Oleh: Ajie Rahmansyah*
Bulan Juli adalah bulan yang penuh sejarah bagi persepakbolaan Indonesia. Di bulan ini, pada 2004 Indonesia mengukir sejarah dengan meraih kemenangan pertama di Piala Asia. Tiga tahun berselang, kesebelasan garuda mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah Piala Asia. Indonesia bahkan saat itu mendapatkan kehormatan untuk menggelar partai final di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).
Berbicara tentang Gelora Bung Karno, pada 21 Juli kemarin menjadi hari yang bersejarah bagi stadion ini. Stadion yang sebelumnya bernama Stadion Senayan ini merayakan hari jadinya yang ke-54. Sehari setelah diresmikan oleh Presiden Sukarno, SUGBK kemudian menggelar pertandingan persahabatan yang mempertemukan dua tim kuat era perserikatan saat itu, Persija Jakarta melawan PSM Makassar. Duel yang berlangsung pukul delapan malam itu kemudian melahirkan sosok Frans Jo, striker PSM Makassar, sebagai pencetak gol pertama di SUGBK.
Lahir di Sawahlunto, Frans Jo dikenal fasih dalam berbagai cabang olahraga. Sejak SD, Frans Jo mahir bermain bulu tangkis, basket, voli, hingga tenis meja. Akan tetapi, sepakbola menjadi pilihan Frans Jo. Bahkan setelah lulus dari SMP Frater Makassar, Frans memilih bersekolah di SMA Negeri C yang dikenal sebagai sekolah langganan juara turnamen sepakbola. Sekolah ini juga disebut-sebut sering mencetak pesepakbola handal macam Santja Bachtiar, Makmur, dan Kurnia, yang merupakan teman sebangku Frans.
Setelah lulus, Frans sebenarnya terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin. Sayang, Frans lebih memilih untuk fokus ke sepakbola ketimbang menyelesaikan kuliahnya. Frans kemudian diketahui menyesali keputusannya tersebut.
Karier sepak bola Frans dimulai ketika ia bergabung di kesebelasan Makassar bernama Excelsior di usia yang masih 15 tahun. Namun, dikarenakan adanya senioritas di tim tersebut, Frans memutuskan untuk keluar dan berhenti (sementara) dari sepakbola.
Pada 1956, Frans memutuskan kembali dari pensiun sementaranya dengan bergabung dengan PSM Makassar. Butuh dua tahun bagi seorang Frans untuk bisa menjadi pemain inti di skuat Juku Eja hingga akhirnya pada 18 Januari 1959 Frans mendapatkan kesempatan bermain mengenakan kostum timnas.
Timnas yang saat itu dilatih Antoni Pogacnik beruji coba melawan Bulgaria di Lapangan Ikada. Frans bermain cukup baik dalam laga yang berakhir 1-1 tersebut. Penampilannya di sisi kiri pertahanan sedikit menyulitkan bek kiri Bulgaria saat itu. Nama Frans kemudian dimasukkan kembali ke dalam skuat untuk melawan Jerman Timur pada pekan berikutnya. Selama memperkuat timnas, Frans mempersembahkan gelar Merdeka Games 1961 dan Piala Aga Khan.
Pada 22 Juli 1962, SUGBK menggelar pertandingan pertamanya sehari setelah diresmikan. Pertandingan yang mempertemukan Persija sebagai perwakilan tuan rumah melawan PSM yang saat itu berstatus sebagai juara bertahan Kompetisi Perserikatan sebelumnya. Laga itu sendiri disaksikan lebih dari 80.000 penonton.
Dilansir dari Four Four Two Indonesia, M Basri (mantan pemain sepakbola Indonesia) menuturkan suasana stadion saat itu sangat ramai dan serba baru. Mantan pelatih Persela Lamongan itu menuturkan bahwa para pemain sangat terganggu untuk bermain di malam hari. Sengatan lampu stadion saat itu membuat mereka sangat kesulitan untuk melihat bola di udara.
Baru berjalan empat menit, PSM membuka keunggulan ketika Frans Jo menyundul bola hasil dari sepak pojok Suwardi. Gol tersebut kemudian menjadi sejarah sebagai gol pertama yang lahir di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Persija lalu menyamakan kedudukan melalui Suranto. Idris kemudian membawa PSM kembali unggul sebelum akhirnya disamakan oleh Sutjipto. Solong kemudian membawa PSM unggul 3-2 sebelum Suranto lagi-lagi membuat skor imbang menjadi 3-3 yang kemudian bertahan hingga akhir pertandingan.
Sakit Kuning, Gegar Otak, dan Hattrick lewat Sundulan
Frans yang menghabiskan seluruh karier sepakbolanya di PSM menjadi andalan bersama Ramang, Noorsalam, Suwardi, dan Saelan. Kuartet tersebut berperan dalam keberhasilan PSM meraih empat gelar Perserikatan, dan dua kali runner up. Pada 1967, ketika PSM berada di posisi keempat, pria kelahiran 25 November 1937 ini mengundurkan diri tanpa alasan.
Frans kemudian menceritaka kepada koran Tempo bahwa dirinya sangat kelelahan karena tenaganya selalu digunakan utnuk bermain bola. Diketahui, selama memperkuat PSM, Frans hanya tiga kali absen. Masing-maisng sekali karena faktor kelelahan, masalah makanan, dan gegar otak karena mengalami kecelakaan motor.
Lucunya, setelah keluar dari rumah sakit karena gegar otak, Frans masih mampu untuk mencetak tiga gol dalam turnamen Piala Jusuf (1964). Frans menuturkan bahwa ketiga golnya tersebut hadir lewat sundulan kepala.
Menjadi Pelatih atas Rekomendasi Presiden FIFA
Awal 1970-an Frans mendapat pengalaman untuk mengikuti “2nd FIFA Coaching School for ASIA” selama tiga bulan. Pengalaman berharga ini diperoleh bahkan atas rekomendasi Presiden FIFA saat itu Stanley Rouse. Stanley saat itu melihat banyak sekali pemain berbakat dari Indonesia ketika mengikuti kualifikasi untuk Olimpiade Munich 1972. Stanley merasa pemain-pemain Indonesia saat itu memiliki kualitas yang cukup layak untuk mendapatkan ilmu kepelatihan tersebut.
Selepas dari pelatihan tersebut, Frans sempat dipercaya menangani klub kebanggaanya PSM Makassar. Frans sebelumnya sempat menjadi pelatih sepak bola untuk sebuah perusahaan nikel. Di akhir 1970-an, Frans kemudian memutuskan pindah ke Jakarta untuk menangani kesebelasan Galatama Warna Agung. Warna Agung saat itu dipenuhi pemain bintang macam Ronny Pattinasarani dan Risdianto. Frans juga sempat menjadi manager tim dengan dibantu oleh nama-nama tenar macam Endang Witarsa dan Wempie sebelum akhirnya harus menepi dikarenakan faktor usia dan kesehatan yang menurun. Selepas pensiun, Frans lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdinas di pabrik perusahaan cat di kawasan Tangerang
Frans Jo yang Keberadaanya Tidak Diketahui
Pada 2012, majalah Four Four Two Indonesia mencoba menghubungi Frans Jo untuk mendapatkan cerita yang lebih detil terkait gol yang diciptakannya setengah abad yang lalu. Akan tetapi, panggilan tersebut selalu mendapatkan penolakan halus dari si penjawab. FFT menuturkan bahwa yang menjawab panggilan tersebut adalah perempuan dengan jawaban “tidak usah”, “bapak tidur”, dan “bapak sakit”, di setiap akhir kalimat.
*
Usia Frans Jo memang sudah tidak muda lagi (78 tahun), Kesehatannya pun juga sudah tidak bugar lagi. Orang-orang mungkin sudah tidak mengenalinya lagi. Namun bangsa ini, terutama pecinta sepak bola Indonesia akan selalu tahu bahwa Frans Jo adalah sosok yang sangat berjasa bagi sepakbola Indonesia dan Makassar. Gol nya ke gawang Persija pada 22 Juli 1962 tersebut akan terus diingat sebagai gol yang sangat bersejarah di stadion yang sarat akan sejarah.
Sumber : BBC, Four Four Two, Sedikit dikutip dari buku Jas Merah dengan beberapa perubahan
*Penulis adalah mahasiswa psikologi sekaligus penggemar Manchester United. Tinggal di Yogyakarta. Berakun twitter @ajielito
Komentar