Lanjutan dari halaman sebelumnya
Aku bisa mengisi banyak halaman menuliskan pentingnya Camilo dalam hidupku. Untuk saat ini, aku ingat bahwa Camilolah, setelah melalui perdebatan panjang dan canggih, yang berhasil memintakan izin buatku untuk menonton konser pertama kali. (Kami nonton Aparato Raro di Sekolah Don Orione di Cerrillos.) Ia juga orang pertama yang membaca puisiku.
Sejak masih kecil aku menulis puisi, yang, tentu saja, merupakan rahasia memalukan. Puisi-puisi itu jelek, tapi waktu itu kupikir bagus, dan waktu Camilo membacanya ia melakukannya dengan takzim, meski segera menjelaskan bahwa hari-hari ini puisi tidak lagi berima. Itu kabar baru bagiku. Belum pernah kubaca puisi tak berima sebelumnya, dan aku selalu berpikir bahwa puisi adalah sesuatu yang tidak berubah: purba dan kekal. Tapi aku senang mendengar penuturan Camilo, karena ada saat-saat aku setengah mati mencari rima, dan aku tahu tidak bisa terus-menerus menggunakan kombinasi yang mudah.
Aku bertanya kepadanya, kemudian, apa perbedaan puisi dan prosa. Kami berbaring di samping kolam renang — dalam mode fotosintesis, katanya. Ia menatapku dengan ekspresi menggurui dan memberitahuku puisi adalah kebalikan dari cerita. "Prosa itu membosankan. Puisi itu keedanan, puisi itu liar, puisi itu aliran deras emosi ekstrem," katanya, atau begitulah kira-kira. Sulit untuk tidak membayangkan, tidak terbawa aroma kenangan. Ia niscaya menggunakan kata "keedanan", "liar," dan "emosi." "Aliran deras", mungkin tidak. "Ekstrem", kupikir iya.
Pulang ke rumah, diambilnya buku catatanku dan mulai menulis puisinya sendiri. Ia butuh waktu sekitar setengah jam untuk menulis sepuluh atau dua belas teks panjang, lalu membacakannya. Aku tidak mengerti apa-apa; kutanya apakah orang lain akan mengerti puisinya. Mungkin orang-orang tak akan paham, katanya, tapi itu bukan hal penting. Kutanya apakah ia ingin menerbitkan buku. Ia bilang ya, pasti, tapi itu juga bukan hal penting. Kutanya apa yang penting. Dan ia katakan ini, atau ini yang aku pahami: "Yang penting ungkapkan perasaanmu, tidak takut menampakkan diri sebagai pria yang menarik, asyik, dan barangkali sedikit rapuh, menerima sisi feminin dalam diri." Itulah pertama kali aku mendengar ungkapan "sisi feminin".
Lain hari, tidak lama setelah itu, ia bertanya apakah aku menyukai laki-laki atau perempuan. Aku agak ragu, karena ada laki-laki yang kusukai — Camilo sendiri, misalnya — tapi aku cukup yakin aku jauh lebih menyukai cewek. "Aku suka cewek," kataku. "Aku suka banget cewek-cewek. Kupikir mereka seksi."
"Oke," ujarnya, serius sekali, lalu ia bilang jika aku suka cowok juga oke — ini terjadi beberapa kali.
***
Aku ingat Camilo sore itu, berdiri di jembatan melengkung di Providencia, merokok. Aku tahu itu bukan rokok biasa, tapi aku tidak tahu persis apa. "Ini terlalu keras buat bocah kecil," katanya berapologi ketika aku minta join, saat itu aku sudah mulai merokok, sesekali. Ini mesti 1986 atau awal 1987; Aku berusia sepuluh tahun atau sebelas. Aku tahu karena pada usia tersebut aku masih belum hafal jalan sekitar Providencia atau pusat kota Santiago, dan karena hari itu kami pergi membeli True Stories-nya Talking Heads, yang waktu itu masih album baru.
"Kita harus bereskan masalahmu," kata Camilo pagi itu dalam perjalanan kami ke halte bus. Kutanya masalah yang mana, karena kupikir aku punya banyak masalah, bukan hanya satu. "Sifat pemalumu," jawabnya. "Cewek enggak suka cowok pemalu." Dan aku memang pemalu saat itu; yang kumaksud adalah rasa malu sungguhan, tidak seperti sekarang, ketika rasa malu hampir selalu dipakai untuk lelucon. Jika seseorang tidak mengatakan hai, itu karena dia pemalu; jika seorang pria membunuh istrinya, itu karena rasa malu; jika ia mengibuli seluruh kota, jika mencalonkan diri, jika makan Nutella terakhir dari stoples tanpa minta izin kepada siapa pun — malu. Tidak, maksudku sesuatu yang lain: perasaan tidak aman yang menggagap.
"Aku akan membantumu," kata Camilo. "Aku akan memberimu pelajaran, tapi jangan khawatir, kamu tidak perlu melakukan apa pun — pokoknya jangan pergi dari sampingku, apa pun yang kulakukan." Aku mengangguk, merasa sedikit lengar. Selama satu jam perjalanan bus, ia ceritakan beberapa lelucon, kebanyakan yang pernah kudengar, tapi kali ini ia menceritakannya dengan suara sangat lantang, teriak-teriak. Kupikir pelajarannya aku harus tertawa sama keras, tentu sangat sulit bagiku, tapi kucoba. Lalu, saat kami turun dari bus, ia bilang bukan itu pelajarannya.
Kami naik ke jembatan dan berhenti tepat di tengah. Camilo merokok dalam diam, sementara aku menatap air sungai yang keruh dan bergegas, yang lebih tinggi dari biasanya. Aku fokus pada aliran sungai, sampai sangat berkonsentrasi dan aku merasa air itu diam dan kami di atas kapal yang bergerak, meski aku belum pernah naik kapal seumur hidupku. Cukup lama aku seperti itu, lima belas, mungkin dua puluh menit. "Kita sedang di kapal," kataku kepada Camilo. Aku kesulitan menjelaskannya; ia pun tak mengerti, tapi kemudian tiba-tiba ia melihatnya, juga, dan ia berteriak penuh ketakjuban. Kami lanjutkan memelototi arus dan ia mengulang-ulang, "Luar biasa, luar biasa, luar biasa."
Setelah itu, saat kami berjalan menuju Providencia, ia katakan kepadaku dengan tegas, "Aku selalu menyukaimu, aku masih menyukaimu, tapi sekarang aku juga menghormatimu." Sampai di satu simpang, mungkin antara Providencia dan Carlos Antunez, ia menatapku, membuat gerakan cepat dan hampir tidak kentara dengan kepalanya yang berarti sekarang, menjatuhkan dirinya ke tanah, mencengkeram perut, dan mulai tertawa terbahak-bahak boros sekali, terpingkal-pingkal keji sekali. Segerombolan orang segera merubung kami, dan aku sangat tidak ingin berada di situ, tapi aku tahu inilah pelajarannya. Ketika ia akhirnya berhenti tertawa, lima polisi di sana memintainya keterangan. Camilo memberiku anggukan isyarat senang — aku sudah bertahan di sampingnya, ikut tertawa dikit-dikit pula. Kulihat wajah para polisi itu, bengis dan datar, sedang Camilo mencerocoskan penjelasan tentang aku dan sifat maluku, dan yang ia lakukan barusan perlu untuk memberiku pelajaran agar aku, katanya kepada polisi, tumbuh dewasa. Ia telah mengganggu ketertiban umum, dan kami hidup di bawah kediktatoran, tapi Camilo berhasil meredakan kemarahan polisi-polisi itu, dan kami dibiarkan pergi setelah mengucapkan janji aneh agar tidak pernah tertawa di tempat umum lagi.
"Aku benar-benar lagi melayang, nih," kata Camilo kepadaku, atau mungkin pada dirinya sendiri, agak risau. Kami pergi ke sebuah toko untuk membeli album Talking Heads. Tempatnya tampak berbeda dari semua toko kaset yang pernah kukunjungi — tampak mewah dan eksklusif di mataku. Setelah si petugas menyerahkan True Story kepada kami, Camilo mencoba menerjemahkan lirik pembuka "Love for Sale" untukku, meski ia tidak menguasai bahasa Inggris. Kuambil album itu darinya, memeriksa sampul merah-putihnya, lalu kuberi isyarat cepat seperti isyaratnya untukku: sekarang. Ia baru saja punya waktu untuk memahaminya dengan tatapan panik sebelum aku kabur dengan album di tanganku, kami berlari, mengelak dari para pejalan kaki dengan kecepatan penuh, cukup lama, tertawa seperti orang gila.
Sore itu, saat kami tiba di rumah, ada pertandingan bola. Aku lupa pertandingan apa, tapi yang pasti Colo-Colo yang main, dan Camilo ikut menonton bersama kami. Ayah tanya kenapa. "Aku nggak punya bapak," kata Camilo. "Kamu bapak baptisku, jadi kamu harus ajari aku sesuatu tentang sepakbola. Kalau tidak," katanya memperingatkan, sambil mengerling ke arahku, "Aku akan jadi peri."
Camilo jadi rutin menonton pertandingan bersama kami, tapi aku tak tahu apakah ayah senang atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan yang Camilo lontarkan sangat sepele dan sering kali keliru sehingga, tak perlu waktu lama, kami pun bosan.
***
4 Desember 1987, aku berbuat dosa besar. Los Prisioneros baru saja merilis La Cultura de la Basura, album ketiga mereka; sumpah mati aku ingin membelinya, tapi aku tak punya uang sepeserpun. Kupertimbangkan untuk mencuri lagi, tapi aku tak yakin bisa melakukannya — keberhasilan mencuri Talking Heads secara spontan menjadi inspirasi. Lalu aku punya ide yang lebih baik: karena hari itu ada acara amal tahunan, aku minta uang ke orangtuaku untuk membantu anak-anak cacat, dan aku pergi ke toko dan beli kaset.
Itu saat-saat yang mengerikan untukku. Kukurung diri dalam kamar mendengarkan album itu, dan pada mulanya setiap lagu terdengar, dengan satu dan lain cara, seolah-olah tentang tindakan jahatku. Kuputuskan untuk melakukan pengakuan dosa, tapi aku takut reaksi si pendeta. "Pengakuan dosa denganku saja," kata Camilo, setelah kukatakan kepadanya aku merasa berdosa. "Apa gunanya kamu mengocehkan urusanmu di hadapan pendeta? Lagi pula, kuberitahu, ya: coli itu bukan dosa. Bahkan Yesus pun kupikir pernah coli beberapa kali sambil membayangkan Maria Magdalena."
Aku tertawa terbahak-bahak sampai aku merasa pening. Tak pernah sebelumnya aku mendengar bidah macam itu. Di atas meja di ruang tamu ada gambar Yesus, dan sejak saat itu aku tak pernah bisa melihatnya tanpa memikirkan macam apa tampang Yesus setelah ejakulasi. Ngomong-ngomong, aku tak pernah berpikir coli itu dosa. Setelah kuberitahu Camilo dosa apa yang telah kuperbuat, ia bilang kegiatan amal itu sudah berhasil dengan sponsor tunggal, aku lebih membutuhkan kaset itu, dan mungkin yang kulakukan sudah tepat.
"Aku tak paham," kataku.
"Gini," katanya. "Kalau kamu masih merasa bersalah, berdoalah dengan satu amalan di mana kamu harus memukul-mukul dadamu."
***
Bersambung ke halaman selanjutnya
Komentar