Oleh: Ahmad Rizky Darius Polii
Dalam tiga musim ke belakang, nama Harry Kane adalah jaminan mutu untuk Liga Primer Inggris. Meski tidak selalu menjadi top skor, penyerang kelahiran Walthamstow, 28 Juli 1993 ini selalu bersaing di papan atas dalam daftar pencetak gol terbanyak Liga Primer Inggris. Fakta yang kemudian mengusik adalah, Harry Kane seperti tidak berdaya ketika tampil di level tim nasional.
Jika melihat penyerang-penyerang yang selalu menghiasi timnas Inggris dari tahun ke tahun, sosok Harry Kane ini sepertinya sangat berbeda. Buat saya, gaya bermain Harry Kane sangat tidak Inggris.
Untuk ketajaman, kemampuan penyerang Tottenham Hotspur ini tidak perlu diragukan. Harry adalah sosok penyerang murni yang mampu mengubah bola dengan sentuhannya yang sederhana. Harry juga dilengkapi sepakan keras, dan kemampuan menempatkan posisi layaknya penyerang-penyerang Italia dan Jerman.
Melihat tipe permainan Harry Kane yang seperti itu, menurut saya akan jauh lebih nyetel jika Harry dipadukan dengan pemain-pemain Italia dan Jerman yang lebih mengatur ritme permainan dengan kehadiran seorang playmaker.
Yang harus diingat, gaya permainan Harry saat membela The Lilywhites dan ketika membela The Three Lions terlihat berbeda. Bersama The Lilywhites, Harry Kane adalah raja. Meski dalam kondisi yang tidak sedang fit, atau sedang seret gol, sosoknya acap kali menjadi pilihan utama yang selalu dinantikan gol-golnya.
Dari permainan, secara taktikal manajer Tottenham, Mauricio Pochettino, sering memberikan tandem untuk penyerang yang menjadi idola White Hart Lane ini. Pada musim 2015/2016, nama-nama seperti Heung-min Son dan Nacer Chadli bergantian menemani Kane dalam skema Pochettino. Sedangkan pada musim 2016/2017, dihadirkan nama Vincent Janssen, menggeser Nacer Chadli.
Dalam prakteknya, Heung-min Son, Nacer Chadli, maupun Vincent Janssen bukanlah tandem yang berdiri sama rata. Ketiga pemain ini kerap bermain lebih ke belakang atau melebar, mendampingi Kane sebagai target man. Namun, posisi ini akan langsung berubah jika Kane telat memberikan dukungan di lini depan. Dalam kondisi ini, Nacer Chadli, Vincent Janssen, dan khususnya Heung-min Son, acap kali melakukan tusukan ke dalam kotak penalti.
Dukungan dari Kane juga kerap kali datang dari lini tengah Tottenham. Meski tidak memiliki pemain jangkar kelas satu, permainan Tottenham sedikitnya berbeda dari kebanyakan tim-tim Liga Primer Inggris lain yang masih mengandalkan kecepatan. Berisikan pemain-pemain yang masih cukup muda seperti Dele Alli, Christian Erikssen, Erik Lamela, Eric Dier dan Mousa Dembele, anak-anak London Utara ini termasuk berani berduel di lini tengah.
Liga Primer Inggris musim 2015/2016 cukup membuktikan betapa lini tengah Tottenham cukup mampu diperhitungkan, bersaing dengan tim-tim mapan yang kebetulan juga lengah pada musim tersebut. Ketika dimainkan, Christian Erikssen, Erik Lamela, Eric Dier dan Mousa Dembele memberikan cukup ruang bagi seorang Dele Alli.
Sosok Alli yang memiliki skill yang baik, ditambah dengan semangat juang yang ia miliki (usianya masih cukup muda), membuat kinerja Harry Kane menjadi jauh lebih mudah. Stabilnya lini tengah Spurs ini juga membuat Dele Alli mampu tampil penuh percaya diri.
Namun menariknya, peran Dele Alli di skuat timnas Inggris juga setali tiga uang dengan Harry Kane; melempem. Hal ini semakin membuktikan bahwasanya permainan Tottenham sebenarnya jauh dari kesan Inggris.
Faktanya lagi, dari deretan nama yang menjadi andalan lini tengah Tottenham Hotspur musim lalu, hanya Eric Dier yang berkebangsaan Inggris. Sedangkan Christian Erikssen berasal dari Denmark, Erik Lamela dari Argentina, dan Mousa Dembele dari Belgia. Musim ini, lini tengah The Lilywhites kehadiran nama baru, Mousa Sissoko, yang berkebangsaan Prancis.
Entah mengapa, terlintas dalam benak saya betapa dahsyatnya Harry Kane jika mendapatkan tandem seperti Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, Francesco Totti, atau Roberto Mancini di masa lalu. Secara kebetulan, tipikal para pemain ini nyaris sama, yaitu penyerang yang lebih dahsyat jika posisinya berada di belakang penyerang utama.
Ingatkah tandem Del Piero-Pippo Inzaghi di Juventus, atau Totti-Montella di AS Roma? Atau bagaimana Mancini mampu mengorbitkan nama-nama sekelas Enrico Chiesa?
Dalam skema permainan di Italia, Harry Kane akan diplot menjadi penyerang murni. Dengan gaya yang mengandalkan kehadiran seorang playmaker, Kane akan memiliki ruang dan waktu untuk mengambil posisi yang tepat yang memang ia butuhkan saat tampil di timnas Inggris.
Harry bukanlah Ian Wright, Alan Shearer, Michael Owen, Andy Cole, Wayne Rooney, Marcus Rushford atau bahkan penyerang kenamaan Leicester, Jamie Vardy, yang memiliki kecepatan layaknya penyerang-penyerang khas Inggris. Ini juga yang membuat Vardy terlihat lebih baik ketika di timnas, dibandingkan Kane.
Ia juga tidak dibesarkan di era Paul Gascoigne, pemain yang selalu disebut sebagai playmaker terbaik Inggris, atau David Beckham yang memiliki umpan akurat dan gaya bermainnya juga tidak ‘Inggris-Inggris amat’.
Dengan tantangan dari Vardy, ditambah dengan semakin matangnya Marcus Rashford, posisi Harry di timnas bisa-bisa terancam. Sedikit harapan jelas ada, apalagi kini The Three Lions diasuh oleh Samuel ‘Big Sam’ Allardyce, yang saat menukangi Bolton Wanderers cukup akrab dengan tipe playmaker dengan kehadiran Jayjay Okocha dan Youri Djorkaeff. Seharusnya hal ini bisa membantu Kane.
Hanya saja, melihat materi Inggris dan taktik yang diterapkan Big Sam di laga sebelumnya, The Three Lions masih menerapkan direct ball, sepertinya Harry Kane harus lebih bekerja keras agar mendapatkan tempat di timnas.
Andai saja Harry adalah orang Italia atau Jerman...
penulis adalah seorang wartawan. Biasa berkicau di Twitter dengan akun @Rizky_Raptor
Komentar