Oleh: M. Yogi T. Abidin*
Kalau bukan karena sepakbola, saya mungkin tak akan menjadi apa-apa. Kalau bukan karena sepakbola pula, akan sulit bagi saya untuk masuk perguruan tinggi negeri. Karena sepakbola telah mengubah hidup saya.
Saya bersekolah di SMAN 22 Bandung. Saya adalah stereotip siswa kelas dua SMA: pemalas dan waktu "bermain" saya jauh lebih banyak ketimbang belajar. Di kelas, saya sering kena semprot karena ketahuan tertidur di kelas. Saya kelewat lelah karena setiap sore saya berlatih sepakbola.
Ketimbang SMAN 25 Bandung, SMA 22 masih kalah pamor jika menyoal sepakbola. Apalagi SMAN 25 adalah favorit yang sering menjuarai Liga Pendidikan Indonesia (LPI), sebuah kompetisi paling bergebgsi buat kami yang masih duduk di bangku SMA.
Mengetahui kalau LPI 2014 akan digelar dalam beberapa bulan ke depan, saya memberanikan diri untuk mengajukan adanya ekstrakurikuler sepakbola. Namun, pihak sekolah sempat menolak. Penolakan tersebut memang logis karena toh anggaran yang keluar tak akan sebanding dengan prestasi yang kami buat.
Tekad saya dan sejumlah teman sudah begitu membara bahwa kami bisa mengharumkan nama sekolah. Ekstrakurikuler sepakbola pun dibentuk dengan Bu Anastasya sebagai pembimbing. Kehadiran pembimbing amat penting karena beliau membantu kami yang kesulitan menghadapi kurikulum sekolah.
Meski belum mendapat restu dari sekolah, tapi kami sudah membuat pengumuman untuk mengadakan seleksi. Lagi pula kami sudah terlanjur âmengontrakâ Dodi Fadillah yang juga pernah bermain untuk Persib serta menjadi pelatih di sejumlah kesebelasan. Kami terkejut karena jumlah pendaftar seleksi membludak yang membuat penyaringan pemain harus dilakukan selama dua hari.
Kerja keras kami pun bersambut dengan mendapatkan restu dari sekolah, meskipun mereka tetap tak yakin kalau ekskul sepakbola mampu bersaing di LPI. Kami pun memulai persiapan dengan berlatih dua kali seminggu pada pukul 11 siang: saat matahari tepat berada di atas kepala.
Kami beruntung karena terdapat sejumlah pemain U-17 yang pernah memperkuat tim Suratin Kota Bandung, termasuk saya sendiri. Namun, bukan itu yang membangkitkan optimisme saya, melainkan adanya kesamaan tekad dan tujuan untuk mengharumkan nama sekolah. Selama dua bulan kami pun digembleng secara fisik dan strategi.
Kompetisi LPI pun akhirnya digelar. Kami berhasil lolos dari babak penyisihan dengan melumat SMA-SMA lain. Guru-guru amat antusias hingga akhirnya kami lolos ke babak final, dan benar saja lawan yang kami hadapi adalah SMAN 25 Bandung, si favorit juara.
Pertandingan berlangsung begitu dramatis. Kami sempat unggul 1-0 meski akhirnya disamakan menjadi 1-1. Pertandingan pun berlanjut hingga babak adu tendangan penalti. Beruntung dua penendangan tim SMAN 25 gagal mencetak gol, sehingga kami membawa pulang trofi pertama buat sekolah sekaligus kebanggaan yang tiada tara.
Dilema Atlet di Sekolah
Pada babak penyisihan hingga perempat final, Stadion Sidolig, tempat kami bertanding, selalu sepi penonton. Saya sempat meminta kepada sekolah untuk memberi dispensasi pada beberapa siswa untuk memberi dukungan moral bagi kami di lapangan.
Benar saja, pada partai semifinal beberapa rekan datang memberi semangat. Sialnya, pendukung tim lawan jauh lebih niat dengan membawa giant flag, suar, hingga smoke bomb. Meski secara psikologis tertekan, beruntung kami menang 3-0.
Pada partai final, saya sempat pesimis kalau kepala sekolah kembali memberi dispensasi. Apalagi kami bertanding di hari Senin, saat semua orang sibuk dengan ursannya masing-masing di sekolah.
Final baru dimulai pukul 10.30. Saat kami sampai di stadion, kami pun kaget karena hampir semua elemen di sekolah hadir di stadion, termasuk kepala sekolah. Hampir semua guru dan teman-teman yang bahkan tak suka sepakbola, secara kompak datang dan mendukung. Dukungan tersebut membuat kami terpacu termasuk melawan kemustahilan mengandaskan sang juara bertahan.
Meskipun demikian, ada satu âmotivasiâ dari kepala sekolah yang membuat adrenalin kami kian terpacu: âKalau juara, kalian naik kelas semua!â. Ya, naik kelas seperti menjadi hantu buat kami, para atlet. Bagaimana mau naik kelas kalau mengerjakan pekerjaan rumah saja jarang? Bagaiamana mau naik kelas kalau konsentrasi di kelas buyar karena mengantuk?
Selain bermain di sekolah, saya pun terpilih untuk bermain di tim Suratin Kota Bandung U-17. Tentu banyak konsekuensi yang harus saya hadapi, termasuk omelan guru karena saya jarang mengikuti pembelajaran di sekolah. Saya bahkan pernah meninggalkan sekolah selama tiga bulan untuk mengikuti pemusatan latihan.
Dilema itu seringkali menghantui. Tidak sekolah berarti tidak belajar. Tidak belajar berarti mustahil mendapatkan nilai bagus saat ujian. Saya bahkan tidak melakukan keduanya: tidak belajar dan tidak ujian. Semua nilai UTS saya â0â. Namun, itulah bagian dari pengorbanan saya demi sepakbola, sebuah impian yang selalu menjadi mimpi besar saya sewaktu kecil.
Sulit untuk menjawab omelan guru di kelas. Namun, saya seringkali merasa bahagia saat membuktikannya di atas lapangan. Segala pengorbanan itu terbayar, terlebih saat saya bisa mengharumkan nama sekolah.
Hal paling sulit tentu membagi waktu antara belajar dan berlatih. Saya memang mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, tetapi seringkali ketinggalan materi akibat terlalu sering mengambil dispensasi. Hampir semua guru memberi saya tugas tambahan, mungkin hanya pelajaran olahraga yang nilainya berada di atas KKM.
Kesulitan ini ditambah dengan ambisi saya yang ingin mengenakan kostum Persib meskipun hanya pada level junior. Saya lebih sering mengambil dispensasi untuk mengejar cita-cita saya yang mungkin tak berarti apa-apa buat orang lain.
Ambisi tersebut membuat saya mengorbankan waktu bermain dan berkumpul dengan teman. Usai pulang sekolah, biasanya saya mesti bergegas ke tempat latihan. Saya menghabiskan waktu di tempat latihan. Saya selalu ingat pesan ibu bahwa tidak ada sesuatu yang instan, âBerperih-perih saja dulu sekarang, siapa tahu akan ada manisnya suatu saat nanti.â
Meskipun demikian saya selalu patuh pada jadwal sehari-hari: Tidur tidak lebih dari pukul 10 malam, dan istirahat total pada hari Minggu. Tentu, hari tersebut mesti dilewatkan bersama dengan orang-orang yang istimewa pula.
Cita-cita saya sejak kecil adalah menjadi pesepakbola. Meskipun segala macam bentuk kisruh sepakbola Indonesia ada di depan mata, tapi asa saya untuk menjadi pesepakbola tak pernah putus. Alasan utama saya tentu karena orang tua karena mereka yang sejak saya kecil selalu mendukung ambisi ini. Mereka yang mengenalkan saya dengan sepakbola, mengantar latihan, dan membelikan segala sesuatu yang saya butuhkan. Saya ingin sekali merasakan ditonton langsung orang tua di tribun saat saya bertanding di level profesional.
Menjadi Besar karena Sepakbola
Buat saya, menjadi juara LPI adalah satu hal yang prestisius, mungkin sekelas memenangkan Liga Champions di Eropa sana. Usai menjadi juara, setiap jengkal langkah di sekolah dipenuhi dengan suka cita yang begitu besar. Buat saya, menjadi juara dalam kompetisi setingkat pelajar di Kota Bandung sudah mampu mengangkat derajat kami di mata orang tua sampai calon mertua!
Hingga detik ini tak pernah ada sedikit pun penyesalan dari saya karena bermain sepakbola. Karena ini pula saya bisa meneruskan kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia. Setiap hidup adalah pilihan dan setiap pilihan menyimpan risiko yang tak terduga. Saya berani mengambil risiko sebagai pesepakbola.
Atas apa yang saya capai, saya hanya ingin membagi ide bahwa tidak semua anak mesti mendapat pengajaran yang sama. Beberapa dari mereka punya kelebihan dalam satu bidang, sementara yang lain tidak. Kami, para atlet sepakbola, memang tidak pandai berhitung, tapi setidaknya kami bisa membawa harum nama sekolah sebagai juara sepakbola: Sebuah olahraga yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pengalaman ini ditulis untuk merespon tulisan Dilema Pendidikan dan Sepakbola. Penulis merupakan mahasiswa. Juara LPI 2014 tingkat Kota Bandung. Berakun twitter @myogietabidin
Komentar