Oleh: Muhamad Ervirdi Rahmat*
Pada menit ke-95 ketika Jeffrey Schlupp tengah masyuk dengan bola yang ia giring, Andy Caroll menjatuhkannya di kotak terlarang. Seorang lelaki jangkung berbadan cukup kekar lantas mengambil ancang-ancang, matanya terlihat terkena silau cahaya matahari, tetapi tidak tampak satupun keraguan dari raut wajahnya dan dengan langkah meyakinkan ia meluncurkan bola ke pojok kanan gawang West Ham yang dikawal oleh Adrián, kedudukan pun imbang 2-2.
Lelaki itu adalah Leonardo Ulloa. Ia berlari menuju arah penonton berteriak sampai memperlihatkan urat-urat lehernya dan meninju udara dengan penuh emosi untuk kemudian dikerubungi rekan-rekan setimnya. Wajar jika raut mukanya terlihat begitu emosional karena tampaknya ia tidak pernah membayangkan perjalanan karier sepakbolanya akan seperti ini. Bersama Leicester City, ia di ambang kesuksesan meraih gelar perdana Liga Inggris bagi dirinya dan juga klub yang dibela.
Gol dari titik putih di akhir laga itu seakan menjadi pembalasan yang setimpal atas kartu merah Jamie Vardy dan dua gol yang bersarang di gawang Kasper Schmeichel. Menurut Ranieri, seperti yang dilansir The Independent, secara psikologis itu merupakan gol yang fantastis. Bukan hanya penting dalam meraih poin agar bisa mengamankan jarak dari Tottenham sang pesaing terdekat, tetapi juga membangkitkan mental anak asuhannya atau mungkin jika bisa diambil kesimpulan singkat, di sinilah terlihat mental juara dari Leicester City.
Leicester City musim ini bukan fenomena semata, tim ini seperti suatu kisah dongeng. Banyak cerita yang mengiringi kesuksesannya. Mulai dari keberhasilan Claudio Ranieri mengembalikan formasi sederhana 4-4-2 di tengah maraknya formasi dan taktik yang begitu rumit sehingga membuat pening kepala orang-orang satu stadion, di datangkannya para biksu langsung dari Thailand untuk membantu kemujuran tim yang ternyata terbukti ampuh, hingga muncul nama-nama bintang baru seperti N’Golo Kante, Riyad Mahrez, dan tentu saja Jamie Vardy.
Munculnya nama-nama pemain, terutama Jamie Vardy yang sejauh ini dengan gemilang telah mencetak 22 gol membuat Leicester dipandang sebatas Vardy saja, hingga kartu merah konyol yang menimpanya itu dan dua gol West Ham menjelang akhir pertandingan dianggap sebagai pertanda akan segera berakhirnya kisah dongeng Leicester City. Ternyata mereka yang beranggapan demikian luput akan satu tokoh lain yang masih terus melanjutkan kisah dongeng Leicester City: Leonardo Ulloa.
Perjalanan Karier
Berbeda dengan perjalanan karier Vardy yang dimulai merangkak dari divisi bawah Liga Inggris hingga bisa sampai ke Liga Primer, Ulloa bisa dibilang sudah terlihat lumayan menjanjikan dengan sederet pencapaiannya di karier sepakbolanya. Berawal di negara asalnya Argentina, selama enam tahun ia bermain di berbagai klub mulai dari bersama CAI (Comisión de Actividades Infantiles) hingga Club Olimpo. Ulloa pun tergabung dalam bagian dari San Lorenzo ketika memenangi Clausura pada 2007.
Prestasi tersebut tampaknya yang membuat Castellón klub Segunda Division (divisi dua Liga Spanyol) meliriknya. Dua tahun memperkuat Castellón, Ulloa mengemas 31 gol dari 78 penampilannya. Sederet golnya itu juga tampaknya yang membuat ia bergabung dengan Almeria pada musim 2010/2011 untuk merasakan atmosfer La Liga Spanyol. Di sana Ulloa mengemas tujuh gol dari 34 penampilannya. Salah satu golnya ia lesakkan ke gawang Iker Casillas yang membuat hasil imbang 1-1 kala melawan Real Madrid. Performa yang sebenarnya tidak jelek-jelek amat, tetapi sayangnya tim yang diperkuatnya itu tergusur dan membuatnya kembali harus bermain di divisi dua setelah tidak mampu bangkit dari peringkat paling buncit klasemen.
Musim keduanya bersama Almeria juga terbilang gemilang, ia mencetak 28 gol dari 38 penampilannya yang menjadikannya sebagai pencetak gol terbanyak Segunda Division (divisi dua Liga Spanyol) dengan terpaut lima gol di atas Iago Aspas yang saat itu bermain bersama Celta Vigo yang mencetak 23 gol. Sialnya, Almeria saat itu hanya mampu menyelesaikan liga di peringkat ketujuh sehingga tidak bisa kembali ke kompetisi teratas Liga Spanyol.
Tahun ketiganya di Almeria dijalani setengah musim saja karena pada pertengahan musim ia ditebus oleh Brighton & Hove Albion yang saat itu dinaungi oleh Gus Poyet. Ulloa sempat mengalami masalah paspor dan izin kerja, tetapi setelah masalah itu rampung dan bisa bermain ia langsung mencuri perhatian saat debutnya di piala FA ketika menghadapi Arsenal, sempat dianulir golnya karena offside, Ulloa tetap berhasil mencetak gol debut lewat sundulan pada menit ke-60 yang membuat kedudukan imbang 2-2. Sayangnya lagi-lagi ia menghadapi kegagalan karena Theo Wallcott berhasil kembali membuat Arsenal unggul, 3-2. Setengah musim di Inggris ia lewati dengan menyarangkan sembilan gol. Para supporter mulai menyukainya dan menciptakan chants khusus untuknya: “Who’s that man from Argentina? Leonardo Ulloa!”
Musim kedua bersama Brighton and Hove Albion ia lewati dengan sangat baik. Sebanyak 16 gol berhasil ia sarangkan, termasuk gol dramatis pada menit-menit akhir saat melawan Nottingham Forrest. Bedanya, kala itu ia mencetak gol lewat tandukan tajam yang memastikan kemenangan Brighton and Hove Albion 2-1 sekaligus memastikan timnya melaju ke playoff menuju Liga Primer Inggris. Tetapi dewi fortuna lagi-lagi belum memihak pada Leonardo Ulloa, kegagalan harus kembali ia hadapi. Brighton kalah 1-2 di kandangnya sendiri oleh Derby County dan kemudian dibantai 1-4 saat tandang.
Melihat permainan Leonardo Ulloa di musim sebelumnya, Nigel Pearson yang saat itu menukangi Leicester City rasanya tidak ragu untuk merogoh kocek delapan juta poundsterling untuk membayar kegagalan Leonardo Ulloa tampil di kancah tertinggi Liga Primer Inggris. Harga yang cukup tinggi untuk menebusnya itu langsung dibayar kontan juga oleh Ulloa di pertandingan debutnya saat menghadapi Everton. Ia membalas gol Everton yang dua menit sebelumnya dicetak Aiden McGeady. Kontribusinya juga sangat terlihat ketika Leicester City menahan imbang Arsenal 1-1. Lewat gol yang bisa dikatakan momentum waktunya sama persis bahkan bisa dikatakan sebagai de javu dengan gol sebelumnya saat melawan Everton: gol balasan di menit ke-22 atas gol yang terjadi 2 menit sebelumnya yang kali ini dicetak oleh Alexis Sanchez. Di pertandingan melawan Arsenal ini pun ia dinobatkan sebagai man of the match.
Tidak sampai di situ, Leonardo Ulloa dan juga Jamie Vardy mulai terlihat kesetanan saat mereka menggilas Manchester United dengan skor 5-3, Ulloa mencetak dua gol dan Vardy saat itu menjadi man of the match. Sontak Leonardo Ulloa langsung diterima oleh supporter Leicester dan chants itu kembali terdengar: “Who’s that man from Argentina? Leonardo Ulloa!”
Dengan hasil dua kemenangan, dua kali hasil seri, dan sekali kalah atas Chelsea, Leicester menempati peringkat ketujuh di lima pertandingan pertamanya itu, tidak buruk untuk ukuran tim promosi. Baru pada pertandingan sesudah melawan Manchester United itu Leicester mengalami performa yang naik turun, bahkan cenderung terus turun hingga sempat terdampar di dasar klasemen. Beruntung di pertandingan-pertandingan jelang akhir musim Leicester bisa kembali ke jalurnya dan ketajaman dari Leonardo Ulloa juga kembali. Ia mencetak satu gol melawan Swansea, dua gol melawan Newcastle United, dan satu gol turut ia sumbangkan kala Leicester membantai Queens Park Rangers 5-1. Rentetan hasil positif yang berhasil diraih itu akhrinya mampu mengangkat Leicester ke peringkat ke-14 klasemen dan bertahan di Liga Primer Inggris. Sebanyak 11 gol dibukukan Ulloa dari 29 penampilannya.
Menjadi Pelapis dan Penentu
Tantangan terjadi di musim keduanya berseragam Leicester, yaitu musim ini. Claudio Ranieri datang, bersama Shinji Okazaki sang striker timnas Jepang. Ulloa mulai lebih sering menghangatkan bangku cadangan ketimbang mengisi starting line up. Ranieri masih meramu timnya di awal musim, mencoba-coba beberapa pemain yang sekiranya pas dengan strateginya dan akhirnya mendapatkan formasi 4-4-2 klasik dengan Kasper Smeichel sebagai penjaga gawang, Wes Morgan dan Robert Huth mengawal jantung pertahanan, Fuchs dan Simpson berada di sisi pertahanan sambil beberapa kali mencoba menyerang. Lalu Drinkwater bersama Kante bahu membahu membendung dan memulai serangan, serta mobilitas sayap Riyad Mahrez dan Marc Albrighton yang menyuplai bola untuk Shinji Okazaki dan Jamie Vardy.
Di tengah bersinarnya nama-nama tersebut dan duet Okazaki dan Vardy yang terbukti bisa kompak dan tajam. Nama Leonardo Ulloa seakan tenggelam dan tidak mendapat perhatian. Tercatat hingga laga melawan West Ham kemarin, ia baru menjadi starter sebanyak lima kali. Tetapi lewat bangku cadangan ia terbukti tetap bisa memberikan kontribusinya, bukan hanya saat melawan West Ham ia menjadi penentu. Sebelumnya, ketika Okazaki dan Vardy buntu menghadapi ketatnya pertahanan Norwich City yang dikomandoi John Ruddy, ditambah tekanan Leicester baru saja menelan kekalahan melawan Arsenal yang otomatis dibutuhkan kemenangan untuk dapat mempertahankan posisi puncak dan memperbesar kans juara, Ulloa hadir dari bangku cadangan dan berhasil memecah kebuntuan pada menit ke-89 lewat sambarannya dari umpan silang rendah Marc Albrighton.
Akhir pekan lalu, setelah revolusi Vardy tak ada lagi, Ulloa kembali menjadi salah satu penentu kemenangan besar Leicester atas Swansea empat gol tanpa balas. Ulloa menyumbang dua gol, satu dari tandukan yang berasal dari umpan tendangan bebas Drinkwater, dan satu lagi memanfaatkan umpan Jeffrey Schlupp yang menghasilkan kemelut dan dengan mudah ia tinggal mendorong bola ke dalam gawang.
Bagaimana Selanjutnya?
Masih ada tiga laga tersisa yang cukup berat yang akan dijalani Leicester di antaranya menghadapi Manchester United, Everton, dan Chelsea. Hanya butuh tiga poin tersisa hingga Leicester bisa juara dan Leonardo Ulloa bisa kembali merasakan gelar juara seperti saat di San Lorenzo serta menghentikan rentetan kegagalannya di Almeria dan Brighton Hove and Albion.
Ya, mungkin saja bukan Ulloa juga yang akan menjadi penentu. Kemampuan olah bolanya tidak seyahud Riyad Mahrez, mobilitasnya tidak segesit N’golo Kante, ketangguhan dan ketajamannya pun tidak sebagus Jamie Vardy, tetapi itulah yang membuatnya berbeda. Ia berhasil menjadi dirinya sendiri, yaitu menjadi pembeda, seorang pemecah kebuntuan ketika Mahrez, Kante, Drinkwater, Albrighton, Okazaki, dan Vardy sudah terbaca. Ulloa yang terus melanjutkan cerita.
Meski nantinya Ulloa yang menjadi penentu gelar juara dan menutup semuanya dengan bahagia, saya tetap berpikiran sedih dan menyayangkan bahwa sepertinya ia tidak memiliki peluang besar menyamai rekan-rekannya seperti Vardy, Kante, atau Drinkwater, yang bisa mendapat tempat di tim nasional. Menjadi pelapis, tetapi juga penentu di beberapa laga di tim yang beberapa langkah lagi akan menjadi juara liga, tampaknya bukan kriteria yang dicari pelatih tim nasional.
Adapun rasanya Ulloa juga tidak akan berharap banyak tentang hal itu, mungkin ia rasa bermain untuk tim nasional bukan perkara penting. Bukan karena tidak mencintai negara dan tidak memiliki jiwa nasionalisme sama sekali. Leonardo Ulloa, dia orang yang menolak ditawari kewarganegaraan Chile, yang merupakan tempat kelahiran kakeknya, pada akhir 2014 lalu. Padahal kalau saja ia terima, mungkin ia termasuk dalam bagian tim yang menjadi juara Copa America 2015 itu.
Mungkin karena cerita bersama klubnya saja sudah membuatnya cukup bahagia dan oh iya, tentu saja para supporternya yang terus bersorak:
“Who’s that man from Argentina? Leonardo Ulloa!”
*Penulis adalah mahasiswa, tinggal di Bogor, berakun twitter @ervirdirahmat
ed: fva
Komentar