Mourinho ada di ujung tanduk. Bahkan sedari awal berkarier sebagai manajer di Benfica pada 2000, ia tak pernah merasakan rentetan hasil buruk separah ini. Mourinho menimba ilmu dari para pelatih juara seperti Bobby Robson dan Louis van Gaal di tim-tim besar seperti Sporting, Porto, dan Barcelona. Ia mencuat sebagai pemenang dengan mengajarkan para pemainnya cara pohon kelapa tetap berdiri kokoh di tengah terpaan badai. Ia tak pernah tahu cara pohon bakau tumbuh di atas lumpur. Dengan kata lain, cara membangkitkan klub yang sedang terpuruk di papan bawah klasemen.
Ranieri = Paris
Di belahan lain Inggris, ada seorang pelatih senior yang justru paham betul akan hal tersebut: Claudio Ranieri.
Di awal musim 2015/2016, Ranieri kembali ke Inggris untuk membesut Leicester City, tim yang di musim sebelumnya hanya mampu duduk di peringkat 14 klasemen liga. Sepanjang kariernya, Ranieri dikenal sebagai penyelamat tim dari keterpurukan, tapi bukan pemenang sejati. Ia sempat sukses mengangkat performa Chelsea, Valencia, Juventus, AS Roma dan juga AS Monaco. Namun ketika sudah saatnya mereka unjuk gigi sebagai penantang serius gelar juara, Ranieri gagal.
âRanieri punya mentalitas seseorang yang merasa tak butuh kemenangan,â komentar Mourinho soal posisi Ranieri sebagai pelatih Juventus pada 2008. âDia terlalu tua untuk mengubah mentalitasnya. Dia sudah tua dan belum juga memenangkan apa pun.â
Namun, Ranieri membalas dengan manis di saat paling menyakitkan bagi Mourinho. Di tangannya, Leicester mendadak jadi tim tangguh pemuncak klasemen. Di tangannya, Leicester sukses menaklukkan Chelsea 2-1 pada pekan ke-16 Liga Inggris. Hasil yang membuat Chelsea kembali terperosok hingga hanya terpisah satu poin dari zona degradasi, dan memaksa Abramovich kembali memecat Mourinho.
Di sini, Ranieri bertindak sebagai Paris dalam epos Perang Troya. Paris adalah adik Hector yang digambarkan sebagai sosok pengecut dan kurang andal dalam pertarungan satu lawan satu. Paris pula yang memancing kemarahan Menelaus dengan merebut istrinya, Helen, secara diam-diam. Agamemnon, kakak Menelaus, jadi kian bersemangat untuk menyerang Troya karena Paris telah melecehkan kehormatan adiknya.
Dalam perang akbar tersebut, pasukan Yunani akhirnya berhasil masuk ke kota Troya dengan cara bersembunyi di dalam sebuah patung kuda raksasa. Di tengah malam, pasukan Yunani bergerilya membakar kota dan membunuh warga. Harusnya, itu jadi kemenangan sempurna.
Tak disangka, di sana Paris justru sukses menaklukkan Achilles. Ia menembakkan panah ke bagian terlemah dari tubuh Achilles: tumit. Saat gerakan Achilles melambat, Paris terus menghujani tubuhnya dengan panah. Achilles pun tewas tak berdaya.
Itu bisa terjadi juga karena konsentrasi Achilles terpecah saat sedang melindungi Briseis. Kemampuan Achilles untuk membinasakan lawan tak masimal kala seorang perempuan masuk dalam kehidupannya.
Akhir kata, kisah Mourinho pun berakhir tragis di Chelsea setelah Eva Carneiro masuk mengusik kehidupan pribadinya. Di tengah perjalanan buruk tim, pukulan pamungkas datang dari orang yang tak disangka. Orang yang selama ini dianggap Mourinho sebagai âfiguranâ dunia sepak bola: Ranieri.
Jose Mourinho memang bukan orang biasa. Ia adalah manajer sepak bola yang bisa bicara lima bahasa. Pemahaman taktik dan kepercayaan dirinya tinggi. Ia pun telah meraih sukses di empat negara berbeda. Kariernya cemerlang. Sayang, egonya menjulang. Sejarah mencatat, awal mula kejatuhannya dimulai karena perseteruan dengan seorang perempuan.
*Penulis lepas. Jatuh cinta pada sepak bola setelah menyaksikan tendangan bebas David Beckham menembus gawang Iker Casillas pada perempat final Liga Champions 2002/2003. Dapat dihubungi di akun Twitter @jawirisme
Komentar