Lebih dari Sekadar Membuat Riedl Tersenyum Bahagia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Lebih dari Sekadar Membuat Riedl Tersenyum Bahagia

Artikel #AyoIndonesia karya Fahmin

Seberapa sering Anda melihat Alfred Riedl tersenyum di bench? Sebanyak itulah kebahagiaan yang bisa dibagikan sepakbola Indonesia kepada para pendukungnya.

Agustus 2008, Alfred Riedl tidak sedang melatih tim manapun, ia baru saja dipecat timnas Vietnam ketika pada waktu yang sama Indonesia berhasil meraih trofi Piala Kemerdekaan dibawah kendali pelatih Benny Dollo.

Indonesia yang bertindak selaku tuan rumah mampu merebut trofi tanpa perlu susah-susah mengeluarkan banyak keringat lantaran Libya yang menjadi lawannya di final saat itu memutuskan walk out sebelum pertandingan benar-benar usai.

Negara yang pernah dipimpin Moammar Khadafi itu mengklaim telah terjadi pemukulan pada pelatih mereka, Gama Adeen Abu Nowara, oleh salah satu ofisial Indonesia sesaat setelah babak pertama usai. Padahal saat itu Libia mampu unggul satu gol atas timnas. Akibat aksi pemogokan tersebut, ofisial pertandingan pun memutuskan memberi kemenangan kepada Indonesia dengan skor akhir 3-1.

Charis Yulianto, kapten Indonesia saat itu, mengangkat trofi di tengah ribuan pendukung yang hadir di Gelora Bung Karno. Namun sayangnya trofi itu seperti tak memberikan kesan apa-apa. Menyadari tingkat prestisius dan bagaimana cara memperolehnya tidak membuat rasa dahaga akan gelar yang dirasakan timnas Indonesia sejak 1990 seketika hilang.

*

Indonesia dikenal dengan para suporternya yang luar biasa. Mereka akan berduyun-duyun menyaksikan timnas Indonesia berlaga, baik menonton langsung ke stadion maupun menyaksikannya di depan layar kaca televisi.

Dan sayangnya, gairah, hasrat, militansi yang kerapkali ditunjukkan suporter, tak pernah dibayar lunas dengan euforia, kemenangan, dan trofi sebagai puncak orgasme dalam sepak bola.

Sebagai pencinta sepakbola nasional, kita memang terlalu sering dikecewakan.

Kenyataannya memang demikian, sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, kita lebih banyak disuguhkan sisi suram dari sepak bola Indonesia: mulai dari sepakbola gajah, pengaturan skor, mafia, dualisme klub, kepemimpinan wasit yang pincang, dan rasisme penonton.

Tidak mengherankan ketika negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam mulai bersaing dengan kekuatan-kekuatan Asia semisal Jepang dan Australia. Indonesia justru berjalan di tempat sembari terus mendongeng bahwa kita adalah partisipan pertama dari Asia (meskipun dengan nama Hindia Belanda) di Piala Dunia, bahwa kita pernah menahan seri Uni Soviet dengan kiper legendaris mereka, Lev Yashin.

Sepakbola Indonesia tak ubahnya seseorang yang berlari di treadmill, kita mengira telah melaju ke depan, padahal kita tetap di tempat yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tak melakukan apa-apa. Tak beranjak kemana-mana.

Jika kita terus berada kondisi demikian, mengharapkan balasan kebahagiaan dari sepakbola Indonesia sebetulnya seperti berharap melihat dinosaurus bangkit kembali. Sesuatu yang muskil.

Plato seorang ahli filsuf Yunani dalam filsafat kebahagiaannya menguraikan tiga unsur dalam jiwa manusia dalam proses pencarian kebahagiaan.

Pertama: ephitomia hasrat pinggiran yang bersifat irasional yang berkaitan langsung nafsu makan, minum dan seks. Kedua yaitu Thumos: segala bentuk afektivas seperti ambisi, cita-cita, reputasi, harga diri dan dianalogikan seperti prajurit perang. Dan terakhir, Logostrion, unsur kunci yang mengendalikan bagian jiwa lainnya.

Sikap kita dalam mendukung timnas Indonesia ada di ranah Thumos sebab hal ini bersinggungan langsung dengan membela harga diri kita sebagai bangsa. Namun seringkali diabaikannya akal kita (Logitico) sebagai unsur kunci dalam proses mencari kebahagiaan seringkali membuat dan berharap timnas memberikan hal-hal yang di luar ekspektasi.

Dalam uraiannya mengenai filsafat kebahagiaannya tersebut Plato juga menjelaskan teori keutamaan. Menurut Leon Robin, istilah “keutamaan” (bahasa Yunani; arete) merujuk pada ciri khas berkaitan dengan fungsi optimal (excellency) suatu hal. Keutamaan sesuatu atau seseorang adalah ketika ciri yang menjadi karakter khasnya mewujud secara optimal. Seekor kuda menjadi “utama” ketika bisa berlari dengan cepat. Telinga adalah “utama” bila berfungsi baik, artinya bisa mendengarkan.

Pada penyelenggaraan piala AFF yang ke 20 ini, kondisi kurang optimal menghinggapi timnas. Dibatasinya pemilihan pemain-pemain oleh pihak klub, membuat Alfred Riedl harus memutar otak untuk mencari komposisi yang pas. Irfan Bachdim pun yang digadang-gadang menjadi sosok kunci permainan timnas harus rela menepi akibat cedera yang menimpanya sehari sebelum pemberangkatan ke Filipina.

Salahkan jika kemudian saya mengatakan terlalu berlebihan apabila berharap Indonesia menjadi juara? Tapi semoga saja perkiraan saya salah.

Saya malah lebih berharap dan bermimpi setelah ini -entah nanti kita gagal atau juara- melihat sepakbola Indonesia yang fair, tidak ada lagi pengaturan skor, tidak ada mafia, politisasi sepakbola, kompetisi yang baik. Jika sudah demikan, saya pikir gelar juara hanya perihal waktu.

Tapi bagaimanapun kecewanya kami, rasa malu yang terus menerus kami tanggung. Tak akan menghentikan semangat kami untuk mendukung timnas Indonesia. Tentu saja tak cuma untuk melihat Alfred Riedl di bench tersenyum, lebih dari itu, kami ingin melihat agar pasukan garuda terbang lebih tinggi.

Penulis yang terus belajar menjadi penulis yang baik bisa dijumpai di akun twitternya @vchmn22. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar