Oleh : Eko Noer Kristiyanto*
Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan kasasi PSSI sekaligus menganulir putusan Komisi Informasi Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sebelumnya menyatakan keuangan PSSI termasuk dalam kategori informasi publik yang harus dibuka kepada masyarakat.
Perlu diingat bahwa utama MA mengabulkan permohonan PSSI adalah alasan yang lebih bersifat formil/prosedural/administratif daripada materiil/substantif. Alasan MA adalah terkait keterlambatan pihak yang menggugat PSSI saat melakukan gugatan, dasarnya adalah pasal 13 jo pasal 36 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013.
Beberapa waktu lalu saat SK pembekuan terhadap PSSI masih belum dicabut, pihak Kemenpora mengajukan 9 (sembilan) syarat kepada PSSI jika ingin pembekuan federasi sepakbola tanah air itu segera berakhir. Di antara sembilan syarat tersebut ada satu syarat yang sebenarnya sudah tidak dapat ditawar dan ditafsirkan lain oleh PSSI yaitu keharusan PSSI untuk menjamin adanya keterbukaan informasi publik.
PSSI sebagai badan publik
Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 199/VI/KIP-PS-A/2014 telah menyatakan PSSI adalah badan publik non-pemerintah yang wajib membuka informasi publik. Upaya hukum yang dilakukan PSSI dengan melakukan gugatan terkait putusan tersebut pun telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga putusan Komisi Informasi Pusat dikuatkan oleh pengadilan umum.
Tanpa adanya 2 (dua) putusan tersebut pun status PSSI sebagai badan publik non pemerintah sebenarnya dapat dijelaskan menurut ketentuan kategori badan publik yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 1 angka 3 UU KIP menyatakan bahwa adalah termasuk badan publik suatu organisasi non-pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri. Dalam konteks ini PSSI telah memenuhi 2 (dua) unsur karena PSSI telah terbukti menerima dana APBN dan juga sumbangan luar negeri-dalam hal ini bantuan dana dari FIFA (Federation of International Football Association). Dalam beberapa keterangan pihak PSSI seringkali mengatakan bahwa dana APBN yang mereka terima hanya sedikit dan tidak seberapa. Namun tentu alasan tersebut tidak meniadakan unsur “sebagian dana bersumber dari APBN” sedangkan bantuan dari FIFA adalah hal rutin yang memang diterima oleh seluruh anggota FIFA setiap tahun, termasuk PSSI.
Spirit Transparansi
Lord Acton seorang negarawan Inggris, pernah mengatakan: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan disalahgunakan.
Tampaknya tesis itu masih relevan dalam berbagai aspek termasuk organisasi olahraga. Salah satu bentuk absolut dari suatu kekuasaan adalah upaya tidak transparan, termasuk bersikap tertutup terkait informasi. Padahal jika PSSI punya iktikad baik dan merasa bersih, maka sengketa terkait informasi publik adalah momentum untuk membuktikan bahwa opini yang menyebut bahwa PSSI adalah rezim korup, diisi mafia dan bandit adalah opini yang keliru.
Terlebih berkaca dari terbongkarnya skandal korupsi FIFA yang membuat federasi sepak bola internasional itu berkomitmen untuk melakukan langkah reformasi dan lebih transparan termasuk masalah uang. Tentu saja langkah baik FIFA itu sudah sepatutnya diikuti oleh federasi regional hingga federasi sepak bola nasional setiap negara, termasuk PSSI. Hal-hal baik yang sudah dilakukan PSSI bisa jadi akan tak terlihat jika skeptisisme masyarakat tetap berlangsung seperti saat ini. Mereka yang skeptis akan bertanya-tanya, “Jika bersih mengapa harus risih?”.
Sebenarnya PSSI tak perlu kebakaran jenggot dan bertahan sedemikian rupa ketika ada masyarakat yang ingin mengetahui informasi-informasi yang bersifat publik termasuk anggaran. Selain memang dijamin oleh undang-undang, toh sebenarnya tidak semua hal terkait penyelenggaraan sepak bola di negeri ini dapat diakses oleh semua orang/publik. PSSI dapat memilih dan mengelompokkan jenis informasi yang dikecualikan -- tentunya setelah melewati uji konsekuensi dan prosedur sesuai aturan. Ataupun terkait penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional di Indonesia. P.T. Liga Indonesia dapat berdalih bahwa mereka mengacu kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai lex specialis, sehingga tanggung jawab dan keterbukaan informasinya terbatas kepada para pemegang saham saja.
Tujuan Hukum
Seringkali kita memperhadapkan antara kepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan hukum yang harus dicapai. Padahal ada tujuan hukum ketiga yaitu kemanfaatan. Ada tiga nilai dasar yang ingin dikejar yakni kepastian hukum (nilai yuridis), keadilan (nilai filosofis) dan kemanfaatan (nilai sosiologis). Yang terlihat selama ini, penegakan hukum di Indonesia hanya menerapkan nilai kepastian hukum saja yang mengutamakan form-nya, yaitu perundang-undangan yang secara eksplisit terdiri atas norma-norma baku.
Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara mereka terdapat suatu hubungan ketegangan satu sama lain manakala diterapkan secara bersamaan. Dalam hal putusan MA yang memenangkan PSSI, yang menonjol adalah kepastian hukum, sehingga nilai keadilan dan kemanfaatan yang merupakan substansinya malah tergeser. Para aparat penegak hukum seyogyanya lebih memahami dan mampu memberikan interpretasi dari kondisi-kondisi di luar peraturan yang serba legalistik, formal dan prosedural. Kondisi tersebut lebih menekankan pada aspek sosiologis, law in action, sehingga pemahaman kita tentang hukum berubah menjadi law is behavior. Cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum dalam banyak hal tak lagi dapat menjawab dinamika kehidupan. Hakim seharusnya mampu menangkap keadilan dalam masyarakat yang selanjutnya disebut dengan keadilan substantif, sehingga tidak terjebak oleh faktor-faktor di atas.
Kasus-kasus hukum yang terjadi sekarang, terutama kasus yang menimpa para pelaku yang tidak memiliki “power”, itu dilakukan secara legalistik-prosedural, sedangkan kasus yang makro dan berdampak buruk kepada masyarakat seakan menguap. Sehingga keadilan yang didapatkan hanyalah sebatas keadilan prosedural, bukan keadilan yang berorientasi kepada masyarakat, yaitu keadilan substansial.
Perburuan keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusian keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke-18. Oleh sebab itu, pekerjaan “mengadili” tidak lagi hanya bersifat mengadili secara prosedural, melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari nilai-nilai etika, religi, politik dan sosiologi, terutama ranah sosiologis. Namun, penegakan hukum (law enforcement) sekarang hanya tercapai keadilan yang formal, belum menyentuh sampai ke akar masyarakat yang dinamakan keadilan substansial atau the rule of social justice. Para pelaksana hukum masih menggunakan “kacamata kuda” yang berpandangan dari satu arah/sisi saja, yaitu hukum normatif di dalam perundang-undangan.
Jelaslah bahwa kondisi sekarang adalah era keterbukaan, dan masyarakat memang menghendaki transparansi di segala aspek publik, termasuk organisasi olahraga yang mengurusi olahraga paling populer dan terkait dengan hajat hidup orang banyak di republik ini. Hakim perlu melihat kenyataan ini dan dengan kewenangannya pula maka hakim sebagai “wakil Tuhan” dapat mengambil putusan-putusan yang strategis dan bermanfaat, karena hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya. Untuk melakukan terobosan dan penemuan hukum sebenarnya hakim diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kemenangan Semu
Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi hukum dan mengakui NKRI sebagai negara hukum tentu kita harus berbesar hati menerima putusan MA. Namun kritik yang logis harus tetap disuarakan sebagai bentuk rasa cinta kepada negeri karena berhentilah suatu peradaban jika seluruh elemen bangsa selalu berpuas diri dan berhenti berpikir kritis.
Kritik yang paling utama tentulah bahwa kemenangan PSSI terkait putusan MA tak membuat mereka secara mutlak berhak tertawa lebar dan merasa kebal dari UU Keterbukaan Informasi Publik. Seperti yang sudah saya singgung di atas, kemenangan PSSI dalam kasasi lebih karena hanya diuntungkan oleh faktor keterlambatan para penggugat dalam melakukan gugatan. Andai saja tak terlambat bisa jadi hasil akhir akan lain. Kemenangan PSSI, dengan demikian, lebih disebabkan faktor administratif, bukan substantif.
Jangan lupakan pula, bahwa gugatan-gugatan terkait keterbukaan informasi publik yang ditujukan kepada PSSI masih bisa dilakukan lagi oleh pihak lain selama masih dalam koridor yang peraturan perundang-undangan. Dan harus diingat juga bahwa alasan PSSI terkait keterlambatan pihak penggugat dalam melakukan gugatan sudah menjadi pertimbangan dan dijawab oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun MA berpendapat sebaliknya (terkait masalah mediasi).
Maka sebenarnya perjuangan menuju federasi sepak bola nasional yang transparan belumlah usai. PSSI tidaklah memenangi sengketa ini secara formil-materiil, kemenangan mereka belum meyakinkan dan layak diuji kembali.
*Peneliti Hukum Olahraga, berakun twitter @ekomaung
foto: pssi.org
Komentar