Artikel #AyoIndonesia karya Abdullah Azzam
Ingatan tentang tim nasional adalah tentang hal menjemukan. Kesimpulan ini hadir dalam penjumlahan antara "kebaikan" dan "keburukan" timnas, dan semisal ini dipakai, timnas tak ubahnya kenangan jelek soal sepakbola yang saya cintai.
Ayah saya mengenalkan sepakbola secara tidak langsung. Ia, seperti ayah bagi anak kecil manapun yang saya ketahui (dan mungkin seharusnya begitu), adalah sosok kebanggaan. Apa yang dilakukan dan dikatakannya adalah keren. Saat ia menonton sepakbola, saya sebagai pengagum ikut serta.
Tetapi ayah tidak suka sepakbola Indonesia (Timnasnya dan kadang klub lokalnya). Tidak suka mungkin berlebihan, bila saya menebak-nebak, ia hanya jemu. Karena jemu ia kadang sinis, saya masih ingat ayah selalu menyebut liga Indonesia sebagai Liga Djeruk (merk rokok kurang terkenal produksi Magelang) alih-alih Liga Djarum.
Seperti sepakbola masa kecil saya (dan kebanyakan bocah lain, saya kira), imaji masa itu hanya tentang pesepakbola semacam Ronaldo, Zinedine Zidane, dan yang mulia Ronaldinho. Nama seperti Firman Utina, Ponaryo Astaman atau Markus Horison (nyaris) tidak hadir dalam sebuah pembayangan seorang bocah.
Hal yang wajar dan logis, masa-masa itu adalah kegembiraan murni, membandingkan yang mulia Ronaldinho dan Ponaryo tentang siapa yang bisa menghadirkan kesenangan lebih bisa menjadi sebuah alasan. Komparasi ini mungkin tak adil, tapi jika sepakbola hadir dengan wajah pemain nasional saja, bisa jadi sepakbola bukan suatu yang spesial buat saya.
Beranjak remaja saat mulai berkenalan dengan literatur sepakbola seperti tabloid Soccer (alm) dan Bola penampakan timnas (terlebih sepakbola nasional) tak jauh dari yang ayah citrakan, meski dalam masa itu bacaan mengenai timnas Indonesia yang pernah berjaya (baca: lebih baik) di waktu silam ada di dalamnya. Kehausan mencari pengetahuan seputar sepakbola kadang mentah di tangan orang dewasa, teori-teori mereka lebih canggih dan meyakinkan: mereka berkata teknik dasar sepakbola pemain kita tidak benar, mental pemain buruk, dan tentu, terlalu banyak perkongsian jahat yang membuat sepakbola kita jumud bahkan mundur (atau serong?).
Almarhum paman saya, saya ingat betul, hampir memaki saat melihat Bambang Pamungkas bermain buruk di timnas. Bagi paman saya waktu itu, Bambang adalah tipikal pemain kemaki yang banyak gaya. Rambut Bambang mohawk sambil memakai aksesori mentereng di tangan kanan dan kiri padahal bermain begitu jelek, begitu kira-kira ujar paman.
Sialnya, saya mengamini pendapat almarhum. Pemahaman saya tentang gaya dan aksi yang harus sebading tidak jelas takarannya. Suatu hal yang kelak saya sesali karena ketidaktahuan peran Bambang sebagai khalifah mental dan, terlebih, sumbangsih di luar lapangan lewat Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI). Jika besok ke pusara paman, saya mungkin akan bercerita tentang ini.
Pendek kata, persepsi tentang timnas waktu itu ialah apa yang dikatakan orang-orang di sekitar saya.
Beruntung hobi mengkliping ‘memaksa’ saya untuk tetap menengok perkembangan sepakbola nasional meski tidak seceketer mengulik berita tentang Barcelona (klub kegemaran ayah) misalnya. Setidaknya dua kliping berita yang sekarang entah di mana itu masih dalam ingatan: berita menyedihkan tantang patah kaki Boaz Solossa muda saat melawan Hongkong, dan gol cantik Budi Sudarsono ke gawang Bahrain tahun 2007. Saya amat suka dengan julukan Budi; Si Ular Piton. Ini mungkin salah satu kelebihan sepakbola nasional kita; istilah unik dan jenaka bertaburan.
Medio 2012-an ketika konflik antara Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) dan PSSI terjadi mungkin hal tersuram yang terjadi dalam persepakbolaan nasional yang pernah saya saksikan. Di masa Sekolah Menengah Atas itu—setidaknya kemampuan mengolah pikir sudah lumayan, tetap saja mengikuti kasus ini sungguh membingungkan. Semisal begini, ada dua (orang yang dalam setiap kesempatan mengaku sebagai orang) baik, menjadi aneh karena dua ‘orang baik’ tadi selalu bertengkar dan menganggap satu sama lain adalah orang jahat. Orang baik tidak bertengkar dengan cara begitu, pikir saya.
Dari kasus itu membuat saya pada kesimpulan gegabah; sepakbola Indonesia busuk. Setelahnya, entah kenapa tidak bisa tidak, saya selalu mengasosiasikan timnas dengan PSSI. Ketika PSSI buruk—sialnya memang selalu begitu, maka timnas di mata saya setali tiga uang buruk pula—sialnya lagi, permainan timnas memang jelek, kata-kata orang dewasa dahulu tiba-tiba hadir dalam kepala. (Dalam kisruh itu timnas Indonesia pecah menjadi dua: versi KPSI dan versi PSSI.)
Ketidaksukaan atau kejumudan yang sebelumnya tidak jelas alasannya jadi memiliki sebuah wujud, sebentuk afirmasi.
Tetapi tumbuh dewasa adalah koreksi dari sikap yang sudah-sudah. Seperti menilik kisruh sepakbola empat tahun silam, ada hikmah yang bisa diambil: kompetisi sepakbola harus jauh dari Anggaran Negara. Koreksi—bagi saya, ialah betuk kedewasaan.
Perubahan sudut pandang ini bukan hadir seperti sebuah ilham. Dalam satu kesempatan, bahkan kesinisan dengan sepakbola Indonesia meluber ke spektrum yang lebih luas, mengingat pengurus PSSI kebanyakan dari orang politik. Dari saluran politik menghasilkan orang yang memikul kebijakan sebuah negara. Dan negara Indonesia seringkali mengebiri masyarakatnya. Keburukan PSSI bersinonim dengan bab yang lebih luas, kejahatan negara. Saya tidak ingat, yang pertama hadir dalam kepala saya kebobrokan PSSI atau kejahatan negara.
Saat mengetahui kegunaan perpustakaan kampus, saya jadi ingat kata-kata seorang teman. “Jika ingin mengenal Indonesia ya mudah, baca saja buku sebanyak-banyaknya.”
Lalu saya berkenalan dengan teori ‘komunitas imajinasi’ yang dikemukakan ilmuan kondang bernama Ben Anderson dan memberi koreksi alternatif dari apa yang saat itu saya yakini. Bahwa, nasionalisme adalah suatu pembayangan yang kemudian menjelma menjadi rasa ‘senasib sepenanggungan’ oleh sebuah komunitas (menjadi bangsa).
Diterima atau tidak propaganda pembayangan itu telah merasuk dalam pemahaman kita. Lagu semacam “Dari Sabang sampai Merauke” menegaskan itu. Lewat pembayangan kita jadi memiliki rasa bersaudara dengan orang Maluku, Kutai atau Wamena padahal mungkin kita tidak pernah bertandang ke sana—bahkan bertemu orang-orangnya.
Dari situ kepala saya seperti dibenturkan tembok, pemahaman negara yang jahat (teori-teori yang bersinggungan dengan nasionalisme lebih banyak memberi kesan sinis terhadap negara, terlebih Anarkisme) dan persaudaraan yang diciptakannya adalah lain soal.
Selanjutnya, saya mulai menengok timnas Indonesia dengan kaca mata baru. Kesebelasan timnas dan pengurus federasi adalah dua hal yang berbeda. Lagipula emblem di busung dada adalah lambang garuda bukan bola dan padi, sebuah promosi kebangsaan yang jenius lewat sepakbola. Dan memang, sepakbola (atau olahraga pada umumnya) adalah saluran efektif—kalau bukan terbaik untuk menyalurkan ‘kebaikan’.
Saat timnas kembali bertanding melawan Malaysia (6/9/2016) di Stadion Manahan lalu, saya ada di antara 20.000-an orang yang koor lagu Indonesia Raya yang magis itu. Ketika mosaik bendera merah putih lalu Palestina tampak di tribun selatan, harus diakui, saya hampir menangis. Ada perasaan haru yang kental.
Sepakbola memang bukan hanya bola yang bergulir di lapangan, lebih jauh ia sudah menjadi kebudayaan. Bahkan menjadi agama bagi banyak orang.
Jika begitu, maka permainan timnas yang kadang jelek bukan sebuah perkara yang serius. Dan kalau boleh sedikit norak, menyitir bait puisi Leon Agusta: semua sudah dimaafkan, sebab kita pernah (semoga) bahagia.*
Penulis sedang belajar sejarah di Jogja, bisa dihubungi lewat kotaksurat.abdullah@gmail.com. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis!
Komentar