Lanjutan dari halaman sebelumnya
Sekarang aku melompat bertahun-tahun ke depan; lebih tepatnya, dua puluh dua. Oktober 2012. Aku berada di Amsterdam, pada pertemuan orang-orang Chili, kebanyakan eksil, sebagian anak-anak dari eksil, sebagian lainnya mahasiswa. Dan ada Pak Camilo, Camilo Senior. Seseorang memperkenalkan kami dan ketika ia mendengar nama belakangku ada kilat ketertarikan di matanya. "Kau tampak seperti ayahmu," katanya.
"Dan Anda terlihat seperti Camilo," jawabku. Ia menanyaiku beberapa pertanyaan samar. Kami berbincang tentang demonstrasi, tentang pemerintah yang secara memalukan menolak hak pilih orang Chili yang berada di luar negeri. Kami berbincang tentang Pinera, dan tiba-tiba saja kami menjadi teman sebangsa yang mengeluhkan ketidakbecusan presiden kami. Dan kemudian: "Bagaimana Hernán?" tanyanya.
"Baik," jawabku, memikirkan sudah lama aku tidak bicara dengan ayah. Aku merasa sedikit terganggu, aku tak tahu mengapa. Aku menanggapinya dengan dingin. Lalu aku menyadari: Camilo sangat menderita karena ayahnya. Aku merasa, dengan satu dan lain cara yang absurd dan gelap, bicara dengan Pak Camilo adalah pengkhianatan terhadap temanku itu, kakakku. Di saat yang sama, aku juga ingin bicara dengan orang ini, untuk memahami siapa ia sebenarnya. Aku mengusulkan agar kami bertemu keesokan harinya.
Kami sepakat bertemu di sebuah restoran Meksiko di Keizersgracht. Bisa ditempuh dengan jalan kaki dari hotelku. Aku tiba hampir dua jam lebih awal agar bisa menonton pertandingan Barcelona. Alexis duduk di bangku cadangan. Selama beberapa dekade, sepakbola telah menjadi semacam olahraga perorangan bagi kami orang Chili. Setelah apa yang terjadi dengan Condor Rojas, bukan hanya absen di di Italia tahun 1990, kami juga dilarang ikut serta dalam kualifikasi Amerika Selatan untuk Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Tak ada yang bisa kami lakukan, selama bertahun-tahun, selain fokus pada kompetisi lokal dan pada kejayaan dan kegagalan individu beberapa saudara sebangsa kami yang bermain di luar Chili. Kami mendukung Real Madrid ketika Zamorano bermain di sana, dan sekarang Barcelona, karena Alexis, selama ia berada di sana. Kami terbiasa menonton dengan cara ini: apa pentingnya gol yang dicetak David Villa dan Messi untukku? Satu-satunya yang kupedulikan adalah Alexis main, dan, bahkan jika ia tidak bersinar, setidaknya tidak melakukan hal-hal bodoh.
***
Pak Camilo juga tiba lebih awal. Kupikir, aku akan menonton pertandingan bersama ayah Camilo.
Yang kutahu tentang Pak Camilo, tentang pengasingannya, hanya yang diceritakan anaknya kepadaku: ia dipenjara pada 1974, dan ia cukup beruntung, bisa keluar dari Chili pada 1975. Ia pergi ke Paris, bertemu dengan seorang wanita Argentina yang kemudian melahirkan dua anaknya. Ia bilang sudah tinggal di Belanda selama lima belas tahun, pertama di Utrecht, lalu di Rotterdam, dan sekarang di sebuah kota kecil dekat Amsterdam. Tak mau buang-buang waktu, kupercepat penyelidikan. Aku bertanya kepadanya mengapa Camilo begitu berubah ketika kembali ke Chili.
"Aku tak tahu mengapa," katanya. "Dia datang ke Paris untuk bertemu denganku. Dia ingin kami pulang ke Chili bersama-sama. Dia tidak tertarik pindah ke sini, meski aku memintanya. Dia bilang dia orang Chili. Aku mengusulkan agar dia kuliah. Kubicarakan rencana kami untuk menetap di Belanda. Dia bilang dia tidak suka kuliah, tidak di Santiago dan tidak di Eropa. Situasinya semakin memanas. Dia mengucapkan hal-hal mengerikan di depan mukaku. Aku pun mengucapkan hal-hal mengerikan di depan mukanya. Dan selanjutnya menjadi kompetisi, kompetisi siapa yang bisa mengucapkan hal-hal yang paling mengerikan. Aku akhirnya merasa dia yang menang. Dan dia akhirnya merasa aku yang menang. Bertahun-tahun kami terus berhubungan, aku selalu memikirkan dia, mengiriminya uang — tidak banyak, tapi aku mengiriminya. Kelak, pertama kalinya aku mudik ke Chili, kami bertemu lagi, beberapa kali makan siang bersama, tapi kami selalu ribut."
"Itu tahun `92," kataku.
"Ya," jawabnya.
Lima belas menit memasuki babak kedua, Alexis masuk; ia offside beberapa kali, tapi berperan untuk gol Xavi, 3-0. Kemudian Fabregas mencetak gol, lalu Messi lagi. Alexis menyia-nyiakan peluang emas di menit akhir.
"Apa yang kamu pikirkan tentang Alexis?" Pak Camilo bertanya.
"Dia tidak lebih baik dari Messi," kataku, Pak Camilo tersenyum. Kutambahkan bahwa Alexis tidak pernah mencetak banyak gol — di timnas Chili juga dia buang-buang peluang melulu — tapi ia pemain sayap yang istimewa. Tiba-tiba datang lagi pikiran itu: mengobrolkan sepakbola dengan ayah Camilo, aku merasa gemetaran. Perasaan yang sangat aneh. Aku bicara tentang Colo-Colo 2006, tentang Claudio Borghi, Mati Fernandez, Chupete Suazo, Kalule, Arturo Sanhueza. Aku bicara tentang laga final yang melawan Pachuca, di Stadion Nasional. Aku merasa canggung berbicara dengan cara seperti ini. Naif.
Ia mendesakku memakai "kamu" yang informal saja dengannya. Kukatakan tidak. Ia bertanya apakah ayah dan Camilo memakai yang informal satu sama lain. Kujawab iya. "Cobalah denganku, kalau begitu."
Aku lebih suka tidak. Kucoba menjawab sesopan mungkin, tapi yang keluar dari mulutku hanya gumaman lemah, "Tidak."
Aku bertanya apa yang diributkan olehnya dan ayahku. Ayah belum pernah memberi tahu Camilo atau aku ketika kami menanyainya: Ayah selalu mengubah topik obrolan. Dan tidak ada orang lain yang tahu. Aku selalu berasumsi itu pasti sesuatu yang sangat serius.
"Kejadiannya menjelang akhir musim," kenang Pak Camilo. "Kami semua kelelahan, dua-nol: Aku bek tengah, tinggal beberapa menit tersisa, dan ayahmu berteriak seperti orang gila: `Oper, oper balik, oper, Camilo!` Kami sering cekcok di beberapa pertandingan. Dia tidak pernah membiarkanku membuat keputusan sendiri. `Oper, oper balik!` Zaman itu, kiper masih boleh menangkap bola dengan tangannya kalau kamu oper ke belakang."
"Aku tahu," kataku. "Aku tak semuda itu."
"Kamu masih sangat muda," katanya.
Kami pesan bir lagi.
Pak Camilo melanjutkan, "Dia terus berteriak berulang-ulang. `Oper balik, Camilo, oper balik, ayolah!` Dan aku muak. Karena kesal sekali aku menyarangkan bola ke sudut gawang dan mencetak gol bunuh diri — `Makan, tuh, bola, bangsat!` kataku. Beberapa orang tertawa, beberapa lainnya meneriakiku, ayahmu hanya memandangiku penuh kebencian. Kemudian tim lawan mencetaak gol, seri. Kalau saja aku tak mencetak gol bunuh diri itu, kami sudah memenangkan kejuaraan."
Saat itu teman Belandaku, Luc, datang; ia memberiku beberapa buku. Kukenalkan dengan Camilo. Ia duduk-duduk sebentar bersama kami, dan dengan bertanya kepada Camilo apakah ia seorang eksil. "Tidak lagi," jawab Camilo. "Atau iya. Aku tak tahu lagi." Luc mengajakku pergi, tapi aku merasa aku harus tinggal. Aku bilang jumpa lagi nanti.
Pak Camilo tak pernah bercerita kepada anaknya bahwa ia disiksa, meski ia ditahan selama beberapa bulan. "Mereka menyiksaku habis-habisan," sekarang ia memberi tahuku. "Tapi aku tak mau bicara tentang itu. Aku masih hidup. Aku harus pergi, memulai segalanya dari awal lagi." Kami sama-sama terdiam. Aku memikirkan toko kaset, lagu Talking Heads; mungkin aku sedikit terluka.
I was born in a house with the television always on
Guess I grew up too fast
And I forgot my name.
***
Kami berjalan di Prinsengracht. Cuaca dingin. Tanpa maksud jelas, aku mulai menghitung sepeda yang melewati jalan itu. Lima puluh, enam puluh, seratus. Keheningan antara kami tampaknya tak mau minggat. Kurasa sudah waktunya mengucapkan selamat tinggal. Dan, benar, saat itu pula ia mengatakan, "Yah, aku akan pergi sekarang."
"Katakan kepada Hernán aku minta maaf," imbuhnya. Kuyakinkan bahwa ayah telah memaafkannya bertahun-tahun yang lalu, dan itu tak penting. Kami meminta seorang anak mengambil foto kami dengan ponselku. Sementara kami berpose, aku memikirkan besok akan menelepon ayah, dan kami akan berbincang panjang tentang Pak Camilo, dan kami juga akan mengenang, seperti yang kami lakukan kadang-kadang, malam mengerikan di awal `94, saat Bibi Juli menelepon dan memberi tahu Camilo ditabrak mobil, dan pekan celaka ketika ia hampir sembuh tapi ternyata tidak selamat.
Aku tak tahu mengapa aku bertanya kepada Pak Camilo bagaimana ia mengetahui kematian anaknya. "Aku baru tahu delapan hari kemudian," katanya. "Juli tahu bagaimana menghubungiku, tapi dia tidak melakukannya." Kami masih berdiri, menatap tanah, di pojokan sebuah toko lampu. Aku pernah melihat ini beberapa kali di Amsterdam: jendela toko dipenuhi lampu yang semuanya menyala di malam hari. Aku baru akan mengatakan ini, untuk ganti topik. Lalu ia mengulangi, "Tolong katakan kepada Hernán aku minta maaf atas gol itu."
"Akan kusampaikan," kataku. Kami mengucapkan salam perpisahan, ia memelukku dan mulai menangis. Kupikir sebuah cerita tidak seharusnya berakhir seperti ini, dengan Camilo Senior menangisi anaknya yang sudah mati, anak yang praktis asing baginya. Tapi beginilah akhirnya.
Tentang Pengarang dan Penerjemah
Alejandro Zambra adalah pengarang kontemporer Chili yang menulis puisi dan novel. Namanya mulai dikenal sejak menerbitkan novel pertamanya, Bonsai, pada 2006. Pada 2011, novel pertamanya itu diadaptasi ke dalam bentuk film dengan judul yang sama. Prosa-prosa Zambra banyak mengisahkan kenangan tentang masa kecil, sekaligus ingatan kolektif orang Chili, terutama tentang kehidupan di bawah rezim junta militer Augosto Pinochet.
Cerita pendek "Camilo" mengisahkan dengan baik bagaimana kehidupan orang Chili di masa kekuasaan Pinochet. Ia mengisahkannya dengan nada yang wajar, nyaris tanpa penilaian moral, kendati simpatinya kepada korban-korban kediktatoran Chili juga tidak ia sembunyikan. Sepakbola hadir di dalam cerita dengan pas: tidak semata latar atau ornamen, tapi juga tidak dipenting-pentingkan.
Cerpen "Camilo" ini diambil dari versi Inggris hasil terjemahan Megan McDowell yang tayang di New Yorker. Edisi Indonesia "Camilo" yang Anda baca merupakan hasil terjemahan Arlian Buana, seorang penulis yang sekarang bekerja di tirto.id. Sebelum bekerja di tirto.id, ia ikut membidani sekaligus memimpin redaksi mojok.co. Ia telah menerbitkan buku berjudul "Merry Christmas, Felix Siawu!" yang berisi himpunan esai-esai yang ia tulis di berbagai media.
Komentar