Akses keluar masuk tribun memang mudah. Hebatnya pula, tidak terjadi antrian ekstrim di kamar kecil, karena kamar kecilnya sangat besar dan bisa menampung sampai ratusan orang. Saat jeda pun diumumkan bahwa penonton yang hadir di malam itu berjumlah 17.000 orang lebih. Memang saat itu stadion tidak penuh, namun lebih dari setengah kapasitas stadion terisi.
Satu pemandangan menarik terjadi saat turun minum itu: Bapak-bapak yang duduk di sebelah saya pergi mengantar anaknya ke kamar kecil. Bapak itu meninggalkan begitu saja tas miliknya (dalam keadaan terbuka) dan makanan miliknya di kursi penonton. Sama sekali tidak tampak perasaan takut barang bawaannya akan dicuri oleh orang lain.
Di babak kedua, kedua kesebelasan tidak berhasil menambah angka. Thomas Sorensen melakukan beberapa penyelamatan hebat yang membuat kesebelasan tamu bisa membawa pulang satu angka.
Penonton pun mulai beranjak dari kursinya satu-persatu untuk meninggalkan stadion. Mereka masih meninggalkan sampah, walau tidak banyak. Saya yang merupakan turis norak tentu tidak melewatkan kesempatan ini untuk berfoto-foto di dekat lapangan.
Sungguh menyenangkan pergi menonton sepakbola dengan suasana yang damai seperti ini. Saya cukup sedih bila membandingkan saat saya menonton sepakbola di negeri saya (walaupun bukan pertandingan liga) di mana sarana-prasarana stadion tampak kurang terurus dan dihargai.
Sesungguhnya sepakbola baru saja mulai populer di Australia, tapi mereka tampak benar-benar mengurusnya. Sedangkan sepakbola yang merupakan olahraga nomor satu di Indonesia, masih belum bisa menghadirkan kenyamanan bagi penontonnya, terlepas dari jumlah penonton dan antusiasme suporternya.
Kira-kira, kapan di Indonesia bisa menonton di stadion dengan nyaman seperti di Australia, ya?
*foto merupakan koleksi pribadi penulis
Penulis beredar di dunia maya dengan akun twiter @aldhi_febrianto
Komentar