Oleh: Adhi Indra Prasetya*
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sudah tiga kali Bayern München bertemu rival kuatnya selama setengah dekade terakhir, Borussia Dortmund, dalam final suatu kejuaraan, yakni dua kali di DFB Pokal (Piala Jerman) pada 2014 dan 2016, dan sekali di Liga Champions Eropa pada 2013. Dari tiga pertemuan tersebut, hasilnya selalu sama: Die Roten menang, sementara sang rival harus menanggung kekalahan. Yang terbaru, Bayern menang di final DFB Pokal 2016 lewat adu penalti dengan skor 4-3.
Memang, dalam aspek olahraga, seperti kekuatan fisik, teknik, dan terutama mental tim, saya menganggap bahwa Bayern memang unggul atas Dortmund. Jangan tanya soal kekuatan finansial. Rivalitas dan gengsilah yang membuat pertemuan mereka terasa sengit. Dalam kompetisi Bundesliga sendiri, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Dortmund (karena dalam tiga final itu saya mendukung mereka ketimbang Bayern), skuat (bekas) pimpinan Jürgen Klopp ini menurut saya memang hanya "numpang lewat" untuk urusan menyaingi Bayern, seperti halnya Wolfsburg (2009), Stuttgart (2007), Bremen (2004), dan Kaiserslautern (1998) dalam dua dekade terakhir. Empat tim tersebut memang kuat pada saat itu, seperti Dortmund pada 2002, 2011, dan 2012. Namun kekuatan itu baru sekadar mengganggu hegemoni Bayern, belum benar-benar meruntuhkannya. Begitu juga di tangan Thomas Tuchel, Dortmund juga belum mampu "mengganggu" dominasi Die Roten.
Fakta yang saya sebut di paragraf kedua semua orang sudah tahu. Opini saya, silakan diperdebatkan, semua orang punya pendapat yang bisa diterima.
Anda bisa mengabaikan paragraf kedua dan ketiga. Baca kembali paragraf pertama, kemudian loncat ke sini. Persoalan yang ingin saya bahas mungkin biasa saja buat para ahli sepakbola, namun membuat saya penasaran. Pertanyaan saya adalah, mengapa setiap kali Bayern dan Dortmund bertemu di final sebuah kompetisi, peristiwa ini selalu didahului dengan berita kepindahan seorang bintang Dortmund ke Bayern? Selama tiga partai final, tiga kali pula berita ini beredar, dan tiga kali pula partai final tersebut berakhir buruk untuk Dortmund. Berita kepindahan itu bukan rumor belaka, tapi benar-benar terjadi. Sudah tidak perlu disebut lagi siapa ketiga pemain yang terlibat di dalamnya. Kita sudah sama-sama tahu dan nanti pun akan dibahas.
Hal yang lebih miris, ketiga pemain itu tidak bisa memberikan sumbangsih maksimal di pertandingan yang seharusnya menjadi kesempatan terakhir mereka untuk mempersembahkan trofi. Mereka tak bisa memberikan perpisahan manis dan juga kesan yang baik untuk para suporter, sehingga menimbulkan pandangan bahwa "hati" mereka sudah tertaut pada Bayern.
Mari kita urut berdasarkan kontribusi menit bermain mereka di partai terakhir Dortmund di musim terakhir mereka bersama Dortmund. Robert Lewandowski, meski menjadi pencetak gol terbanyak Bundesliga musim 2013/2014, tak sekalipun mencatatkan peluang emas meski bermain 120 menit di final DFB Pokal 2014, musim terakhirnya bersama Die Borussen saat Dortmund kalah 0-2.
Setelah itu, ada nama Matt Hummels. Meski statistik pertandingannya cukup baik (3 tekel sukses, 5 intercept, empat clearences dan sekali menang duel udara) di partai final DFB Pokal 2016, ia harus diganti pada menit ke-78 karena cedera dan tidak bisa berkontribusi dalam adu penalti. Mario Götze? Lebih parah. Ia tidak bermain di final Liga Champions 2013 karena cedera pada leg kedua semifinal melawan Real Madrid dan hanya bisa menonton di tribun stadion Wembley saat "calon" rekannya, Arjen Robben menjadi pahlawan kemenangan Bayern.
Terlihat seperti "cocoklogi" memang. Atau bisa disebut juga kebetulan. Ada juga yang "menuduh" bahwa ini adalah strategi non-teknis Bayern dalam menghadapi partai final untuk mengganggu konsentrasi Dortmund. Bukan rahasia lagi bahwa Bayern gemar mencomot pemain-pemain bintang para pesaing mereka di Bundesliga. Selama 3-4 tahun terakhir ini pemain-pemain bintang Dortmund-lah yang seringkali dibicarakan menjadi incaran mereka. Meski untuk kasus Matt Hummels sedikit mengejutkan, karena beberapa tahun belakangan bukan ia yang rutin dibicarakan media akan dibajak oleh Bayern, melainkan Marco Reus.
Tapi jika kita meneliti lebih dalam, sejatinya Robert Lewandowski sudah sejak November 2013 menyetujui perpindahannya ke Bayern pada akhir musim dan kontraknya diresmikan pada Januari 2014, jauh sebelum kepastian Dortmund bertemu Bayern di final DFB Pokal. Mario Götze sudah menyetujui kepindahan ke Bayern sebelum leg pertama semifinal Liga Champions melawan Madrid dipertandingkan, dan pada saat itu Bayern juga belum dipastikan melaju ke final (lawan mereka Barcelona saat itu, yang lebih diunggulkan banyak orang). Hanya Matt Hummels yang beritanya beredar saat dua tim tersebut sudah dipastikan bertemu di final DFB Pokal, meski tersiar kabar bahwa Hummels sudah lama berpikir tentang meninggalkan Dortmund.
Kita semua tahu bahwa butuh kesabaran ekstra untuk berprestasi di sebuah klub yang notabene sulit menjadi unggulan urutan teratas dalam sebuah kompetisi (apakah pernah rumah taruhan memasang Dortmund di urutan teratas untuk menjuarai Bundesliga, Liga Champions, atau DFB Pokal di awal musim?). Usia karier pesepakbola yang pendek membuat mereka kadang tidak sabaran untuk meraih prestasi, sehingga opsi pindah terlihat sebagai jalan terbaik bagi mereka. Saya yakin, pasti tersirat di pikiran ketiga pemain ini bahwa memenangi Liga Champions bersama Bayern lebih besar kemungkinannya dibandingkan bersama Dortmund (gelar apa sih yang membuat pemain bintang pindah ke tim yang lebih besar kalau bukan ini?). Apalagi mereka bertiga sama-sama merasakan kekalahan di final 2013, musim terakhir mereka bermain bersama.
Hanya saja, tidak satupun kepindahan mereka ini disertai dengan raihan trofi di penghujung musim. Hanya medali peraklah yang mereka berikan sebagai persembahan terakhir untuk Dortmund. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar Dortmund terganggu konsentrasinya saat pemain mereka pindah ke tim rival yang merupakan calon lawan mereka di final? Apakah kedua pemain (Götze tidak dihitung karena tidak main di final) tersebut yang jadi tidak maksimal penampilannya karena harus melawan calon tim? Atau jangan-jangan Götze sengaja cedera karena sudah tahu Bayern kemungkinan besar masuk final (leg pertama semifinal Bayern menggasak Barcelona 4-0, skor yang sulit untuk dikejar Barcelona sekalipun)?
Menurut saya, jawabannya ada di awal paragraf kedua. Bayern memang lebih baik dari segi teknis dan mental, dan itulah yang ditunjukkan mereka selama melawan Dortmund di tiga partai final. Statistik juga berbicara. Saya tidak percaya bahwa mereka yang akan pindah tidak mengejar kemenangan lagi, atau bermain setengah hati. Apalagi menang berarti meraih gelar dan memberi kegembiraan serta meninggalkan warisan yang akan diingat oleh fans.
Mungkin perpindahan mereka bertiga terjadi di waktu yang kurang tepat bagi Dortmund, sehingga membuat skuat terus diganggu oleh media yang mencampuradukkan masalah non-teknis dengan teknis. Atau mungkin memang Bayern sengaja mengumumkannya agar Dortmund merasa terganggu. Namun sekali lagi, bukan itulah akar kekalahan Dortmund dari Bayern di tiga final tersebut. Ini memang semata Dortmund belum lebih baik dari Bayern, dan sepertinya masih begitu untuk beberapa musim ke depan.
*Penulis merupakan seorang lulusan oseanografi ITB. Membenci artikel gosip sepakbola, namun tetap saja dibaca.
ed: fva
Komentar