Karya Isidorus Rio Turangga Budi Satria*
Tidak sedikit penggemar Arsenal mendambakan kehadiran penyerang pada bursa transfer lalu. Rumor tentang Karim Benzema pun kian mencuat terlebih melihat adanya kesan kurang tajamnya lini depan Arsenal. Padahal, Arsenal masih punya Olivier Giroud di lini serang.
Siapa yang tak kenal Oli, sapaan akrab Giroud? Tampangnya menawan. Posturnya tinggi tegap. Rambutnya klimis pakai pomade. Senyumnya, aih, luar biasa menggoda kaum hawa. Tapi tunggu dulu. Buat beberapa penggemar Arsenal, Giroud adalah simbol bebal dan tujuan utama buat mereka untu menyumpah.
Teman penulis yang fans Arsenal mengeluarkan fatwa bahwa apabila Giroud mencetak satu gol indah dalam satu laga, dia akan absen mencetak gol di 10 laga berikutnya. Giroud adalah perwujudan sempurna dari chant klasik, âHe scores when he wantsâ. Karena memang begitulah Giroud. Dia akan seketika rutin mencetak gol, dan kemudian mandul dalam beberapa puluh laga. Dia benar-benar mengaplikasikan teorema âmencetak gol ketika dia mauâ. Tapi, akan lebih tepat chant tersebut diganti âHe scores if he wantsâ.
Semalam, dalam laga persahabatan antara Perancis melawan Serbia, Giroud dicemooh fans di stadion terkait penampilannya yang buruk. Giroud tercatat membuat enam tendangan ke gawang dengan lima di antaranya off target. Tentu saja, dia tidak mencetak gol. Agaknya fans Perancis merasa kecewa dan kaget sekali dengan penampilan Giroud yang gemar membuang peluang. Padahal kalau Anda penggemar Liga Inggris atau fans Arsenal, sudah pemandangan dan pengalaman biasa melihat Giroud mencetak 1-2 gol dari 10 kali tendangan ke gawang. Atau bahkan sama sekali dia tidak mencetak gol walau melepas 10 tendangan ke gawang sekalipun.
Lalu, burukkah Giroud sebagai striker? Apa Anda lupa sepak terjang Radamel Falcao sepanjang musim lalu? Atau Fernando Torres selama beberapa musim di Chelsea dan di Milan?
Tulisan ini sejatinya terinspirasi salah satu esai Eddward Kennedy dalam bukunya âSepak bola Seribu Tafsirâ. Dalam salah satu esai di buku tersebut, Mas Ken membuat analogi lugas nan jenaka perihal model rambut Bacary Sagna dan Gervinho yang dimaknai sebagai simbol maskulinitas dalam pendekatan posmodernisme terkait gaya rambut para pemain sepakbola. Posmodernisme sederhananya adalah perayaan secara masif terhadap hal-hal kecil. Posmo adalah titik di mana kebebasan individu dirayakan secara gegap gempita. Singkatnya, ciri khas rambut dreadlock Sagna dan model-rambut-yang-saya-pun-tak-tahu-namanya dari Gervinho adalah simbol posmodernisme perihal tatanan rambut pemain sepak bola. Tatanan rambut dalam sepakbola modern, berkiblat pada gaya rambut dan maskulinitas, sebut saja misalnya, seorang David Beckham. Siapa yang berani bilang Beckham bukan pesepakbola keren, bukan? Nah, ketika titik kulminasi terhadap modernitas sudah mencapai klimaksnya, Anda akan menemukan diri, tentunya dengan semangat posmo, bahwa rambut Sagna dan Gervinho adalah bentuk perlawanan anda terhadap modernisme. Anda merasa lelah didikte oleh modernisme dan segala macam nilai yang dibawanya, sehingga memilih menjadi pribadi yang berbeda dari apa yang ditawarkan dalam modernisme adalah opsi yang anda pilih. Memiliki model rambut seperti Sagna atau Gervinho adalah opsi yang ditawarkan Mas Ken dalam esainya, tentu saja, kalau anda bermental baja terhadap bullying dan berprinsip teguh terhadap posmo.
Lalu, dimanakah posisi Giroud dalam posmodernisme?
Sepakbola modern telah berkembang, bahwa sumber gol tidak hanya melulu menjadi beban dan tanggung jawab seorang penyerang. Cristiano Ronaldo, Lionel Messi hingga Arjen Robben menjadi bukti bahwa ada nilai yang berubah dalam kultur sepakbola modern terkait peran pemain dalam mencetak gol.
Dengan populernya formasi 4-2-3-1 dan konsep inverted winger, pemain seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi menjadi ujung tombak dalam urusan mencetak gol. Ronaldo dan Messi bahkan dalam beberapa tahun terakhir seolah menjadikan gelar pencetak gol terbanyak La Liga.
Anda tidak perlu heran ketika Ronaldo dan Messi mencetak 30-40 gol dalam semusim. Dan ketika anda tidak lagi heran dengan kemampuan mencetak gol Ronaldo-Messi, di titik itulah kita semua dikonstruksi modernisme untuk beranggapan bahwa mencetak puluhan gol secara rutin dalam satu musim adalah hal yang biasa.
Bagi saya pribadi, di sinilah kemudian saya memasukkan ketokohan seorang Olivier Giroud. Selama 139 laga yang sudah dilalui Giroud selama di Arsenal, dia berhasil mencetak 59 gol. Cukup bagus, walau tidak luar biasa. Namun, kenapa Giroud masih disebut sebagai penyerang yang biasa-biasa saja oleh Thierry Henry? Karena itu tadi; konstruksi modernisme dalam sepakbola masa kini sudah terbiasa melihat pemain mencetak 30-40 gol dalam satu musim. Jadi wajar saja tuntutan fans pun menginginkan Giroud juga mampu menghasilkan gol dalam jumlah yang sama. Bahkan, pencetak gol terbanyak Arsenal musim lalu bukan Giroud, melainkan Alexis Sanchez, si debutan yang notabene pun bukan seorang penyerang.
Dengan membawa semangat posmodernisme, saya kemudian mencoba memberi pledoi terhadap minimnya jumlah gol Giroud yang bahkan sejak berseragam Arsenal tidak pernah mampu menembus 20 gol di Liga. Saya jujur menikmati pemain seperti Cristiano dan Messi yang mencetak gol semudah membalik tangan.
Ronaldo dan Messi tidak hanya mampu mencetak gol melalui open play, mereka pun fasih dalam kemampuan tendangan bebas. Messi bahkan sudah mencetak dua gol musim ini melalui tendangan bebas saat melawan Sevilla di Piala Super Eropa lalu. Tapi, mencela dan mencemooh Giroud tanpa berusaha adil dengan catatan gol tiap musimnya yang selalu menembus dua digit, adalah salah satu bentuk diskriminasi yang patut kita koreksi lagi.
Ketika melihat Giroud yang gemar membuang peluang dan tidak mencetak gol sebanyak Messi, kecewa itu pasti, selain tumpuan Arsenal, Giroud juga termasuk tulang punggung timnas Perancis, bahkan jersey nomor â9â pun dipakai olehnya di timnas. Namun menuntut Giroud untuk mencetak 30-40 gol layaknya Ronaldo dan Messi seperti ibaratnya Anda menuntut Gervinho dan Sagna untuk bisa setampan dan sekeren David Beckham. Toh dengan standarnya sendiri, tanpa terpengaruh konstruksi modernisme, Sagna dan Gervinho bisa saja merasa diri mereka tampan dan keren.
Giroud ya Giroud, standarnya tidak akan mencapai level kebintangan Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Memaklumi dan menerima Giroud apa adanya adalah pekerjaan rumah terbesar bagi fans Arsenal dan timnas Perancis di tahun-tahun mendatang. Kalau cita-cita Arsenal untuk juara liga musim ini, dan harapan Perancis di Euro 2016 bergantung sepenuhnya pada ketajaman Giroud, kita tentu perlu berpikir ulang lagi. Tapi ketika kita bisa dengan ikhlas memahami dan menerima Giroud, bukan tidak mungkin dia akan mencetak banyak gol. Ingat, teorema tentang Giroud, âhe scores if he wantsâ.
Maka dari itu, dengan semangat posmodernisme, saya berani memasukkan nama Olivier Giroud sebagai penyerang hebat, walau tidak luar biasa, sih. Tentu saja, tanpa mengecilkan kemampuan Ronaldo dan trio MSN Barcelona yang dahsyat itu. Banyak penyerang hebat yang sebenarnya jumlah golnya tidak berbeda jauh dengan Giroud musim lalu. Sebut saja, Karim Benzema yang musim lalu âhanyaâ mencetak 15 gol di liga, atau Edinson Cavani yang musim lalu juga âhanyaâ menyumbang 18 gol di liga.
Mereka semua sama-sama tidak menembus 20 gol di liga selama musim lalu. Sebagai perbandingan, Giroud yang musim lalu absen di tiga bulan pertama liga masih mampu mencetak 14 gol di liga. Namun karena standar kita terpusat pada dua mega bintang dari Madrid dan Barcelona tersebut, kita seakan percaya bahwa Giroud adalah penyerang biasa-biasa yang layak disandingkan dengan Nicklas Bendtner serta tidak lagi mampu dan mau untuk secara obyektif menilai Giroud dengan rasional.
Love him or hate him? Choice is yours.
Penulis adalah pria manis pengggemar masak-memasak, bisa dihubungi di @isidorusrio_
Tulisan ini ditanggapi oleh M. Ardi Kurniawan di tulisan lainnya berjudul Messi dan Ronaldo Sebagai Representasi Posmodernisme
Komentar