Oleh: Mohammad Rasyid Hidayat*
Sebuah berita tentang Manajer Persinga Ngawi, Dwi Rianto Jatmiko, yang mengkritik penampilan pelatih (ralat: manajer) Persatu Tuban, Fahmi Fikroni, menarik perhatian saya. Berita tersebut unik sekaligus menggelitik karena yang menjadi objek kritiknya adalah jas yang dipakai Roni, sapaan Fikroni, saat mendampingi timnya bermain. Kira-kira begini isi beritanya:
âCara berpakaian Mas Roni bagus. Tapi tidak pada tempatnya karena di sepakbola Indonesia tidak lazim memakai jas di lapangan pertandingan. Kalau itu dilakukan Roni di acara formal seperti resepsi atau di kantor, saya kira sangat pas,â kata Dwi yang membawa Persinga Ngawi menjadi runner-up Piala Kemerdekaan 2015, dikutip dari bola.com.
Penampilan dengan jas pada dasarnya memang menjadi ciri khas manajer-manajer kesebelasan Eropa. Selain sebagai identitas diri, penampilan tersebut juga menunjukan sisi profesionalisme dan penghormatan tinggi bagi dunia yang digelutinya.
Hal tersebut diamini oleh Fahmi Fikroni yang sengaja mengenakan jas agar terlihat profesional. Ia juga menilai penampilannya berpengaruh terhadap internal tim Persatu Tuban. Para pemainnya merasa lebih terhormat dan percaya diri ketika melihat penampilannya.
Fahmi gerah dengan anggapan selama ini bahwa pelatih harus lekat dengan atribut âsportyâ. Ia menganggap tradisi ini kebablasan. Bahkan di beberapa kesempatan masih ada pelatih yang memakai celana kolor pendek di pinggir lapangan sehingga menyulitkan kita untuk memilah antara pelatih dengan warga sekitar.
Mungkin apa yang dilontarkan Dwi Rianto Jatmiko tersebut sekedar bentuk psywar yang umum terjadi dalam pertandingan sepakbola, berhubung keduanya kerap berhadapan di kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia. Namun seketika argumen tersebut terpatahkan lantaran kompetisi nasional saat ini sedang berhenti, lantas syarat utama psywar untuk membuat mental lawan jatuh pun tak terpenuhi.
Hingga suatu ketika, saya mendengar komentar Mauricio Pochettino kepada seorang awak media yang memanggil dirinya dengan sebutan âmanajerâ. Pochettino meresponsnya dengan kalimat sanggahan. Ia menganggap perannya di Spurs saat ini adalah sebagai pelatih, bukan seorang manajer. âAda perbedaan yang mendasar diantara keduanya,â tukas Pochettino.
Pernyataan tersebut membuat saya berpikir tentang perbedaan konsep pelatih dan manajer dalam sepakbola, yang bukan tidak mungkin memiliki benang merah dengan kritikan Dwi Rianto Jatmiko kepada koleganya yang tampil a la âmanajerâ Eropa.
Dalam dunia olahraga, pelatih dan manajer pada dasarnya memiliki pengertian beragam. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa manajer adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut kata pelatih. Dalam bisbol misalnya, penggunaan kata manajer lebih populer digunakan untuk penyebutan figur juru latih sedangkan pada olahraga basket yang terjadi adalah sebaliknya.
Namun dalam sepakbola, konsep pelatih dan manajer memiliki interpretasi yang berbeda ketika keduanya disandingkan. Pelatih (head coach) adalah figur yang bertugas memberikan porsi latihan, meracik strategi, dan memberikan instruksi di lapangan. Sedangkan seorang manajer (manager) bertanggung jawab mengatur administrasi dan persiapan tim di luar lapangan.
Di sepakbola Eropa, khususnya di Inggris, tugas kepelatihan dan manajerial diserahkan kepada satu orang yang disebut manajer. Sir Alex Ferguson merupakan sosok yang tepat untuk menggambarkan posisi ini. Predikat manajer yang disandang Fergie bukanlah karena masalah bahasa semata, melainkan karena keterlibatannya hampir di seluruh aspek Mancheter United mulai dari hairdryer treatment, proses transfer pemain, pengembangan akademi serta pencitraan klub.
Lalu, apa itu Director of Football?
Apa yang dilakukan oleh Fergie juga didukung oleh pernyataan Simon Kuper dan Stefan Syzmanski yang berpendapat bahwa seorang manajer idealnya tidak hanya memberikan taktik dan motivasi dari pinggir lapangan namun juga berperan sebagai wajah dan suara bagi klubnya.
Manajer adalah pihak pertama yang bertanggung jawab saat berhadapan dengan media di sebuah konferensi pers. Kehadirannya mungkin tidak akan mengubah hasil akhir pertandingan namun penjelasannya sedikit banyak akan mengubah persepsi masyarakat dan melupakan kekalahan memalukan yang baru saja terjadi.
Sementara di Indonesia, fungsi pelatih dan manajer ibarat dua sisi koin. Posisi pelatih dan manajer diisi oleh dua sosok yang berbeda. Umumnya, seorang manajer adalah tokoh publik, baik itu politisi, pejabat daerah, maupun seorang pemuka agama yang turut mendanai kegiatan operasional klub. Tidak jarang manajer menjelma menjadi sosok yang paling berpengaruh dalam keputusan tim. Tidak jarang pula ia turun ke lapangan untuk memberikan instruksi layaknya seorang Sir Alex.
Pengambilalihan peran ini mengakibatkan tumpang tindih jabatan antara seorang pelatih dan manajer di negara kita sehingga bisa menimbulkan persepsi adanya kelas di antara keduanya. Padahal seharusnya komponen ini berdiri sejajar dan berjalan beriringan. Kesuksesan seorang manajer tidak lagi dipandang sebagai pencapaian individu melainkan prestasi seluruh pihak yang terlibat lengkap dengan staf dan jajaran kepelatihannya.
Melihat fenomena pemetaan tugas pelatih dan manajer di Indonesia, penyataan Dwi Rianto Jatmiko mungkin benar adanya. Konsep pelatih di Indonesia yang membatasi lingkup kerjanya mengindikasikan bahwa pelatih tak perlu repot-repot memikirkan penampilan, biarlah manajer yang bertanggung jawab di hadapan publik dengan setelan jas dan dasi.
Namun sepakbola bukan lagi di masa Helenio Herrera, pelatih legendaris Inter Milan di era 60-an, di mana kebanyakan pelatih hanya bertugas membawakan tas, tidak dibayar, dan dipandang sebelah mata. Saat ini sepakbola sudah menjadi sebuah industri yang profesional. Tanggung jawab pelatih pun menjadi lebih luas.
Terlepas dari istilah pelatih atau manajer yang digunakan pada sepakbola kita, tugas utama mereka bukan hanya memenangi pertandingan semata, namun juga menjaga nama baik seluruh pihak yang berkepentingan. Itulah mengapa pelatih dituntut untuk berpenampilan layak dan tampil meyakinkan di depan publik.
Sejarah mencatat, tidak sedikit pelatih yang diangkat semata karena sosoknya yang karismatik. Diego Maradona dan Bryan Robson terpilih menukangi tim nasional karena mereka adalah panutan di negaranya. Tidak ada figur lain yang lebih baik ketimbang Maradona dalam merepresentasikan sepakbola Argentina, walaupun dalam persoalan melatih, Avram Grant mungkin lebih kompeten.
Di momentum transisi ini, sudah saatnya pelaku sepakbola kita mampu menjadi teladan, baik di lapangan maupun di masyarakat. Citra sepakbola Indonesia di mata khalayak belakangan ini cukup menyedihkan. Sebagian dari kita masih menganggap sepak bola sebagai sarang kejahatan, suap dan korupsi; paling tidak itulah gambaran yang saat ini marak ditampilkan media.
Demi mewujudkan cita-cita sepak bola bersih dan profesional yang selama ini digembar-gemborkan, alangkah bijak jika semua pihak, terutama pelaku olahraga, melakukan interospeksi diri. Diawali dengan merapikan penampilan di pinggir lapangan, tidak harus memakai jas, asalkan rapi dan berwibawa, anggap saja sedang menghadiri acara kantor atau resepsi.
*Pengamat sekaligus penikmat sepakbola. Pemegang Lisensi kepelatihan FA Level 1 dan Pendukung Manchester United. Akun Twitter @bungkoesMenurut Anda, bagaimana peran manajer di sepakbola Indonesia? Adakah yang perannya kebablasan sehingga mengganggu kerja pelatih? Silakan tuangkan di kolom komentar. -redaksi.
Komentar