Karya Novandiet Eersta Angginanda*
Pertandingan Chelsea vs Arsenal pada pekan ke-6 membuat timeline twitter saya yang didominasi pendukung The Gunners bergerak sangat cepat. Emosi meledak, caci maki bertebaran. Saat itu, pertandingan baru berjalan 44 menit, tepat saat kartu merah keluar dari saku Mike Dean, sang pengadil lapangan. Arsenal harus bermain dengan sepuluh orang setelah Gabriel Paulista diusir dari lapangan karena dianggap menginjak kaki Diego Costa dengan sengaja. Pada akhirnya, Chelsea dengan mudah memenangkan pertandingan dengan skor 2-0.
Semua berawal ketika terjadi perseteruan kecil antara Costa dan Laurent Koscielny di dalam kotak penalti Arsenal. Gabriel yang awalnya datang untuk menengahi konflik, eh justru terpancing emosinya berkat kelihaian Costa dalam melakukan provokasi. Hasilnya, perseteruan itu berbuah kartu kuning bagi Costa dan Gabriel.
Meski hukuman telah diberikan Mike Dean, keduanya masih tampak berdebat sembari menunggu pertandingan dimulai kembali lewat tendangan gawang. Tak berselang lama, Costa tampak berhenti mendadak di belakang Gabriel yang berjalan mundur. Merasa kakinya diinjak dengan sengaja, pemain Chelsea bernomor punggung 19 itu meminta hukuman lebih berat dijatuhkan pada Gabriel. Voila, bek tengah Arsenal itu bisa mandi lebih dulu daripada rekan-rekannya.
Jika Anda sudah lama mengamati sepak terjang penyerang kelahiran Lagarto, Brasil, 26 tahun yang lalu itu, pasti tidak asing dengan perangainya yang doyan melakukan provokasi pada lawan-lawannya. Kartu merah yang diberikan wasit kepada Gabriel memang terasa sangat ganjil. Meski begitu, saya justru sangat menyayangkan peristiwa yang terjadi sebelumnya, yaitu saat Gabriel terperangkap dalam permainan emosi Costa dan harus diganjar kartu kuning. Jika saja ia bek berusia 24 tahun lebih tenang dan sabar, saya yakin situasinya tidak akan sesulit ini bagi Arsenal.
Kesabaran merupakan salah satu elemen penting bagi seorang manusia. Konsep âsabarâ banyak digunakan ketika seseorang menghadapi berbagai persoalan psikologis seperti ketika menghadapi tekanan (stress), mendapat musibah, atau ketika dalam keadaan marah. Sabar bukan berarti menjadi pasif atau menyerah, namun justru menggambarkan suatu kekuatan. Kesabaran merupakan suatu seni menunggu serta mengamati untuk kemudian melakukan tindakan yang tepat. Dalam penelitiannya, Agte dan Chiplonkar mendefinisikan sabar sebagai sebuah ketenangan, kontrol diri, dan kemauan serta kemampuan untuk bertoleransi. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa Gabriel kehilangan kontrol diri saat itu. Padahal, kontrol diri yang dijaga dengan baik dapat mengurangi kemungkinan seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan yang impulsif.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengelola kesabaran dan mencegah emosi negatif menguasai diri seorang individu. Ketika terjebak dalam suatu konflik dengan orang sekitar, ada baiknya segera menjaga jarak agar dapat berpikir lebih jernih. Pikirkan matang-matang apa akibatnya jika sampai kehilangan kontrol diri.
Sebagai seorang manusia, pesepakbola yang memiliki kemampuan teknis mumpuni tidak akan lengkap jika tidak memiliki kesabaran dan kontrol diri yang baik. Gelandang bertahan merupakan salah satu peran dalam permainan sepakbola yang sangat membutuhkan aspek-aspek tersebut dalam bermain. Dengan melakukan manajemen kesabaran yang baik, seorang gelandang bertahan dapat melakukan intersep yang tepat (misalnya) sehingga pemain bertahan tidak kesulitan menahan gempuran lawan.
Kesabaran juga diperlukan oleh seorang penyerang agar dapat membantu tim dalam mencetak gol. Menghindari jebakan offside merupakan salah satu hasil dari pengelolaan kesabaran yang baik oleh seorang penyerang dengan tidak terburu-buru maju ke depan dan menunggu umpan yang matang dari rekannya.
Selain berbagai contoh kesabaran yang dimiliki seorang pemain bola diatas, kontrol diri juga tak kalah pentingnya. Seorang pemain yang berhasil dikuasai oleh berbagai emosi negatif saat bertanding dapat membawa dampak yang negatif pula pada tim. Karena terburu-buru dalam memutuskan sesuatu, pemain tersebut dapat melakukan tindakan-tindakan yang merugikan tim seperti apa yang terjadi dalam kasus Gabriel Paulista diatas.
Sebenarnya, menjadi seorang pemain yang berapi-api dalam lapangan merupakan suatu hal baik. Dikutip dari situs onlinesocceracademy.com, beberapa cara dapat dilakukan untuk menurunkan emosi dan mengubah semangat yang berapi-api tersebut menjadi sesuatu yang positif. Cara-cara tersebut antara lain:
- Bereaksilah positif pada tiap kesalahan. Kesalahan pasti cepat atau lambat terjadi, jangan mudah marah saat Anda merasa melakukan kesalahan. Hal ini dapat membuat permainan menjadi tidak menyenangkan.
- Cobalah untuk lebih tenang. Ambil nafas dan bersikaplah santai untuk melawan gejolak emosi dari dalam diri. Dengan mengambil nafas selama 1-2 detik, Anda akan lebih mampu berpikir jernih dan sadar bahwa membentak wasit bukanlah tindakan yang benar.
- Persiapkan diri untuk menghadapi momen penuh emosi. Sebelum bertanding, bayangkan akibat-akibat apa saja yang dapat terjadi jika Anda kehilangan kontrol diri saat bermain. Sematkan bayangan-bayangan buruk tersebut lekat-lekat di benak Anda selama bermain.
- Andalah yang mengatur pikiran Anda, bukan sebaliknya!
Dengan menjaga kesabaran, niscaya Anda dapat menekan tingkat stress dan memberikan Anda waktu untuk memilih dalam merespon kekecewaan dan rasa frustrasi. Ketika anda dapat menjaga agar diri Anda tetap tenang dan terburu-buru dalam mengambil suatu keputusan, semua aspek kehidupan anda akan menjadi lebih baik.
Jika saja Gabriel bisa menjaga kesabarannya, Arsenal bisa saja bermain lebih baik dengan tanpa kehilangan pemain dan berbuah kemenangan bagi tim tamu. Jika saja Santi Cazorla lebih berhati-hati dalam melakukan tekel terhadap Fabregas. Jika sajaâ¦..oh, maaf, saya tidak bisa mengontrol diri saya untuk tidak berandai-andai.
*Ahli dalam memberikan pep talk dalam permainan Football Manager, tidak di dunia nyata. Peserta Pandit Camp gelombang empat. Akun Twitter: @Novandiet
Komentar