Ditulis Oleh Arif Utama
Dalam satu bulan terakhir ini, kabut asap yang melanda beberapa kota di Sumatera menjadi topik panas di beberapa media berita. Hal ini memang bukan pertama kalinya terjadi. Kabut asap akibat kebakaran hutan ini sudah pernah terjadi beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya.
Jambi merupakan salah satu Provinsi yang terkena dampak dari kebakaran hutan. Hampir di seluruh kota Jambi tertutup oleh kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan tersebut. Bahkan bisa dikatakan Jambi merupakan kota yang terkena dampak kabut asap paling parah saat ini.
Dampaknya pun dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di Jambi. Sebagian besar aktivitas warga lumpuh total. Bandara Sultan Thaha Jambi tidak bisa melayani aktivitas keberangkatan maupun kedatangan akibat asap yang mengganggu aktivitas penerbangan. Jarak pandang yang tidak lebih dari 100m membuat aktivitas penerbangan menjadi sangat berbahaya.
Penyakit pun sudah mulai berdatangan akibat kondisi udara yang tidak sehat ini. Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) mulai menyerang anak-anak dan orang dewasa. Tidak hanya manusia, tanaman-tanaman pun mulai mengering karena berada di udara yang tidak sehat.
Kejadian seperti ini telah menjadi secara rutin hampir setiap tahun. Seolah tak pernah belajar, tidak pernah ada tindakan pencegahan untuk masalah ini. Semua baru sibuk ketika kebakaran sudah terjadi. Masyarakat pun lagi-lagi harus terkena imbas akibat kebakaran yang lagi-lagi terjadi.
Seolah mengikuti kondisi kotanya, sepakbola Jambi pun tengah diselimuti kabut asap. Bahkan bisa dibilang kabut asap yang menyelimuti sepakbola Jambi kali ini pun merupakan yang terparah. Dan juga tidak berbeda dengan kondisi kotanya, kabut asap di sepakbola Jambi juga merupakan permasalahan yang sebenarnya sudah terjadi berulang-ulang setiap tahu. Tidak adanya usaha pencegahan atau perbaikan membuat permasalahan ini terus terjadi setiap tahunnya.
Provinsi Jambi memiliki beberapa klub sepakbola. Namun seluruh klub tersebut kini dalam kondisi yang memprihatinkan. Tidak banyak kompetisi yang bisa diikuti oleh klub-klub dari Jambi tersebut. Piala Gubernur mungkin menjadi satu-satunya kompertisi yang bisa mereka ikuti. Namun kompetisi yang kurang tersusun dengan rapih membuat tidak banyak masyarakat yang tertarik dengan kompetisi ini.
Hampir semua tim dalam kompetisi tersebut adalah tim yang secara mendadak dibentuk. Pemain-pemain dari SSB yang tersebar di Jambi ditarik satu persatu untuk bergabung dengan klub-klub dadakan tersebut. Tidak ada kontrak yang jelas antara pemain dan klub membuat nasib para pemain pasca turnamen menjadi sama sekali tidak jelas.
Kondisi ini terus berulang-ulang hampir setiap tahun. Pemain hanya bisa mengikuti kompetisi dadakan yang tidak tentu kapan dimulainya. Sehingga nasib mereka pun terus dalam kondisi yang tidak menentu.
Kondisi ini pun berimbas pada klub sepakbola terbesar yang ada di Jambi, Pesisko. Persisko bisa dibilang sebagai klub yang memiliki manajemen paling baik di Jambi. Namun, kondisi yang kurang kondusif membuat manajemen Persisko pun kesulitan untuk memenuhi biaya operasional klubnya.
Tidak banyak basis suporter yang bisa mereka bentuk di Jambi. Maka sulit juga bagi mereka untuk mencari sponsor yang mau menyuntikan dana kepada Persisko. Tahun lalu Persisko pun akhirnya harus terlempar dari Divisi Utama. Mereka menderita kekalahan 0-10 dari Persih Tembilahan Riau pada pertandingan terakhir Divisi Utama tahun lalu.
Mereka sempat beberapa kali melakukan perubahan nama dari mulai Persisko Bangko, Persisko Tanjabtim, hingga saat ini menjadi Persisko Jambi. Usaha tersebut dilakukan dengan harapan mereka mampu mengubah citra menjadi lebih baik di mata masyarakat dan mampu menggaet sponsor. Namun tetap saja, tidak ada hasil yang mereka dapat. Persisko tetap mengalami krisis dan harus terdegradasi dari Divisi Utama.
Tidak hanya kondisi klub yang memprihatinkan, fasilitas sepakbola yang dimiliki Jambi pun sama memprihatinkannya. Stadion Tri Lomba Juang yang menjadi stadion utama Jambi saat ini dalam kondisi yang sangat buruk. Pagar pembatas antara tribun penonton dan lapangan sudah dalam kondisi berkarat yang tentu saja akan sangat membahayakan para penonton. Lapangan yang tidak terurus pun membuat kondisi rumput kini sudah tidak sesuai dengan standar.
Sama halnya dengan masalah kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap, sepakbola Jambil juga hingga kini tidak ditangani dengan serius. Hasilnya, sepakbola Jambi pun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Padahal, tidak sedikit masyarakat Jambi yang sebenarnya sangat menyukai sepakbola. Namun kondisi sepakbola Jambi yang tidak jelas membuat sebagian besar masyarakat Jambi akhirnya memilih untuk menjadi pendukung klub di luar Jambi seperti Sriwijaya FC atau Semen Padang. Kedua klub tersebut merupakan klub yang memiliki prestasi jauh di atas Persisko dan terletak tidak jauh dari kota Jambi. Masyarakat pun akhirnya lebih tertarik mendukung klub dari kota tetangga ketimbang mendukung klub asal Jambi.
Karena itu, permasalahan kota Jambi bukan akibat masyarakatnya yang tidak senang dengan sepakbola, namun karena pengelolaan sepakbola Jambi yang tidak serius. Jika mau seharusnya Jambi bisa sama dengan kota-kota lain yang memiliki klub sepakbola yang mampu berkembang di Liga Indonesia. Hanya saja dibutuhkan pengelolaan yang jelas agar masyarakat tertarik dengan sepakbola yang berasal dari kotanya sendiri.
Kondisi ini lambat laun akan semakin mematikan sepakbola di Kota Jambi. Sama seperti kabut asap yang mematikan aktivitas di Kota Jambi. Karena itu, dibutuhkan tindakan penanggulangan yang serius untuk kedua masalah yang sedang dihadapi Jambi ini. Dibutuhkan tata kelola yang lebih serius untuk mengusir kabut asap di Kota Jambi maupun sepakbola Jambi. Karena sama halnya dengan kerinduan masyarakat Jambi atas udara yang bersih, mereka juga rindu akan sepakbola dari kota asal mereka.
Penulis dapat dihubungi lewat akun Twitter @utamaarif
Komentar