Lanjutan dari halaman sebelumnya
Camilo masih bersikeras kami harus mengajarinya tentang sepakbola, dan kadang-kadang kami memang berlatih tendangan penalti di jalan. Tapi ayah dengan cepat akan muntab; ia bilang Camilo tidak berkonsentrasi, minatnya tidak serius. Namun, di satu akhir pekan, kami bertiga pergi ke Stadion Santa Laura, menonton pertandingan dobel. Pertama Universidad de Chile melawan Concepción. Camilo, supaya bikin aku dan ayah jengkel, mendukung Universidad — yang merupakan tim ayahnya — walaupun tentu saja ia bahkan tidak tahu nama-nama pemainnya. Ia suka cara semua orang di stadion berteriak dan mencemooh para pemain, tapi kaget melihat mereka memaki-maki wasit. Ia lalu membela wasit, dan meskipun orang-orang tidak menganggapnya sungguh-sunggu, lucu sekali mendengar Camilo, setiap kali wasit meniup peluit pelanggaran atau mengeluarkan kartu, berdiri dan berteriak, "Bagus sekali, Sit! Keputusan sangat bagus!"
Camilo terus bersorak untuk wasit selama pertandingan berikutnya, antara Colo-Colo dan Naval, seingatku. Aku bergabung dengannya sebentar, meskipun menonton Colo-Colo bagiku adalah perkara yang sangat serius. Aku dibesarkan mengagumi Chino Hisis, Pillo Vera, Carlos Caszely, Horacio Simaldone, dan tentu saja Roberto Rojas—El Condor. Aku juga benci beberapa pemain: Cristián Saavedra (aku tidak tahu kenapa), dan Mario Osbén, tetapi hanya selama periode ketika pelatih secara misterius menjadikannya sebagai starter alih-alih Rojas. Itu membuatku marah. Salah satu kebahagiaan terbesar masa kecilku adalah turun ke pagar untuk meneriaki pelatih, dan aku benar-benar memakinya. Di rumah, dilarang keras bicara kasar, tapi di stadion aku punya kebebasan.
Tak satu pun dari para pemain itu berada dalam tim ketika aku di stadion bersama Camilo, tapi tak pelak lagi Condor Rojas adalah pemain yang paling kurindukan. Semua orang Chili mengagumi Rojas, tapi bagiku, karena ia kiper, itulah cara lain mengagumi ayah. Terlebih, aku paham sekali posisi ini, dan tanpa keraguan, menurutku tugas kiperlah yang paling berat. Kadang-kadang aku juga jadi kiper, mencoba meniru Condor Rojas, atau mungkin ayahku (dalam semua hal kecuali teriak-teriak). Namun, ketika bergabung dengan Liga Pemuda Cobresal, di Maipú, bermain di lapangan yang sama denga Iván Zamorano ketika memulai kariernya, aku menjajal posisi gelandang, bukan kiper. Aku khawatir, barangkali, kalau-kalau aku tidak cukup bagus.
***
Mengapa Camilo menghabiskan begitu banyak waktu bersama kami? Karena kami mencintainya, tentu. Dan ia tidak suka berada di rumahnya sendiri. Ia bertengkar dengan ibunya perkara keyakinan beragama dan situasi politik. Sebelum referendum 1988, Camilo ikut semua demonstrasi mendukung "Tidak", dan itu menyebabkan pertengkaran hebat dengan ibunya. Camilo ingin "Tidak" menang bukan hanya karena ia benci Pinochet, tapi juga karena siapa tahu ayahnya bisa kembali ke Chili. Tapi ayah Camilo tak ingin kembali, atau setidaknya itulah yang Bibi Juli selalu katakan kepadanya: "Ayahmu sudah punya keluarga lain sekarang. Ia juga punya negara lain. Ia bahkan tidak ingat kamu." Tapi ayahnya masih sering berkirim surat untuknya, mengiriminya uang, dan sesekali menelepon.
Bibi Juli memang keras. Meski begitu, ia memperlakukan kami dengan sangat baik pada satu saat kami mampir ke rumahnya. Dia menghidangkan kue dan susu pisang untuk kami yang sedang bermain Montezuma`s Revenge bersama saudara tiri Camilo. Aneh rasanya melihat Camilo di sana. Ia tampak tak nyaman. Kulihat-lihat kamarnya, seolah-olah ia tidak tinggal di sana. Ia pernah menghadiahi aku dan dua saudariku poster-poster yang bisa digantung di dinding kamar kami, tapi tak ada satu poster pun di kamarnya sendiri: Aku terkesan melihat tembok putih itu, kosong melompong, tanpa paku untuk menggantung foto.
Oh, kuliah apa Camilo? Administrasi atau Manajemen Sesuatu, di Universidad Tecnológica Metropolitana, yang kemudian berganti nama jadi Instituto Profesional de Santiago. Tapi ia tidak suka kuliah. Sekali waktu, ia mengajariku matematika, tapi hasilnya memble, dan, lagi pula, aku tidak benar-benar memerlukannya. Aku pun tak tahu apakah ia banyak baca, meski kurasa ia suka membaca. Kadang aku berpikir, dari sudut pandang kekinian, bahwa Camilo kurang dewasa. Tapi tidak. Ia dewasa. Atau ia juga punya sisi lain, sisi yang intuitif, murah hati, cerdik.
Ia di sana bersama kami, di depan TV, ketika Condor Rojas pura-pura cedera di Brazil dan timnas Chili meninggalkan Stadion Maracana. Aku dan ayah tak percaya apa yang kami lihat, dan Camilo pun kelimpungan. "Brazil bangsat!" teriakku, menunggu apakah aku akan dimarahi karena, tapi tak ada yang menegurku. Ayah tenggelam dalam keheningan amarahnya. Camilo segera berangkat ke pusat kota, menjadi bagian dari kerumunan yang protes di depan Kedutaan Besar Brasil. Aku ingin pergi bersamanya, tapi orang tuaku tak mengizinkan, dan aku harus menelan kemarahanku sendirian.
Suatu malam, sementara topik itu masih diperdebatkan dan Condor Rojas menyatakan tidak bersalah dalam setiap wawancaranya, Camilo datang untuk makan bersama kami dan berkata bahwa ia tak lagi percaya Condor tidak bersalah. Saat itu rumornya sudah beredar, tapi aku dan ayah menganggap itu fitnah belaka. Ayah memeloti Camilo dengan pandangan menghina, hampir dengan kebencian. "Kamu tak punya hak buat berpendapat. Kamu tak tahu apa-apa soal sepakbola," kata ayah. "Apa kamu pikir Condor cukup tolol hingga melakukan sesuatu seperti itu?" Ketika Rojas akhirnya mengaku, tak lama kemudian, kami harus menerimanya. Kami meminta maaf kepada Camilo, tapi ia bilang itu tidak terlalu penting.
Bahkan setelah Condor mengakui kesalahannya, berbulan-bulan aku masih menolak percaya. Walhasil kami harus berhenti mengagumi Condor Rojas, dan aku pun berhenti menonton pertandingan ayah. Tak lama kemudian, tangan kanan ayah patah untuk kedua kalinya, dan dokter berkata ia tidak boleh main sepak bola lagi.
***
Pertengahan 1990, sesuatu yang luar biasa terjadi: setelah satu dekade meminta saluran telepon, akhirnya kami dapat. Kami diberi nomor 5573317. Pagi ketika petugas datang untuk memasang, di rumah hanya ada aku dan ibu. Hal pertama yang ibu lakukan adalah menelepon salah satu temannya, dan kemudian ia menyuruhku menelepon juga, jadi aku telepon Camilo. Itu periode ketika ia, tanpa penjelasan, berhenti mengunjungi kami. Ia terdengar gembira, dan aku memintanya datang. Ia muncul beberapa hari kemudian.
Umurku empat belas waktu itu, dan hari itu ia bilang ingin mengajariku cara merayu perempuan. Aku pernah mencium beberapa gadis, tapi hubunganku dengan mereka tidak mulus. Camilo bercerita ia baru bertemu seorang gadis bernama Lorena, dan mereka kencan dan tidur bersama. Ia menjelaskan bagaimana seharusnya memperlakukan seorang wanita di tempat tidur ("Kamu harus perlahan-lahan membuka bajunya, jangan buru-buru"), ia lalu menawarkan untuk menelepon Lorena dan aku mendengarkannya dari kamar ibu. "Dengan cara ini kamu bisa belajar bagaimana menggoda wanita," katanya. Ia tidak bermaksud pamer — betul-betul ingin mengajariku.
"Halo, Lorena, ini Camilo," katanya, dengan suara yang dalam.
"Oh, bagaimana kabarmu?" suaranya manis, manis dan agak serak.
"Kabarku baik, tapi aku butuh ketemu kamu."
Lorena diam selama lima detik, kemudian mengucapkan kalimat yang tidak akan pernah aku lupakan. "Nah, kalau sudah jadi kebutuhan, sebaiknya kita putus," katanya, menutup telepon.
Aku ke dapur, menjerang air, dan membuat secangkir teh untuk Camilo. Kupikir itu pertama kalinya aku membuatkan teh untuk seseorang. Kutaruh banyak gula di dalamnya, yang kupahami sebagai sesuatu yang harus dilakukan ketika membuatkan teh untuk orang yang sedang sedih.
"Terima kasih," kata Camilo, dengan sikap pasrah. "Tapi itu tadi bukan masalah. Aku senang. Musim panas nanti sesuatu yang sangat penting akan terjadi."
"Apa itu?"
"Yah, bukan lagi musim panas untukku. Tapi musim dingin."
Itu petunjuk yang lengkap, tapi aku masih tak mengerti. Bodoh sekali.
"Aku akan ke Prancis bertemu ayahku," katanya, kegembiraan jelas tergambar di wajahnya.
***
Bersambung ke halaman selanjutnya
Komentar