Mendukung Liverpool merupakan perwujudan nilai hidup. Pernyataan ini bukanlah mengada-ada ataupun berlebihan. Cobalah tengok bagaimana performa skuat besutan Juergen Klopp musim ini. Kadang bermain bagus dengan menang telak melawan kesebelasan kelas kakap, namun sering pula mengecewakan ketika berhadapan dengan kesebelasan semenjana. Persis seperti hidup. Kadang ada kalanya kita di atas menikmati kemewahan dan di satu saat kita dirundung kesedihan dan kekecewaan mendalam, seolah-olah berada dalam titik terendah, layaknya roda yang berputar.
(Naskah ditulis oleh Aditya Maulana Hasymi)
Malam Jumat lalu (14/04/2016, atau Jumat 15/04/2016 dini hari WIB), falsafah nilai hidup kembali terpancar dalam performa Liverpool, ketika mentas dalam ajang Liga Europa UEFA berhadapan dengan Borussia Dortmund pada leg kedua babak perempatfinal. Sebuah nilai luhur yang dipegang teguh pejuang: tetap terus berusaha mencoba sampai kesempatan itu benar-benar tertutup.
Saya beruntung bisa menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri, menikmati setiap detik momen demi momen yang terhampar sembari terus bernyanyi dan berteriak, dari tribun ketika The Reds bersua kesebelasan asal Jerman yang sempat meraih supremasi sepak bola tertinggi Eropa pada 1997.
Sebuah malam terang di Anfield, yang setiap jengkal bergulirnya bola akan selalu diingat oleh para Kopites. Liverpool sukses mengandaskan Dortmund untuk melaju ke babak semifinal, ketika ketidakmungkinan itu seolah telah tersaji di hadapan mereka.
***
Kamis itu, 14 April 2016, kota pelabuhan ini tampak telah siap untuk menyambut hari pertandingan. Sepanjang jalan dapat ditemui banyak masyarakat yang berlalu lalang mengenakan atribut kesebelasan kebanggaan Liverpudlian ini, baik memamerkan jersey kebesaran atau sekadar mengalungkan syal kesebelasan. Bahkan kampus tempat saya menempuh studi master saat ini, University of Liverpool, seolah tak mau ketinggalan euforia dengan mengadakan nonton bareng di Gedung Gelanggang Mahasiswa, atau dikenal dengan Guild of Students.
Memang pertandingan malam itu bukan sekadar pertandingan biasa. Ada bumbu romantisme yang mengemulsi di dalamnya. Seperti yang kita tahu, Klopp adalah mantan pelatih Die Borussen, yang menanamkan pondasi gegenpressing sebagai taktik utama yang kini disempurnakan oleh suksesornya, Thomas Tuchel. Sambutan baik pada leg pertama, ketika pelatih yang terkenal dengan mengusung gaya bermain “heavy metal football” ini pulang kampung, seolah menegaskan romantisme itu diam-diam masih bersemayam.
Tak ayal, Klopp dalam catatan yang ia tuliskan pada match programme partai ini, menegaskan akan mempersembahkan sesuatu yang spesial untuk lawatan kesebelasan bagian barat daya Jerman ini.
“Tonight promises to be a special occasion, with two of Europe’s biggest clubs playing in a special ground in front of two groups of amazing supporters,” janji pelatih eksentrik berkacamata ini, seperti yang dikutip dalam The Manager Notes-nya.
Aroma persaingan sengit yang dibumbui romantisme semakin terasa ketika suporter Die Schwarzgelben, yang menyebrang lautan menuju tanah Britania Raya disambut hangat suporter kesebelasan lokal. Siang itu, mereka sama-sama meneriakkan lagu “Youl’ll Never Walk Alone” ketika berjumpa di sudut ikonik kota berlambang burung Liver ini, yakni di depan pub tempat pertama kali grup musik The Beatles merintis karir, Cavern Club.
***
Saya tak sabar untuk bisa segera hadir di Anfield, menikmati adu strategi antara Klopp dan Tuchel, dengan dukungan dari kedua suporter yang sangat fanatik. Ada passion di dalamnya ketika suporter mendukung pujaannya berlaga di lapangan hijau. Ketika waktu menunjukkan pukul lima sore (pukul 23:00 WIB), atau tepat tiga jam sebelum sepak mula (kick-off), saya segera beranjak, cepat-cepat bergegas setelah menunaikan kewajiban sebagai Mahasiswa dengan belajar, dari Sidney Jones Library di University Liverpool menuju halte bis terdekat di Promfret Street.
Bis jalur 27, yang khusus disiapkan oleh pemerintah kota setempat menuju Anfield Street ketika hari pertandingan mengantarkan saya menuju altar pemujaan. Seperti biasa, bus selalu penuh sesak dengan penumpang jelang Liverpool berlaga.
Penonton dengan atribut khas The Reds memadati angkutan umum yang amat nyaman dan terjadwal dengan rapi ini. Bis pun berjalan pelan karena jadwal sepak mula pertandingan melewati jam pulang kantor, yang berarti berdampak pada arus jalan yang sesekali dilanda kemacetan.
Pukul tujuh sore atau tepat satu jam sebelum sepak mula, saya telah tiba di stadion yang berada di kawasan distrik dengan kode L4 ini. Ratusan Kopites telah menyemut di sepanjang jalan, baik bercengkrama dengan menenggak bir di pub seputaran stadion atau sekadar mengisi perut dengan kudapan macam fish and chips. Saya memutuskan langsung masuk mengingat pintu stadion telah dibuka dan tentu menghindari antrian panjang jika masuk hanya berselang beberapa menit saja jelang sepak mula. Tribun yang saya tempati berada di wilayah main stand, atau tepat berada di tengah namun tak jauh dari tribun The Kop yang fenomenal itu.
Malam itu roman-romannya akan menjadi malam Eropa yang begitu bertenaga dengan suara yang begitu lantang datang dari tribun. Baik fans Liverpool dan Dortmund memberikan dukungan maksimal, termasuk aksi koreo sebelum peluit tanda mulai pertandingan dibunyikan. Adrenalin semakin terpacu ketika lagu penuh makna itu, “Youl’ll Never Walk Alone”, dinyanyikan secara lantang bak koor massal oleh seisi stadion. Ada gairah yang membuncah sontak menyelimuti setiap jengkal dari sudut stadion yang berkapasitas 44.700 penonton ini.
Boom! Perayaan yang tampak akan dinikmati oleh Kopites sontak tercerai berai dalam waktu kurang dari 10 menit. Dua gol cepat dari kaki Henrikh Mkhitaryan dan Pierre-Emerick Aubameyang sontak membuat terdiam seiisi Anfield. Bagaimana tidak, disaat James Milner dan kawan-kawan hanya membutuhkan hasil imbang tanpa gol untuk lolos ke semifinal, justru mereka harus kebobolan dua gol tanpa balas pada awal pertandingan.
Keadaan ini memaksa The Reds harus mencetak tiga gol untuk mengatasi keunggulan dua gol tandang Die Borussen. Sontak, wajah-wajah keheranan terpancar dari para pendukung Liverpool, seolah tak percaya akan apa yang telah terjadi.
Hingga turun minum keadaan tak berubah dengan keunggulan dua gol armada Tuchel atas pasukan Klopp. Perdebatan seperti biasa terjadi di area lorong tribun, tempat para suporter membeli kudapan pada saat jeda pertandingan. Scousers, sebutan masyarakat asli Merseyside membicarakan akan buruknya performa sebelas pemain dengan lambang liver bird di dada pada babak pertama.
Satu yang menarik, sembari saya memerhatikan bagaimana masyarakat asli Merseyside bercengkrama di lorong stadion, karena kebetulan waktu pertandingan melewati maghrib, maka saya sempatkan untuk mendirikan shalat di salah satu sudut stadion. Sembari tentunya berharap, keajaiban muncul di paruh kedua pertandingan.
Cerita babak kedua di halaman berikutnya...
Komentar