Ditulis oleh Andhika Putra Pratama
Pada bursa transfer musim panas tahun 2000, AS Roma melakukan sebuah transfer mengejutkan dengan memboyong Gabriel Omar Batistuta dari Fiorentina. Nilai transfer yang mencapai 32,5 juta euro, menjadi sebuah pertanyaan besar kala itu mengingat usia penyerang asal Argentina tersebut sudah mencapai 31 tahun.
Namun transfer yang menjadikan Batistuta sebagai pemain termahal yang berusia di atas 30 tahun itu ternyata menjadi penyempurna skuat Roma saat itu. Dengan pemain-pemain seperti Marcos Cafu, Jonathan Zebina, Damiano Tommasi, Emerson, Francesco Totti, dan Vincenzo Montella, Batistuta berhasil menjadi pencetak terbanyak Serie A pada musim tersebut dengan 20 gol.
Lebih dari itu, gelontoran gol Batistuta ini berhasil mengantarkan Roma meraih scudetto pada musim tersebut, semusim setelah rival sekotanya, Lazio, menjadi juara. Maka bisa dibilang, kehadiran Batistuta menjadi kepingan penyempurna skuat AS Roma yang kala itu dilatih oleh Fabio Capello.
Keberhasilan Roma pada musim tersebut kemudian menjadi benar-benar spesial jika melihat kiprah Roma di Serie A beberapa tahun terakhir. Karena sudah hampir 15 tahun setelah menjadi juara, trofi scudetto masih enggan ke pangkuan kesebelasan berjuluk Serigala Ibukota tersebut.
Ya, musim 2000/2001 menjadi musim terakhirnya Roma menjuarai Serie A. Era terakhir kejayaan Roma tersebut merupakan kesuksesan terakhir Roma di bawah kepemilikan presiden Franco Sensi.
Namun setelah juara, skuat sempurna Roma tersebut mulai terberai satu per satu. Jika diibaratkan sebuah puzzle, satu per satu kepingannya lepas sehingga skuat Roma tak lagi sempurna seperti musim sebelumnya.
Batistuta hanya mencetak enam gol pada musim keduanya, yang pada akhirnya dilego ke Inter pada 2003. Capello yang racikan strateginya tak digdaya lagi, hengkang pada 2004. Sementara kehadiran wonderkid bernama Antonio Cassano, hanya menghasilkan masalah dalam tim sebelum akhirnya dilepas ke Real Madrid.
Dari sekian banyak kepingan-kepingan puzzle kesempurnaan skuat Roma saat itu, Totti menjadi kepingan terakhir yang berhasil dipertahankan. Namun sayang, hingga saat ini, Roma masih belum menemukan kepingan yang pas untuk membangun skuat sempurna layaknya musim 2000-2001 dengan Totti sebagai fondasi utama.
Dari musim ke musim, bongkar pasang pemain dan pelatih selalu terjadi dalam skuat Roma. Sebelum dilatih Rudi Garcia, Roma sempat ditukangi oleh Luciano Spaletti hingga Luis Enrique. Dari posisi penjaga gawang, ketangguhan Ivan Pelizzoli maupun Maarten Stekelenburg bukanlah kepingan yang bisa membuat Roma sempurna. Pun begitu dengan posisi-posisi lainnya, terkecuali Daniele De Rossi yang kini menjadi fondasi tim bersama Totti.
Bongkar pasang tersebut hasilnya beragam, tapi tetap sajak kurang memuaskan. Sesekali berkiprah di Liga Champions, pada kesempatan lainnya hanya berlaga di Liga Europa. Dan dari semua hasil yang diraih Roma dalam 15 tahun terakhir, trofi scudetto masih belum bisa diraih.
Tapi sepertinya fondasi kesempurnaan skuat AS Roma mulai terlihat bentuknya beberapa tahun belakangan. Sejak diambil alih kepemilikan konglomerat Amerika Serikat pada 2011, Roma mulai menemukan bentuknya. Tengok kiprah Roma dalam dua musim terakhir di mana Roma konsisten menjadi runner-up di bawah sang jawara Serie A, Juventus.
Roma memang terus berbenah, bongkar pasang kepingan-kepingan puzzle untuk menciptakan skuat yang sempurna. Dan pada bursa transfer musim panas kali ini, tak sedikit Romanisti -sebutan untuk pendukung Roma- yang mulai yakin bahwa pemain-pemain yang direkrut kali ini adalah kepingan kepingan puzzle untuk menghadirkan trofi scudetto ke-4 nya.
Harapan tersebut cukup beralasan mengingat mayoritas rekrutan AS Roma pada musim ini adalah peningkatan kualitas dari skuat Roma dalam dua musim terakhir. Wojciech Szczesny misalnya, yang rasanya bisa menjadi jawaban dari regenerasi yang sudah harus dilakukan atas semakin menuanya Morgan De Sanctis (38 tahun).
Sementara di sisi kiri pertahanan, Lucas Digne yang baru dipinjam dari Paris Saint-Germain, memberikan penampilan yang menjanjikan saat melawan Juventus. Kehadiran bek kiri asal Prancis tersebut diharapkan bisa menjadi reinkarnasi dari bek kiri asal Prancis pada musim 2000-2001, Vincent Candela. Dengan Douglas Maicon di sisi kanan pertahanan, duet bek sayap Prancis-Brasil ini diharapkan bisa memberikan kontribusi maksimal seperti Cafu-Candela pada 15 tahun yang lalu.
Kehadiran Mohammed Salah pun merupakan solusi dari inkonsistensi sayap penyerangan AS Roma yang sebelumnya dipikul Gervinho dan Juan Iturbe. Dan yang paling penting, kehadiran Edin Dzeko dipercaya untuk menjadi Batigol, kepingan penyempurna puzzle AS Roma di lini depan.
Are we there yet? Romanisti perlu optimis untuk menjalani musim yang baru, terutama setelah membungkam Juventus beberapa hari lalu. Tidak ada salahnya untuk meyakini bahwa puzzle untuk meraih scudetto kali ini sudah lengkap.
Tapi sebenarnya, tingkat kepercayaan saya mengenai Roma meraih scudetto dengan para pemain sekarang ini barulah sekitar 90%. Karena untuk sisa 10% lainnya, dimiliki oleh gelandang asal Belanda yang tengah menepi karena cedera, Kevin Strootman.
Radja Nainggolan, penggantinya, memang bukan pemain sembarangan. Romanisti love Radja, I love him too. Tapi ia tak akan pernah bisa menjadi Strootman. Karena menurut saya, Strootman-lah yang melengkapi lini tengah AS Roma, di mana ia merupakan salah satu pemain yang berandil besar mengantarkan AS Roma memecahkan rekor 10 kemenangan beruntun pad musim 2013/2014, sebelum akhirnya meraih poin tertinggi sepanjang sejarah AS Roma juga pada musim itu.
Strootman adalah perekat di lini tengah AS Roma, menjadi gelandang perebut bola saat Daniele De Rossi tidak berada di posisi yang tepat. Tak hanya itu, ia pun bisa menjadi playmaker di saat Miralem Pjanic kehabisan kreativitas.
Strootman is the gladiator weâre waiting for. And now we have to wait him for another time.
Tapi sayang, untuk saat ini, Strootman masih belum bisa menghuni lini tengah Serigala Ibukota. Cedera yang dideritanya kembali kambuh dan membuatnya harus kembali dengan waktu yang tak sebentar.
âAda banyak spekulasi di media tentang rehabilitasi saya. Sayangnya karena kurangnya kekuatan pada kaki kiri saya, saya tidak bisa bersaing di level tertinggi untuk saat ini,â ujar Strootman lewat akun Twitter-nya @Kevin_Strootman.
Masih lewat akun Twitter-nya, Strootman pu menjelaskan bahwa ia akan kembali menjalani operasi pada lututnya. Ia pun berharap operasinya kali ini bisa membuatnya kembali merumput dan segera membela AS Roma, dan juga tinas Belanda.
âSaya akan menjalani operasi pagi ini. Saya sangat kecewa karena tak bisa berkontribusi bagi AS Roma dan timnas Belanda untuk beberapa bulan ke depan. Tapi saya akan melakukan segala yang saya bisa untuk bisa kembali ke lapangan secepat mungkin,â lanjutnya.
Atas pernyataan itu, kini Romanisti harus kembali bersabar menunggu beberapa bulan ke depan sebelum sang gladiator kembali ke lapangan. Harapan terbaik untuknya agar segera kembali ke lapangan untuk melengkapi puzzle AS Roma, sebagai puzzle terakhir yang ditunggu-tunggu sejak lama dalam meraih trofi juara Serie A.
Forza Kevin! Forza Roma!
Penulis merupakan mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Indonesia. Beredar di dunia maya dengan akun twitter @andhika_pp.
Komentar