Oleh: Christianto Octiandi
Musim transfer saat ini ternyata cukup banyak menarik perhatian. Banyak transfer- transfer bernilai wah terjadi di musim panas ini. Lihat saja Paul Pogba yang memecahkan rekor transfer dengan harga 89 juta poundsterling, Gonzalo Higuain yang dihargai hingga 76,5 juta poundsterling, Leroy Sane yang dihargai 42 juta poundsterling, Granit Xhaka yang dihargai 38 juta poundsterling, dan masih banyak lagi.
Ini belum menghitung pemain-pemain yang hijrah ke Chinese Super League seperti Hulk, Alex Teixera, dan lain-lain yang dihargai sangat mahal. Transfermarkt mencatat bahwa Premier League sudah membukukan jumlah transfer sebanyak lebih dari 826,24 juta paun sejauh ini diikuti Serie A dengan nilai 463,41 juta paun dan Bundesliga dengan nilai 380,83 juta paun. Nilainya memang masih lebih kecil dibanding musim lalu namun perlu diketahui bahwa transfer musim panas belum berakhir. Artinya masih ada kemungkinan beberapa transfer akan terjadi.
Klub- klub sepakbola, terutama tim- tim papan atas memang sepertinya senang menggelontorkan uang mereka untuk belanja pemain hingga membuat laporan keuangan mereka jungkir balik. Tentunya hal ini diharapkan dapat memperkuat tim untuk dapat bersaing dengan tim- tim lain. Semakin banyak suatu klub belanja, semakin berat pula tuntutan untuk klub tersebut agar dapat bersaing di papan atas klasemen liga.
Namun, apakah hal tersebut benar- benar tepat? Jelas tidak ada yang salah bila sebuah klub sepakbola mengeluarkan uang banyak untuk transfer pemain sepakbola, namun nyatanya beberapa keputusan ini berakhir dengan mengecewakan walaupun beberapa diantaranya berhasil.
Pertama- tama, kita harus mengetahui dahulu bahwa nilai transfer pemain bukan tolak ukur yang paling tepat untuk mengukur performa suatu klub di liga. Walaupun memang membantu tapi besarnya nilai transfer terlalu samar-samar bila dijadikan ukuran untuk mengukur kemungkinan suatu klub menjuarai liga. Buku sepakbola terkenal Soccernomics bahkan dengan jelas mengatakan bahwa besarnya nilai transfer yang dikeluarkan oleh klub- klub sepakbola ternyata tidak berdampak signifikan pada posisi klub- klub tersebut di liga.
Lalu pertanyaannya, mengapa nilai transfer yang sepertinya jelas-jelas membantu klub- klub sepakbola untuk menggapai posisi yang lebih tinggi ternyata merupakan tolak ukur yang kurang baik? Klub- klub tersebut nyatanya tidak dapat membelanjakan uangnya secara efisien.
Dalam ilmu ekonomi, tentunya kita mengharapkan informasi yang lengkap mengenai harga suatu komoditi di pasar tersebut. Informasi harga komoditi yang lengkap dan beredar luas merupakan salah satu ciri pasar yang ideal. Di pasar jenis ini, harga suatu komoditi sangat jelas ditetapkan oleh pasar dan tentunya akan memunculkan standar harga secara sendirinya.
Namun hal ini tampaknya tidak terjadi di sepakbola. Tidak ada ukuran yang jelas dalam menetapkan harga pemain. Tidak seperti tanaman hias yang dapat dinilai harganya dari jumlah daunnya, interpretasi harga transfer pemain sepakbola bisa jadi sama sekali berbeda. Oleh karena itu, pasar transfer pemain di sepakbola tidak efisien.
Pasar yang tidak efisien ini tentunya menyebabkan bursa transfer seperti ladang perjudian bagi manajemen klub. Ada yang berhasil dan juga ada yang gagal. Tentu kita tahu, beberapa orang menertawakan transfer Anthony Martial dari AS Monaco ke Manchester United yang bernilai 36 juta paun itu. Dalam sekejap ternyata Anthony Martial mampu membuat banyak orang berdecak kagum dan berbalik memujinya dan manajemen Manchester United.
Di sisi lain ada Andy Carroll yang ditransfer dengan nilai 35 juta paun dan Fernando Torres dengan nilai 50 juta paun. Kita sudah tahu bagaimana nasib mereka selanjutnya. Walaupun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa ini hanyalah bagian dari buruknya kebijakan transfer klub terkait namun hal ini sering terjadi.
Transfer dengan nilai kecil ternyata diukur berhasil, dan transfer dengan nilai super besar dianggap gagal.Hal ini merupakan salah satu efek dari inefisiensi pasar transfer klub sepakbola yang muncul dari satu hal yang penting, yaitu kurangnya informasi atau mungkin para pelaku pasar tidak tahu cara mengolah informasi yang ada.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, pada komoditi lain, harga yang ditetapkan dapat dianalisis dengan nilai yang pasti. Contohnya, berjualan tempe. Misalnya bila menjual tempe polos, tempe tersebut dihargai Rp100,00. Lalu bila ditambah plastik akan berharga Rp.120,00. Bila ditambah jasa pengiriman akan berharga Rp170,00. Bila dijadikan gorengan maka harga tersebut akan menjadi Rp500,00. Harga yang dipatok jelas dan semua orang dapat mengukurnya dengan cara mengukur biaya produksinya.
Lalu, bagaimana cara mengukur harga ikan koi? Keindahannya atau besarnya? Bagaimana kalau ternyata ukurannya sama? Bagaimana cara mengukur keindahannya? Apakah bertambahnya satu bintik hitam di tubuh ikan koi maka harga ikan koi akan meningkat Rp50,00? Belum ada ukuran pasti dan penilaian harga menjadi sangat subyektif. Hal ini terjadi juga di sepakbola.
Bagaimana mengukur harga transfer pemain sepakbola? Apakah dengan bertambahnya satu gol akan meningkatkan nilai pemain sebesar 500.000 pounds misal? Ataukah kita menggunakan nilai rating pemain seperti yang ada di whoscored.com? Ternyata dengan data yang tersedia sekalipun, kita tidak dapat menentukan harga pemain secara pasti.
Hal ini berakibat pada kejadian overpriced player, transfer flop, atau bahkan transfer underpriced. Harga transfer pemain sepakbola sangat subyektif dan mungkin saja sebagian besar dipengaruhi kemampuan negosiasi manajemen.
Dengan penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa nilai transfer memang bukan ukuran yang paling tepat untuk mengukur performa klub sepakbola. Soccernomics melakukan analisis terkait hal ini menggunakan 40 klub Inggris dari tahun 1978 hingga 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai transfer pemain tidak berpengaruh banyak pada posisi klub di liga. Posisi klub di liga dipengaruhi banyak faktor, mulai dari nilai transfer, cedera pemain, performa pemain, hingga cuaca.
Nilai transfer hanya dapat menjelaskan 16% dari variasi faktor-faktor yang ada berdasarkan hasil studi Soccernomics. Dengan kata lain, kebijakan jor- joran di bursa transfer tidak berpengaruh banyak pada posisi klub di liga. Lihat saja QPR dan Newcastle.
Lalu ukuran apa yang paling tepat untuk mengukur performa klub di liga? Studi yang dilakukan Soccernomics menyatakan bahwa gaji ternyata ukuran yang lebih tepat untuk menggambarkan posisi klub di liga. Hasil studinya dapat digambarkan pada grafik.
Sumber : https://www.abeautifulnumbersgame.com/2010/04/explaining-regression-through- enhanced.html
Soccernomics melakukan studi pada klub-klub Inggris yang sama dengan mengganti nilai transfer menjadi gaji sebagai variabel yang dianalisis. Hasilnya menyatakan bahwa gaji menjelaskan posisi liga sebesar mendekati 90% dalam kurun waktu 20 tahun. Tentunya hal ini jauh lebih baik dibanding nilai transfer. Memang pada tahun pertama, efek dari gaji pemain terhadap posisi liga klub lebih lemah, namun seiring berjalannya waktu, efeknya menjadi semakin kuat.
Berbeda dengan bursa transfer yang tidak efisien, nilai gaji pemain cenderung lebih efisien. Hal ini karena pemain yang tampil sesuai harapan atau bahkan melebihi harapan klub tentunya akan cenderung mendapat kontrak yang bernilai besar sedangkan nilai transfer dikeluarkan saat pemain tersebut belum tampil di klub terkait. Namun tentu saja sebuah klub tidak bisa merekrut pemain antah berantah dan memberikannya kontrak sebesar nilai kontrak Messi dan klub akan langsung mendapatkan posisi bagus di liga.
Soccernomics menyebutkan nilai kontrak yang besar bukan berarti menyebabkan pemain- pemain tampil bagus, namun klub- klub yang mampu membayar lebih banyak dibanding dengan klub- klub saingannya akan terlihat lebih menarik bagi pemain- pemain bagus dibandingkan klub-klub lainnya.
Terlihat pada grafik di atas, sumbu y menggambarkan posisi rata- rata di liga sedangkan sumbu x menggambarkan rata- rata pengeluaran klub untuk gaji di liga. Perlu diperhatikan ukuran yang dipakai disini adalah rata- rata, bukan nilai absolut, hasil yang didapat pun relatif. Artinya hasil yang didapat hanya mengukur seberapa baik sebuah klub tersebut bermain di liga dibandingkan dengan kompetitor- kompetitornya.
Kalau melihat hasil studi ini, pastinya kita berpikir lagi, fenomena Leicester City kemarin makin terlihat seperti sebuah dongeng. Memang, kejadian Leicester City kemarin bukan kejadian yang biasa. Bahkan penulis beranggapan bahwa kejadian EPL musim kemarin sebagai statistical randomness atau istilahnya “murni hoki” karena kemungkinannya yang sangat kecil.
Tentunya hasil studi yang terkenal seperti ini akan mengundang banyak pro dan kontra. Masih banyak yang beranggapan bahwa nilai transfer tidak bisa diabaikan begitu saja, termasuk penulis. Sejauh ini, Paul Tomkins dapat membuktikan bahwa nilai transfer berkorelasi tinggi (94%) atau dengan kata lain sangat berhubungan dengan nilai gaji yang dibayarkan oleh manajemen.
Artinya nilai transfer yang tinggi akan seiring dengan nilai kontrak yang tinggi juga sehingga seharusnya kita tidak boleh mengabaikan nilai transfer begitu saja. Toh nyatanya nilai transfer berhubungan erat dengan variabel yang paling mampu menjelaskan alasan klub tersebut dapat berperforma baik. Namun tetap saja, model matematika dengan menggunakan variabel gaji menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model matematika yang menggunakan variabel lain.
Tentunya sains akan terus berkembang dan mungkin saja ada temuan- temuan baru yang membantah hal yang dijelaskan disini. Namun sejauh ini, model inilah yang terlihat paling tepat menggambarkan keadaan sepakbola sekarang.
Manajemen mengeluarkan gaji secara efisien dan banyak membuang-buang uang di bursa transfer. Walaupun mungkin banyak yang berargumen, “banyak kok transfer yang berhasil”, tapi nyatanya hasil studi ini menggambarkan secara umum manajemen klub sepakbola tidak berkompeten dalam menghabiskan uangnya. Analisis ekonomi seperti ini menggambarkan perilaku- perilaku pelaku pasar dalam jangka waktu tertentu dan inilah hasilnya.
Oleh karena itu, sepertinya manajemen perlu memperbaiki sistem scouting dan cara mereka menghabiskan uang. Tentunya kita tidak bisa menetapkan harga dan kualitas pemain hanya dari video Youtube atau hanya dengan melihatnya tampil di turnamen besar sekali saja kan?
Penulis adalah mahasiswa yang tinggal di Bogor Selatan. Berakun Twitter @c_octiandi
Komentar