Paradoks dan ironi selalu punya tempat di negeri ini. Saat praktisi sepakbola mencoba meyakinkan publik bahwa peran negara dalam penyelenggaraan sepakbola harus diminimalisir sekaligus mendorong civil society untuk lebih berperan, namun para pelaku sepakbola sendiri yang justru melakukan tindakan yang memberikan alasan bagi negara untuk kembali masuk ke dalam urusan sepakbola.
Oleh: Eko Noer Kristiyanto*
Kerusuhan yang terjadi di Gelora Bung Karno pada laga Persija Jakarta melawan Sriwijaya FC membuat negara memiliki alasan yang sangat kuat dan sulit dibantah untuk melakukan banyak hal. Semua langkah yang akan diambil pemerintah dalam beberapa waktu ke depan bisa dianggap benar karena berkaitan dengan yurisdiksi dan kewenangannya -- bahkan keputusan menghentikan (lagi) kompetisi sepakbola di negeri ini sekali pun.
Insiden di GBK membuat negara memang harus menampakkan wajahnya. Insiden kerusuhan itu mutlak menjadi urusan negara karena sudah menyangkut gangguan keamanan dan ketertiban umum. Jika negara tak hadir, maka negara bisa dianggap gagal dan abai.
Walau kerusuhan sepakbola bukan pertama kali terjadi di Indonesia, namun apa yang terjadi di GBK pekan lalu bisa dibilang jarang terjadi di kota lain. Jakmania justru tak berkonflik dengan kelompok suporter lawan, namun mereka menabuh genderang perang kepada aparat kepolisian.
(Catatan editor: kerusuhan antara suporter dan kepolisian pernah juga terjadi di kota lain, misalnya di Bandung. Dalam laga Persib vs Arema di Stadion Siliwangi pada 23 Januari 2011, terjadi kerusuhan dengan sejumlah bobotoh juga terindikasi bersikap agresif kepada aparat keamanan. Dampak lanjutan dari insiden di Siliwangi itu adalah dirusaknya toko merchandise yang dikelola oleh Viking, firm bobotoh terbesar).
Dalam kebanyakan kerusuhan sepakbola, polisi selalu menjadi peredam yang ampuh dan ditakuti, bukan menjadi target. Jika ada korban aparat, biasanya tak terlalu parah. Namun di GBK korban dari polisi justru paling memprihatinkan, beberapa anggota terluka serius bahkan ada yang kritis.
Alasan pembenar bahwa mereka hanya bereaksi atas perlakuan berlebihan aparat kepada rekan-rekannya hingga meninggal dunia justru membuat posisi mereka menjadi jelas: adanya motif untuk berkonfrontasi dengan polisi. Disadari atau tidak, “kemenangan” sesaat di dalam stadion itu dengan cepat berbalik arah. Negara yang didukung SDM terlatih, persenjataan, strategi, jaringan, dll., tentunya sangat mudah mengejar dan menemukan mereka.
Ini juga menjadi pelajaran bagi yang lain. Sekuat dan sematang apapun persiapan sekelompok suporter untuk berulah, tetap tak akan mampu menikmati euforia itu dalam waktu yang lama.
Hal yang lebih gawat adalah persepsi otoritas di negeri ini terhadap penyelenggaraan sepakbola. Pasca sanksi dicabut nyatanya bukan hal-hal esensial seperti pembinaan dan kualitas kompetisi yang mengalami percepatan namun malah menyeruak masalah laten seperti kerusuhan kemarin. Dalam hal ini maka negara dapat memainkan kartu AS yang tak dapat dilawan oleh siapapun, termasuk FIFA, yaitu kewenangan terkait perizinan.
Tidak pernah ada sepakbola tanpa izin negara, karena walau sepakbola profesional dikendalikan dan terintegrasi pada sistem FIFA, namun seluruh lapangan sepakbola dan infrastrukturnya berada dalam teritori dan kedaulatan negara.
Persija dapat dipastikan sulit untuk bermain di GBK dengan dukungan penonton dalam jangka waktu tertentu. Pihak kepolisian akan berpikir berkali-kali untuk memberikan izin. Sedangkan Kementerian Pemuda Olahraga yang beberapa waktu lalu seakan menjadi “pecundang” saat dikalahkan PSSI di tiga tingkat peradilan kini dapat menunjukkan kembali otoritasnya terkait penyelenggaraan olahraga profesional. Terlebih kali ini situasinya memang memberikan argumen yang sungguh nyata dan menjadi isu nasional, berbeda dengan isu tahun lalu seperti tudingan pengaturan skor, prestasi yang mandek, dsb., yang masih dapat diperdebatkan dan harus dibuktikan lebih lanjut.
Perlu dicermati pula jika pada tahun lalu hanya otoritas negara terkait olahraga yang berkepentingan “menyentuh” sepakbola Indonesia seperti Kemenpora dan BOPI, maka kali ini sekutunya bisa bertambah dengan institusi terkait keamanan dan penegakkan hukum di Republik ini. Maka lengkap sudah bahwa yang bisa terkena imbasnya bukan hanya Persija Jakarta saja, boleh jadi sepakbola Indonesia secara keseluruhan dapat terkena getahnya.
Sepakbola Pelampiasan
Sepakbola bagi banyak orang adalah pelarian dari pahit dan sulitnya kenyataan hidup. Ini sebenarnya berlaku di setiap kota. Walau ada yang berangkat ke stadion karena benar-benar ingin menonton pertandingan, namun tetap saja mereka membawa emosi yang siap “diledakkan” saat ada momentum, baik momen merayakan kemenangan ataupun melampiaskan kekecewaan karena kekalahan.
Berbagai segmen yang saling beririsan mengisi barisan suporter sepakbola yang beriring menuju stadion. Dari mulai elit seperti pejabat, politisi, pengusaha hingga segmen kelompok marjinal yang jamak diisi saudara-saudara kita yang “kalah” dalam kehidupan. Tentu saja ekspresi dalam meluapkan emosi pun berbeda.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa segmen suporter yang menjadikan sepakbola sebagai pelampiasan masalah hidup menjadi segmen suporter yang paling tak ada beban dan tak berpikir panjang untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif. Bisa jadi karena memang ada kenikmatan tersendiri ketika mereka yang sehari-hari selalu berada di bawah tekanan dan tak kuasa menunjukkan eksistensi dan emosinya, melalui sepakbola mereka dapat berlaku arogan dan berkata “ieu aing!”, “ini gua!” dsb. Mereka menikmati ketakutan orang-orang yang tak berdaya melihat ulah mereka, karena sehari-hari biasanya mereka yang justru tak berdaya.
Terlebih ketika “orang-orang yang kalah” dalam pertarungan bertahan hidup sehari-hari itu ada dalam kondisi bergerombol dalam jumlah banyak. Seperti teori kerumunan, maka (seolah) tak ada lagi nilai dan norma yang mengikat kerumunan ini.
Dan sekali lagi saya ingatkan bahwa segmen suporter ini ada di setiap kota, yang membedakan hanyalah kadarnya. Jakarta sebagai kota metropolitan, masyarakat yang sangat heterogen, semuanya bersaing untuk menjadi pemenang dalam kehidupan. Tensi di Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan kota-kota lain. Saling sikut, tiada permisi, kesantunan bahkan nurani seringkali diabaikan guna mendapat peluang dan berburu kesempatan. Menjadi suporter atau tidak, begitulah situasi di Jakarta.
Jika di kota lain pengikatnya adalah kesamaan etnis, maka Jakmania tak bisa sekadar menjual”ke-Betawi-an” untuk mengikat solidaritas. Mereka perlu upaya lebih keras agar solid. Sebagai kelompok suporter yang baru dibentuk pada 1997 dan tak memiliki ikatan sosial yang berwatak primordial, maka ketika kelompok suporter ini seketika menjadi basis massa yang besar dan seringkali mampu merepotkan aparat, bolehlah kita menganggap ada upaya luar biasa dan keseriusan pengurus Jakmania untuk membesarkan organisasinya.
Bukan kali pertama Jakmania berurusan dengan polisi. Bahkan dapat dikatakan setiap kali Persija main, ada saja suporternya yang ditangkap polisi bahkan untuk kasus-kasus yang sebenarnya tidak nyambung dengan pertandingan. Kesamaan dan kesinisan mereka dalam melihat “kelompok pemenang” bisa jadi dipertegas dengan pemahaman A.C.A.B. yang sohor itu, karena polisi memang identik sebagai penyokong dan beking bagi kalangan “atas” di negeri ini.
Pendekatan Hukum
Meninjau fakta dan kondisi yang cukup kompleks, maka solusi yang paling rasional adalah pendekatan hukum. Tak perlu lagi menganggap ini adalah gejala sosial yang harus dimaklumi ataupun dianggap khas karena melibatkan suporter sepakbola dsb. Hukum hanya melihat bahwa apa yang terjadi di GBK pekan lalu adalah akumulasi dari berbagai pelanggaran dan kejahatan. Semua yang dilakukan sudah diatur deliknya hingga ancaman hukumannya dalam peraturan perundang-undangan di negeri ini.
Membawa senjata tajam, pencurian, pemerasan, penganiayaan, perusakan barang semua sudah diatur jelas dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Terlebih korban adalah aparat, maka pertimbangan unsur melawan petugas dapat dipertimbangkan. Proses secara konvensional hingga adanya tuntutan jaksa hingga putusan hakim, jangan sampai kasus menguap saat tak lagi menjadi sorotan publik. Kenyataan bahwa pelakunya ada juga anak di bawah umur jangan membuat tuntutan melonggar, tetap tuntut secara maksimal, samakan ancaman pidananya dengan orang dewasa, biarlah sistem peradilan anak yang nanti memberi keringanan-keringanan sesuai hukum acaranya.
Ini adalah momentum untuk menunjukkan bahwa negara tak pernah abai dengan segala rongrongan premanisme, termasuk yang dilakukan suporter sepakbola. Kali ini tak ada lex specialis. Karena bukan lagi lex specialis, maka negara tak perlu mempertimbangkan sanksi yang sudah dijatuhkan oleh pihak Komisi Disiplin karena konteksnya berbeda. Ini adalah kriminal murni yang harus dijawab oleh hukum positif Republik Indonesia.
*Pegiat hukum olahraga, berakun twitter @ekomaung
Komentar