Tidak banyak pelatih asing yang meraih sukses ketika menukangi kesebelasan negara Indonesia. Tercatat hanya Antoni Pogacnik dan Anatoli Polosin saja yang (menurut penulis) terhitung sukses dalam memberikan gelar juara bagi Indonesia. Akan tetapi ada satu pelatih asing yang meskipun tidak memberikan prestasi bagi Indonesia namun meninggalkan warisan yang besar bagi persepak bolaan negara ini.
(Artikel ini ditulis oleh Ajie Rahmansyah)
Pada 22 April 2016 adalah tepat lima tahun kepergian sosok bernama Wiel Coerver. Pria kelahiran Kerkrade ini dijuluki sebagai Albert Einstein nya sepak bola. Julukan itu hadir berkat kemampuannya dalam membuat suatu metode latihan dan taktik bagi sepak bola. Selain itu, dalam menanamkan sikap profesionalisme bagi pemain, tidak ada yang meragukan kapasitas seorang Wiel.
Wiel hadir dalam dunia sepak bola Indonesia dengan status pernah membawa Feyenoord Rotterdam menjuarai liga Belanda dan piala UEFA 1974. Kedatangannya saat itu dibantu oleh mantan kiper Indonesia Van Der Vin. Kehadirannya saat itu sempat membuat kontroversi di kalangan para petinggi PSSI serta insan sepak bola Indonesia. Wiel bahkan sempat mengatakan bahwa para pemain dan pelatih sepak bola Indonesia bermental “kacung” karena sering kali menundukkan kepala kepada para petinggi PSSI. Ucapannya tersebut bahkan sampai membuat seorang Aang Witarsa pun mengundurkan diri dari Diklat Salatiga.
Ucapan tersebut kemudian diralat oleh Wiel sebagai sebuah kesalah pahaman. Wiel mengatakan bahwa yang sebenarnya adalah para pemain kita pada saat itu tidak memiliki kepribadian. Selain itu Wiel bahkan pernah mengusir petinggi PSSI di ruangan konferensi pers karena mengganggu kapasitasnya sebagai seorang pelatih. Bahkan wartawan senior Kompas, Sumohadi Marsis pun pernah diusirnya.
Meskipun Wiel memiliki sifat yang keras dan tegas, namun Wiel sangat melindungi para pemainnya. Pria kelahiran 3 Desember 1924 itu pun membentuk dewan pemain yang terdiri dari Risdianto, Iswadi Idris, Junaedi Abdullah dan lain-lain untuk menekan para petinggi PSSI memberikan bonus yang lebih layak bagi anak-anak asuhnya. Mantan pelatih NEC Nijmegen ini tidak tega melihat para pemainnya menerima gaji yang lebih kecil darinya. Wiel mengatakan bahwa kedua kaki mereka sebagai periuk nasi hari ini dan jaminan mereka di masa tua.
PSSI menunjuk Wiel saat itu untuk membawa Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal 1976 cabang olahraga sepak bola. Kontrak dua tahun pun ditanda tanganinya. Tawaran dari klub-klub Eropa pun ditolak demi sepak bola Indonesia yang dianggapnya lebih menantang. Mempersiapkan tim kurang dari setahun, Wiel berhasil membentuk kesebelasan Garuda menjadi tim yang ditakutkan dalam kualifikasi tersebut.
Menang melawan Papua Nugini dan Malaysia, menahan Singapura tanpa gol, dan kalah dari Korea Utara membawa Risdianto dan kawan-kawan kembali bertemu Korea Utara di partai final. Sayang ketidakberuntungan menghinggapi Indonesia setelah di partai final mereka kalah adu pinalti dan melepas tiket pergi ke Montreal.
Kekalahan tersebut pun menghancurkan hati Coerver dan masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, kekalahan tersebut membangkitkan animo anak-anak Indonesia untuk menjadi pemain sepak bola di kemudian hari. Kontraknya pun berakhir pada Mei 1976 dan PSSI pun tidak memperbaharui kontraknya.
Meskipun gagal memberikan yang terbaik bagi Indonesia, Wiel mengaku cinta dengan sepak bola Indonesia. Hal ini disebabkan oleh publik sepak bola Indonesia yang begitu mencintai tim nasionalnya.
Coerver Coaching Method dan Latihan Situasi
Coerver kemudian pulang ke Belanda untuk menangani tim Go Ahead Eagles. Selepas melatih, ia pun membuat buku berjudul “Leerplan Voor De Ideale Footballer”. Buku tersebut berisi metode-metode melatih ala Coerver yang dikenal sebagai Coerver Coaching Method. Coerver juga mengaku bahwa buku tersebut dibuat dari aktivitas dirnya dalam memperhatikan permainan para pemain kelas dunia macam Pele, Cruyff dan Maradona. Bahkan pelatih legendaris sekelas Rinus Michels dan Rene Meulensteen (staf pelatih Manchester United di era Fergie) pun mengaku belajar banyak dari seorang Coerver.
Selain itu, Coerver pun membuat buku tentang penekanan kepribadian bagi pesepakbola. Coerver mengatakan bahwa sehebat apapun seorang pemain, apabila tidak memiliki kepribadian yang baik maka tidak ada gunanya. Ia selalu kecewa apabila melihat seorang pemain yang selalu melepas bola jauh ke depan. Hal itu pernah dituturkan oleh Sugih Hendarto yang merupakan orang dekat Wiel selama melatih Indonesia.
“Coerver pernah berkata kepada saya, ‘Baas (bos), kenapa Cruyff, Maradona, Pele, dan Beckenbauer pemain hebat?’ Jawabannya adalah karena ketika bola berada di kaki mereka, mereka sangat berbahaya. Kuasai bola lalu berbuat sesuatu.” Tutur Sugih yang juga mengatakan Coerver selalu blusukan ke kampung-kampung untuk melatih anak-anak bermain sepak bola.
Dalam membentuk kepribadian seorang pemain, Coerver pun menekankan latihan situasi. Latihan situasi dalam bentuk satu lawan satu, dan tiga lawan tiga selalu dipakai untuk menuntut para pemainnya agar dapat mencetak gol sebanyak mungkin tanpa harus mengoper bola. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter para pemain agar semakin berani untuk menjadikan sepak bola menjadi lebih menarik.
Metode ini kemudian selalu diangkat sebagai tema seminar-seminar kepelatihan yang pernah diadakan. Lengkap dengan Coerver sebagai pembicaraannya. Bahkan stasiun televise TVRI pernah menayangkan beberapa metode kepelatihan Coerver tersebut dalam acara ‘Dari Gelanggang ke Gelanggang.
Kematian Coerver yang Tidak Dianggap Masyarakat Indonesia
Masalah jantung kemudian membuat Coerver berhenti total dari sepak bola. Sugih pun mengatakan bahwa suatu ketika dirinya melihat Coerver berjalan memegangi dadanya dan mengeluh sakit sambil berjalan dengan tertunduk.
Coerver kemudian meninggal dunia pada 22 April 2011. Selain masalah jantung, Pneumonia juga menjadi penyebab Coerver harus berpulang ke hadapan sang penciptanya. Kematiannya pun meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi para pecinta sepak bola dunia.
“Beliau adalah peletak dasar metode mengendalikan bola tanpa kehilangan fokus. Figur Coerver sangat penting bagi dunia sepak bola.’ Ujar Leo Beenhaker mantan pelatih Polandia ketika mengetahui kematian Coerver.
Untuk mengenang Coerver, lanjutan liga Belanda saat itu yang mempertemukan Feyenoord melawan PSV Eindhoven akan mengenakan pita hitam. Sayangnya hal tersebut tidak dilakukan dalam lanjutan liga super Indonesia. Tidak ada penghormatan khusus bagi Coerver bahkan hingga satu minggu kematiannya. Hal tersebut sangat disayangkan oleh mantan strike Indonesia Risdianto.
“Ini menunjukkan bahwa pengurus sekarang tidak ada yang mengetahui Coerver. Saya sangat kecewa karena tidak ada yang menghargai jasanya.” Tutur Risdianto
Karier Coerver memang terhitung singkat bagi persepakbolaan Indonesia. Meskipun demikian Coerver berhasil menanamkan sebuah etos kerja yang sangat kuat bagi persepakbolaan dunia bahwa pesepakbola harus memiliki karakter yang kuat dan sebuah tim juara. Faktor tersebut yang (masih) belum dimiliki oleh kesebelasan negara Indonesia hingga sekarang.
Mahasiswa Psikologi di Universitas Swasta di Yogyakarta sekaligus penggemar Manchester United yang berakun Twitter @ajielito
Komentar