Artikel #AyoIndonesia karya Adryansyah
Lisbon, 4 Juli 2004. Seorang pemuda berusia 19 tahun terduduk dan menangis. Mungkin malam itu adalah malam paling mengecewakan bagi dirinya.
Bagaimana tidak, perjalanan fantastisnya mulai dari dilatih oleh salah satu pelatih legendaris, menembus skuat inti di klub dengan basis penggemar terbanyak di dunia, hingga mengenakan nomor punggung keramat di klub tersebut dengan bonus trik-trik dan aksi-aksi menghibur (meskipun tidak semuanya efektif), harus rela dikalahkan oleh gol semata wayang dari penyerang yang bahkan sama sekali tidak pernah dilirik oleh klub yang dia bela saat itu. Pahitnya lagi, bahkan penyerang tersebut hanya mencetak empat gol di klubnya di musim 2003-2004. Jumlah yang bahkan kalah oleh torehan gol Hamka Hamzah di ISC hingga saat ini.
Pemuda tersebut pastinya merasa dunia sangat tidak adil padanya saat itu. Meskipun hanya mencetak satu gol dan hanya menjadi starter sekali di babak penyisihan grup, namun andil besarnya di babak perempat final memaksa tim overrated yang selalu menargetkan juara di setiap turnamen yang diikuti namun sangat jarang lolos ke semifinal kalah lewat adu penalti.
Bahkan dia jugalah yang dikabarkan menjadi dalang sehingga rekan satu timnya di klub saat itu menerima kartu merah berkat kedipannya pada wasit Urs Meier. Padahal jika pemain tersebut tidak menerima kartu merah pun, negaranya belum tentu menang juga.
Tidak sampai di situ, di babak semifinal, pemuda tersebut turut mencetak satu gol yang membawa negaranya menang 2-1 atas negara dengan permainan paling atraktif namun miskin gelar. Melihat lawannya di final yang hanya negara “kelas dua”, wajarlah jika pemuda tersebut merasa tahun 2004 adalah tahun puncak kariernya di usianya yang baru menginjak 19 tahun. Meskipun pada akhirnya takdir berkata lain.
Sekitar 6 bulan setelahnya, tepatnya 8 Januari 2005, di belahan dunia lain, tepatnya di Jakarta, seorang pemuda berusia 18 tahun terduduk menahan sakit. Mungkin malam itu adalah malam paling mengecewakan sepanjang perjalanan hidupnya.
Bagaimana tidak, perjalanan fantastisnya mulai dari bukan siapa-siapa, hanya pemuda kampung yang bahkan mengejar ayam pun tanpa alas kaki, baru akan memperkuat klub profesional, namun tiba-tiba menjadi harapan ratusan juta rakyat di negaranya untuk menjadi juara di turnamen berskala regional, harus berakhir dengan tebasan dari pemain bertahan berbadan besar yang sangat kewalahan dengan kecepatan dan kelincahannya.
Pemuda tersebut pastinya merasa dunia sangat tidak adil padanya saat itu. Sebelum menerima tekel brutal tersebut, empat gol ia ciptakan di turnamen internasional pertamanya. Lebih dari itu, teknik, skill, kecepatan dan olah bolanya menjadi teror bagi lini belakang lawan-lawan yang dihadapi kala itu. Mulai dari lawan dengan budaya kebobolan lebih dari lima gol, hingga lawan selevel yang bahkan sedang bermain di kandangnya sendiri.
Tak heran, lawannya di partai final tentunya tidak mau bernasib sama dengan negara lain yang menjadi korban keberingasan si pemuda dari belahan dunia lain. Mematikan pemuda tersebut jadi opsi terbaik yang dimiliki, dan mereka berhasil. Dengan dibuat cederanya si pemuda dari belahan dunia lain ini, mereka berhasil menjuarai turnamen dengan agregat cukup telak, 5-2 dari hasil pertemuan dalam dua leg, kandang dan tandang. Pemuda tersebut pun gagal untuk mewujudkan tahun tersebut menjadi tahun terbaiknya, meskipun potongan cerita indah telah ia tuliskan. Takdir berkata lain.
Kini 12 tahun berlalu, pemuda yang dahulu terduduk dan menangis di Lisbon telah tumbuh menjadi salah satu pemain terbaik dunia. Di negaranya, dia menjadi kapten tim nasional. Namun sayang, sederet prestasinya bersama klub maupun prestasi yang diraih secara individu tidak menular ke tim nasional. Tidak ada prestasi membanggakan yang bisa dia berikan bagi negaranya. Dia seolah-olah hanya pemain paling jago di antara teman-temannya dan hanya bisa marah-marah ketika teman-temannya tidak dapat mendukung dirinya. Kapten yang egois, orang-orang bilang.
Tapi pada 10 Juli 2016 di Paris, pemuda tersebut kembali berhasil membawa negaranya masuk ke final turnamen terbesar di benuanya setelah terakhir kali mereka lolos ke babak tersebut adalah tahun 2004. Ya, saat di mana pemuda tersebut harus menangisi kegagalannya. Tentunya dengan skill dan kedewasaan yang sudah berbeda, pemuda tersebut tidak mau mengulangi kegagalan yang sama lagi.
Apalagi posisi dia dan rekan-rekan setimnya pun sudah berbeda. Mereka bukan lagi tuan rumah, mereka tidak diunggulkan, perjalanan mereka menuju babak final pun jauh dari kata meyakinkan. Banyak yang tidak senang mereka masuk final, ya tidak beda jauh lah dengan kondisi lawan yang mereka hadapi di final 12 tahun lalu, yang akhirnya menjadi juara. Apalagi, lawan yang mereka hadapi di final saat ini adalah tuan rumah dan tim unggulan dengan pemain-pemain kelas dunia, ditambah dengan mitos jika lawan mereka ini selalu juara dengan siklus 16 tahunan. Kasarnya, sepertinya sudah ditakdirkan bagi si pemuda tersebut untuk kalah lagi di final.
Namun takdir berkata lain, mungkin memang tahun 2016 harus menjadi tahun terbaik bagi pemuda tersebut. Akhirnya dia mempersembahkan gelar juara bagi negaranya, meskipun di partai final dia mendapatkan cedera yang membuatnya harus memimpin teman-temannya dari sisi lapangan dengan instruksi-instruksinya yang membuat peran sang pelatih seakan pudar. Terbayarkan sudah kerinduannya selama 12 tahun.
Sementara, si pemuda di belahan dunia lain pun menghabiskan 12 tahun tersebut dengan berbagai prestasi baik bersama klubnya maupun prestasi individu. Namun, prestasinya tersebut sama sekali tidak menimbulkan efek apapun ke tim nasionalnya. Tidak ada prestasi membanggakan yang bisa dia berikan bagi negaranya. Bahkan hingga akhirnya dia dipercaya menjadi kapten tim nasional di negaranya baru-baru ini.
Manila, 25 November 2016. Pemuda tersebut menjalani laga penentuan untuk negaranya. Apakah lolos ke semifinal di turnamen yang 12 tahun lalu meroketkan namanya, atau pulang dengan tangan hampa. Lawan yang dihadapi sama dengan lawan yang membuat dia dan negaranya kecewa di partai puncak saat itu.
Namun dengan luar biasa, pemuda tersebut berhasil mengalahkan dua trauma yang dia hadapi, trauma akan kekalahan dan tebasan di kakinya. Dengan dramatis, pemuda tersebut memberikan satu assist di menit-menit akhir pertandingan untuk membuat negaranya berbalik unggul 2-1 dan lolos ke babak semifinal.
Perjalanan pemuda di belahan lain ini memang masih akan berlanjut. Dan dia mungkin tidak menyadari kesamaannya dengan pemuda yang akhirnya memberikan gelar bagi negaranya setelah penantian 12 tahun. Namun satu yang pasti, kedua pemuda ini memiliki satu tujuan yang sama untuk negaranya.
Dan secara kebetulan, posisi negara di belahan lain ini pun saat ini tidak diunggulkan dan lolos ke semifinal dengan permainan yang masih jauh dari meyakinkan. Kebetulan lainnya? Di semifinal, pemuda egois yang berhasil membawa negaranya juara tersebut mengalahkan kesebelasan dengan jersey dominan merah, mengandalkan kecepatan, dan mempunyai satu superstar.
Sementara si pemuda di belahan lain, kemungkinan besar akan menghadapi lawan yang serupa di semifinal. Negara dengan jersey dominan merah, mengandalkan kecepatan dan mempunyai satu superstar.
Ingin kebetulan lagi? Kedua pemuda tersebut sama-sama mengenakan nomor punggung 7, yang rasanya tidak perlu saya sebutkan namanya pun sudah bisa kalian tebak. Namun pastinya si pemuda dari belahan lain ini tidak bisa semata-mata mengandalkan kebetulan, meskipun jika takdir sudah berkehendak, tidak ada yang bisa melawannya bukan?
Penulis beredar di dunia maya dengan akun Twitter @adryansyahboo, paling suka ngetwit berkomentar mengenai jalannya pertandingan dan seringkali skeptis menyikapi pertandingan dan bursa transfer. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.
foto: indianexpress.com
Komentar