Artikel #AyoIndonesia karya Firman G. Priambodo
Penduduk di Indonesia sangat beragam mulai dari kepercayaan, etnis, sosial, budaya maupun pendapat. Multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia akibat dari sosio-kultural yang beragam dan luas, Indonesia memiliki banyak penduduk yang tersebar di berbagai pulau dan membentuk suatu kelompok masyarakat, dari sanalah terbentuk suatu kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang beraneka ragam.
Hidup di negara multikultural seharusnya masyarakat Indonesia dapat menjadikan kekayaan dan kekuatan bangsa. Yang dibutuhkan oleh masyarakat yaitu toleransi, menghargai dan menghormati segala perbedaan tersebut tanpa ada diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda atau kelompok yang tidak bisa diterima oleh kelompok mayoritas. Toleransi perlu diterapkan karena dapat mempersempit celah konflik yang menyebabkan perpecahan.
Akhir-akhir ini banyak di media lokal memberitakan konflik-konflik yang terjadi di Indonesia dikarenakan kurangnya rasa toleransi mulai dari diskriminasi mayoritas terhadap minoritas, pembakaran tempat ibadah, pengusiran suku minoritas, dll dikarenakan kelompok tersebut mementingkan ego dan kepentingannya sendiri daripada kepentingan bersama. Sangat ironis memang, negara yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua) menjadikan perbedaan sebagai alasan perpecahan.
Untungnya hal tersebut tidak terjadi di dalam timnas sepakbola Indonesia. Pada Piala AFF 2016 nama Boaz T. Solossa yang berasal dari tanah Papua diplot oleh pelatih Alfred Riedl menjadi kapten timnas Indonesia. Pemain yang berposisi sebagai penyerang ini bertugas untuk memimpin tim yang berisikan pemain dari berbagai daerah, agama, maupun etnis. Meskipun hal tersebut bukanlah hal baru bagi Bochi, panggilan akrab Boaz.
Pria kelahiran Sorong, 16 maret 1986 saat ini bermain untuk Persipura Jayapura merupakan adik kandung dari Ortizan Solossa dan Nehemia Solossa yang sudah terlebih dahulu malang-melintang di Liga Indonesia. Mengawali karier sepakbola di klub amatir PS Putra Yohan dari Papua sebagai pemain binaan, lalu Boaz muda pindah ke Perseru Serui selama satu tahun di sanalah Boaz menunjukkan bakatnya sehingga dipanggil untuk membela Papua di Pekan Olahraga Nasional ke-16 pada tahun 2004 saat usianya menginjak 15 tahun.
PON 2004 ternyata menjadikan panggung pertunjukan Boaz menjadi top skor dengan raihan 10 gol membuat Persipura tertarik memboyongnya ke Stadion Mandala pada tahun 2005. Selama delapan tahun berkarier di Persipura, Boaz pernah mencicipi gelar juara Liga Indonesia bersama klub Persipura, dan berbagai gelar individu seperti pemain terbaik Liga Indonesia 2008 - 2009, 2010 - 2011 dan 2012 - 2013, dan top score Liga Indonesia musim 2008 - 2009 (28 gol) dan 2012 - 2013 (25 gol) yang biasanya hanya dinikmati oleh pemain asing. Menurut rumor yang beredar pada tahun 2011 Boaz sempat tawaran bermain di Belanda bersama VVV-Venlo tetapi karena alasan keluarga dia tetap memilih untuk bermain di Persipura.
Memiliki kecepatan, dribble, dan naluri gol tinggi membuat pelatih Indonesia pada saat itu Peter Withe tertarik membawanya ke timnas Indonesia, debut internasional Boaz adalah melawan Turkmenistan pada tahun 2004 untuk Kualifikasi Piala Dunia 2006 di mana saat itu meskipun Boaz tidak mencetak gol tetapi dua assist untuk rekan setimnya, Ilham Jaya Kusuma, membantu Indonesia menang 3-1. Boaz dianggap prospek yang cerah di sepak bola Indonesia setelah bermain cemerlang di Piala Tiger 2004 (saat ini bernama Piala AFF) di usia yang sangat muda 18 tahun.
Momen yang diingat ialah pada akhir tahun 2010 timnas Indonesia berkesempatan melawan juara empat Piala Dunia 2010, Uruguay, dalam pertandingan persahabatan. Di menit 14, Boaz mendapat umpan dari Bambang Pamungkas dan menggiring bola masuk kotak penalti. Dalam duel satu lawan satu, ia berhasil tampil tenang dan menaklukkan Juan Castillo, sebelum memasukkan bola masuk gawang tim tamu. Meskipun hasil kurang memuaskan Indonesia kalah 7-1 atas Uruguay setidaknya Indonesia mampu mencetak angka.
Sebagai manusia Boaz tidak luput dari kesalahan, ia pernah dijatuhi hukuman skorsing tidak boleh bermain sepakbola di ajang nasional maupun internasional selama satu tahun oleh PSSI karena terbukti menendang wasit pada pertandingan piala Indonesia 2005. Dia pun pernah menolak panggilan PSSI untuk membela timnas U-23 meskipun dia bersedia kembali. Saat timnas Indonesia melakukan pemusatan latihan di Australia, Boaz kedapatan mabuk, sejalan dengan penampilan yang menurun membuat pelatih pada saat itu Peter Withe mencoretnya.
Terlepas dari kontroversi yang dia buat, tentu prestasi di level nasional maupun internasional sangat mengagumkan. Di usia yang semakin matang, mungkin Boaz sadar untuk mengurangi sifat kurang baiknya dan menjadi contoh bagi junior-juniornya. Maka di Piala AFF 2016 pelatih Alfred Riedl mempercayainya sebagai kapten, dan saling bahu-membahu bersama pemain lain dari kelompok lain untuk mengharumkan nama Indonesia.
Inilah gambaran skala kecil Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi, meskipun di pimpin oleh orang minoritas tetapi semua pemain tidak melakukan protes, toh para pemain membawa nama Indonesia buka suatu kelompoknya sendiri.
Sebagai negara yang mempunyai keanekaragaman kepercayaan, etnis, sosial, dan budaya, Indonesia memang memiliki potensi konflik yang besar. Oleh karena itu, masyarakat harus menghargai kelompok yang lain, jika terjadi konflik bukankah kita di ajarkan untuk musyawarah bukan?
Membayangkan jika timnas Indonesia memilih pemain hanya memilih satu masyarakat mayoritas saja, apakah bisa berprestasi? Toh pemain timnas berasal dari berbagai lapisan masyarakat masih saja minim berprestasi.
Penulis adalah bekas mahasiswa yang fokus menjadi pengangguran pendukung West Ham United, berakun twitter: firmarmut. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.
Komentar