trafford. Belum lagi sikap keras Van Gaal yang ditujukan kepada rekan setim Pedro di Barcelona, Victor Valdes, membuat Pedro ragu bisa bertahan lama bersama United.
MU pun tidak memiliki sejarah yang hebat dalam mengembangkan pemain Spanyol. Lain halnya dengan Chelsea yang musim lalu mampu kembali menempatkan Cesc Fabregas dalam puncak permainannya.
Lain halnya dengan kepindahan Otamendi yang memberi lecutan dan luka yang teramat dalam bagi United. Keputusan Otamendi memilih City pun terbilang logis karena nilai transfer serta kesepakatan lain yang ditawarkan City lebih menarik ketimbang MU.
Pencurian kontestan yang terjadi di The Voice nyata-nyatanya juga terjadi di sepakbola. Para kontestan dihadapkan dengan sejumlah pilihan sebelum memilih âpelatihâ yang tepat yang  juga berpengaruh pada karirnya.
Di The Voice Indonesia, tentu kita ingat saat Yunita Rachman dengan sangat yakin memilih Glenn Fredly sebagai pelatihnya. Padahal Sherina, Giring, hingga Armand Maulana yang menawarkannya konser tur kecamatan seluruh Indonesia, juga meminati Yura. Pada akhirnya, Yura, panggilan akrab Yunita, tidak jadi apa-apa di The Voice. Ia tak pernah menjadi juara meski dilatih oleh idolanya, Glenn. Namun, Glenn rupanya memiliki rencana lain bagi Yura yang kemudian menjadi awal kesuksesan karir Yura di dunia musik hingga saat ini. Mungkinkah Otamendi dan Pedro memilih âpelatihâ yang tepat untuk masa depan karirnya?*Penulis merupakan mahasiswa yang berkuliah di jurnalistik iisip jakarta mencintai sepakbola Indonesia dan Liverpool
Foto: Nbc. com
Komentar