Karya Bima Satria Anugerah*
Inter Milan bukanlah kesebelasan semenjana. Mereka pernah meraih treble winner pada musim 2009/2010. Namun, dalam beberapa musim ke belakang, Inter tak ubahnya tim semenjana yang tak pernah benar-benar bersaing meraih juara.
Inter tengah dalam masalah. Saat ini menempati papan tengah seperti bukan lagi penghinaan. Pelatih tak ubahnya setrikaan yang mondar mandir masuk-keluar; pun dengan pemain baru yang tak bertahan lama, belum lagi masalah finansial kesebelasan berjuluk Il Biscone ini.
Musim lalu, saat Juventus merajai Italia untuk keempat kalinya secara beruntun dan melaju hingga partai final Liga Champions, Inter terlempar dari babak 16 besar Europa League dan berakhir di luar lima besar yang membuat mereka tak menggenggam tiket ke Eropa musim ini.
Untuk mengetahui di mana kesalahan strategi transfer Inter selama lima tahun terakhir sudah semestinya kita kembali ke 2010. Saat itu Inter baru menahbiskan diri sebagai kesebelasan Italia pertama yang mampu meraih tiga trofi. Sayangnya, Jose Mourinho memilih meninggalkan Italia dan merantau ke Real Madrid. Untuk mengisi kekosongan Rafael Benitez pun ditunjuk di kursi panas untuk melanjutkan kejayaan Inter.
Tidak banyak pemain yang diinginkan Benitez. Ia cuma ingin mendatangkan Steven Gerrard dan Javier Mascherano dengan permintaan-permintaan âkecilâ macam Glen Johnson. Namun, manajemen Inter tak bisa memenuhi keinginan Benitez. Inter cuma mendatangkan Biabiany dan Coutinho yang kala itu masih berusia 18 tahun.
Benitez berang. Saat ia berhasil mengantarkan Inter ke puncak dunia dengan menjuarai Piala Dunia Antarklub, Benitez memaksa klub untuk membeli pemain bintang. Namun, yang terjadi malah terkirimnya surat pemecatan ke meja Benitez.
Pemecatan Benitez terbilang menunjukkan. Ini ditambah dengan penunjukkan legenda AC Milan, Leonardo, sebagai pengganti Benitez. Lain dengan Benitez, Leonardo dimanjakan dengan datangnya sejumlah pemain berkualitas seperti Pazzini, Ranocchia, Kharja, dan Nagatomo di bursa transfer Januari 2011.
Kehadiran para pemain tersebut tak lepas dari peran direktur teknik Inter, Marco Branca, yang juga merupakan bekas pemain Inter pada era 1990-an. Branca sempat dipuji oleh Interisti karena para pemain yang ia datangkan pada Januari 2011. Ini membuat Inter yang ditangani Leonardo kembali memiliki kepercayaan diri dan cukup disegani di Italia maupun Eropa dengan mampu menembus perempat final Liga Champions dan menjadi runner-up Serie A.
Baca juga: Selera dan Standar Mancini dalam Aktivitas Transfer
Lantas mengapa Interisti kemudian begitu membenci sosok pria yang satu ini?
Pada bursa transfer Januari 2013, Inter diambang keterpurukan. Sejumlah pahlawan yang memberikan treble winner perlahan pergi; transfer pemain yang tak efektif, badai cedera, bobroknya finansial Inter, serta menurunnya kepercayaan fans.
Dampaknya, manajemen memilih memotong gaji pemain termasuk Wesley Sneijder. Namun, pemotongan tersebut berdampak pada pindahnya pemain ke klub lain karena pemain berusaha mempertahankan pendapatan mereka.
Singkat cerita saat itu Sneijder tidak bersedia menandatangani kontrak baru yang gajinya lebih sedikit dari kontrak sebelumnya. Ia pun âdisanksiâ manajemen dengan tidak dimainkan dalam sejumlah laga Serie A.
Lalu, datang tawaran mengejutkan dari raksasa Turki, Galatsaray, untuk mendatangkan Sneijder dengan harga âcumaâ 7,5 juta euro. Anda bisa membayangkan betapa marahnya Interisti dengan penjualan Sneijder tersebut. Sneijder bukan gelandang biasa, ia bahkan sempat diburu oleh kesebelasan top Eropa dengan banderol puluhan juta Euro. Namun Branca melepasnya dengan cara yang konyol seperti itu.
Kekonyolan Branca dilanjutkan dengan dilepasnya sejumlah pemain muda yang dulu menjadi permintaan Jose Mourinho. Phillipe Coutinho dilepas cuma dengan 10,5 juta Euro ke Liverpool. Tentu angka ini amat kecil jika Anda melihat potensi Coutinho saat ini. Minimal ia dihargai 30 hingga 40 juta euro.
âKegilaanâ Branca masih berlanjut. Pelatih Inter kala itu, Stramaccioni, meminta pemain bertipe regista dan sayap untuk mewujudkan tim idamannya. Ia meminta manajemen untuk mendatangkan Paulinho sekaligus Lucas Moura, dua bintang Brazil yang pada saat itu belum hijrah ke daratan eropa. Strama ingin mewujudkan tridente Coutinho-Milito-Lucas Moura dengan disokong Cambiasso-Guarin-Paulinho di lini tengah untuk bisa bersaing dengan Juventus pada waktu itu. Namun permintaan Strama tidak pernah terealisasi karena penjualan konyol tersebut.
Sama halnya ketika Branca mendatangkan pemain. Ia memang selalu punya alternatif, tapi pemain alternatif tersebut tak pernah bisa menyamai kualitas target utama. Pada bursa transfer Januari 2013, Inter memburu habis-habisan tanda tangan Lucas Moura. Namun, bukan Branca namanya bila tak memiliki target alternatif. Dia memilih Gaston Ramirez sebagai alternatif. Secara statistik, Gaston tidak bisa dibilang buruk dan menjanjikan.
Namun, harapan Interisti pada waktu itu meleset dari yang diduga. Lucas Moura gagal didatangkan, pun dengan Gaston Ramirez. Branca pun mendatangkan Ezequiel Schelotto dengan nilai 3,5 juta euro plus setengah kepemilikan Marko Livaja. Dengan segala hormat bagi Schelotto, apa pantas Lucas Moura disepadankan dengan pemain tim gurem macam Schelotto?
Tidak sampai disitu saja, perburuan Paulinho juga mengalami jalan buntu. Radja Nainggolan pun berusaha didatangkan oleh Branca, hingga detik terakhir transfer pun bernasib sama.
Lalu, siapa yang didatangkan? Jawabannya di luar dugaan, Zdravko Kuzmanovic. Pemain yang dijuluki âLordâ oleh Interisti ini menjadi bahan tertawaan kesebelasan lain. Bagaimana bisa gagal mendatangkan gelandang puluhan juta euro, tapi berakhir dengan gelandang seharga 1,2 juta?
Namun hiburan datang di penghujung bursa transfer karena Branca mendatangkan pemain idola baru Interisti, yaitu Mateo Kovacic.
Mendatangkan pemain medioker menjadi jawaban atas kegagalan Inter. Mereka tidak bisa disalahkan karena kemampuan mereka yang memang hanya segitu.
Kisah tersebut hanya menggambarkan satu bursa transfer saja. Sebenarnya, masih banyak âdosa-dosaâ Branca yang masih belum bisa dimaafkan Interisti seperti pembelian Diego Forlan, Guarin, Alvaro Pereira, Ricky Alvarez, Ruben Botta, Mudingayi, DâAmbrossio, rencana pertukaran Vucinic-Guarin, dan masih banyak lagi lainnya.
Presiden Inter, Erick Thohir yang terkenal sangat peduli dengan aspirasi fans pada akhirnya bersikap tegas. Setelah mendengarkan masukan dari Interisti, pada Februari 2014 Branca dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh Ausilio. Hal tersebut sedikit banyak mengobati sakit hati Interisti yang selama sekian tahun selalu disuguhi oleh kebijakan-kebijakan transfer yang kontroversial, bahkan kerap merugikan tim.
Kini masa-masa kelam itu sudah lewat dan Inter belum juga kembali bangkit. Namun dengan pergerakan transfer akhir-akhir ini Inter berhasil membuat fans terhibur dan memunculkan harapan baru kebangkitan Il Nerazzurri. Pemain-pemain seperti Kondogbia, Miranda, Murillo, Montoya, Perisic, Melo, Telles, Ljajic dan Jovetic didatangkan dengan gemilang. Inter bahkan bisa mendapat sedikit profit dari transfer pemain, hal yang bagaikan langit dan bumi bila dibandingkan dengan masa lalu di bawah komando Branca.
 *Penulis tinggal di Nganjuk, Jawa Timur berakun twitter @Ultraspelajar
Komentar