Oleh: Haris Chaebar
“Di Inggris, mereka mengidentifikasi pemain yang datang, jika mereka memang seorang yang profesional maka akan dimainkan. Tidak demikian di sini (Italia) ketika `Opti Poba` yang sebelumnya cuma makan pisang di negaranya, kemudian masuk tim utama Lazio. Di Inggris, dia harus jelas dalam curriculum vitae dan secara silsilahnya”. Itulah kalimat yang keluar dari mulut Carlo Tavecchio, yang saat ini menjabat sebagai Presiden FIGC (Federasi Sepakbola Italia).
Pernyataan kontroversial tersebut muncul jelang pemilihan Presiden FIGC pada Agustus tahun lalu. Meski begitu, Tavecchio tetap terpilih sebagai orang nomor satu di tubuh federasi sepakbola Negeri Pizza itu dengan mengalahkan legenda AC Milan, Demetrio Albertini. Kebijakan pro pemain lokal adalah wacana yang Tavecchio bawa. Konon atas cita-cita ingin melihat kembali klub Italia dan pemain asli Italia kembali memperoleh kejayaan, ia dipilih menjadi presiden FIGC.
Entah mengapa sosok tersebut bisa terpilih, padahal penyataannya itu menjurus pada hal yang rasis, sesuatu yang sangat dilarang dalam sepakbola. Bagaimana pun Tavecchio kena getahnya, dengan hukuman tidak bisa menjalankan tugas mewakili Italia di level UEFA selam enam bulan sejak terpilih juga masuk black list ketika kongres UEFA pada Maret 2015.
Istilah Opti Poba ala Tavecchio ia tujukan untuk menggambarkan bagaimana seorang pemain yang terlihat “tua” secara fisik (raut wajah) namun berada di tim Lazio muda. Pemain yang dimaksud adalah Joseph Marie Minala, pemain Kamerun kelahiran 24 Agustus 1996. Minala berhasil masuk akademi Lazio atas rekomendasi Alberto Bollini, pelatih tim junior Lazio kala itu.
Debut Minala di tim utama Lazio terjadi pada 16 April 2014, partai melawan Sampdoria dengan menggantikan Senad Lulic di tengah-tengah laga. Setelah itu ia sempat dipinjamkan ke Bari dan Latina, hingga akhirnya ia bergabung ke tim utama Lazio asuhan Simone Inzaghi musim 2016/2017.
Singkat cerita Minala pergi dari Yaoundé, ibukota Kamerun menuju Roma pada saat usia 15 tahun. Minala awalnya datang ke Italia untuk bertemu agen pemain, namun agen tersebut tidak ada setibanya ia di bandara Roma. Lalu ia hidup di rumah asuh, kemudian ditampung oleh seseorang di Italia dan bermain bola di klub-klub amatir. Hampir didekati Napoli, pada akhirnya Lazio-lah yang menjadi klubnya hingga kini.
Yang menjadi perdebatan, yaitu wajah Minala yang seakan tidak lagi berparas laiknya anak muda. Hal ini pula membuat FIGC melakukan investigasi, apakah benar ia masih berusia 20-an atau jangan-jangan sudah berkepala empat. Pada akhirnya memang tidak terbukti telah terjadi pemalsuan usia, sehingga Joseph Minala ataupun Lazio aman. Mereka tidak diberi sanksi apapun oleh FIGC.
Untung saja Minala masih bertahan di pentas profesional sekelas Serie A hingga kini, dan itu jadi bukti nyata kalau ia memang pemain yang “baik-baik saja”. Setidaknya peristiwa asal-asalan mencomot pemain seperti kasus Ali Dia di Southampton pada 1996 dulu, tidak muncul kembali di Italia.
Baca juga: Ali Dia, Bentuk Kesalahan dari Sebuah Proses Bernama Perekrutan
Ocehan Tavecchio tentang “Opti Poba” bisa pula bermakna banyak hal, yang memang menggambarkan tentang kemerosotan sepakbola Italia. Komentar sinis tersebut seakan sedang mengorek tentang kemungkinan kurang selektif, teliti, dan masih abu-abunya perekrutan pemain yang dilakukan oleh klub-klub di Italia.
Terkait simpang siur perekrutan pemain, banyak opini berseliweran ketika mantan pemain Interazionale Milano, Obafemi Martins, diduga juga memalsukan umur. Celestine Babayaro, mantan rekan Martins di Newcastle, mengatakan pernah bermain bersamanya di timnas junior Nigeria, sedangkan usia Martins dan Babayaro sendiri beda enam tahun.
Martins angkatan 84 sedangkan Babayaro lahir di tahun 1978. Di samping itu pernah ada kejadian unik, yaitu ketika Asosiasi Sepakbola Nigeria (NFA) pada 2006 sempat merilis data pemain timnas dan di situ nama Martins tertulis sebagai pemain kelahiran 1978. Meski akhirnya NFA mengakui itu adalah kesalahan dari mereka, hal tersebut membuat Newcastle sempat ragu meminang Martins karena versi Inter pun ia kelahiran 1984.
Apakah kasus umur pemain yang diragukan seperti Obafemi Martins dan Joseph Minala akan muncul kembali di Italia? Hal ini adalah hal yang aneh, karena seharusnya dengan birokrasi gaya Eropa yang terkenal begitu ketat dan selektif, sudah sepantasnya hal-hal seperti bisa diantisipasi dengan baik.
Pernyataan Tavecchio di awal artikel ini juga menarik untuk diperhatikan dan bisa diartikan menelanjangi sepakbola negerinya sendiri. Ada kesan, apa yang dikatakan Tavecchio itu karena ketidaksukaan terkait mudahnya pemain asing masuk ke Italia. Sedangkan di sisi lain perkembangan pemain muda, khususnya pemain lokal begitu lambat.
Sepertinya, Carlo Tavecchio ingin sepakbola Italia lebih ramah terhadap pertumbuhan pemain muda, khususnya pemain lokal. Atas dasar itu bisa jadi, meski kontroversial, ia tetap menjadi pilihan utama sebagai presiden FIGC. Mayoritas dukungan untuknya memang datang dari klub-klub yang berkompetisi di level bawah, yang minim dana transfer dan kebanyakan mengandalkan pemain lokal.
Barangkali meski rasis, kejengahan publik Italia atas minimnya pemain muda seolah-olah membuat Tavecchio, yang kontroversial ini justru oleh beberapa pihak dilihat sebagai figur “nasionalis”, yang ingin memperbaiki kualitas pemain lokal. Apakah ini juga yang dirasakan oleh klub-klub Italia pendukung Tavecchio? Bisa iya dan bisa juga tidak karena tetap ada faktor-faktor lain di luar sepakbola yang juga sangat berpengaruh dengan terpilihnya Tavecchio.
Namun bukti nasionalisme-nya seorang Tavecchio tetap ada. FIGC menerapkan sistem home-grown player di kompetisi musim ini. Dari 25 pemain yang didaftarkan, minimal delapan pemain harus produk lokal (tidak harus berasal dari akademi masing-masing klub). Sedangkan pemain berusia di bawah 21 tahun tidak perlu didaftarkan. Dampaknya, muncul bermacam pemuda asli Italia yang berpotensi besar seperti Roberto Gagliardini, Mattia Caldara, atau Federico Chiesa.
Jika belum diterapkan, bisa jadi Atalanta akan membeli pemain asing entah dari mana untuk menggantikan Martin De Roon, yang pindah ke Middlesbrough daripada memakai Gagliardini yang kini bahkan telah direkrut Inter pada paruh musim ini karena tampil memikat.
Kemungkinan nasib Federico, anak Enrico Chiesa yang di Fiorentina ini, akan berakhir sebagai pinjaman di klub Serie B jika aturan home-grown player belum diterapkan. Setidaknya hal ini sedikit memberikan warna baru di tengah muramnya regenerasi di tubuh timnas Italia belakangan ini. Meski soal home-grown player, harus diakui bahwa Italia jelas terlambat karena serbuan pemain asing yang sudah menjamur sekian lama.
CIES Football Observatory menuturkan, pada musim 2015/2016 setidaknya 57,9% pemain yang ada di Serie A adalah non-Italia. Sedangkan untuk musim ini, www.transfermarkt.co.uk merilis presentase angka 56,7%, terlihat sedikit turun akibat adanya kebijakan baru berupa home-grown player. Tapi jika dominasi pemain asing terus mengakar, maka tak heran keluhan mantan pelatih timnas Italia seperti Cesare Prandelli atau Antonio Conte tentang minimnya pemain lokal berkualitas, akan kembali diucapkan Giampiero Ventura suatu saat nanti.
Sebenarnya, keinginan Tavecchio memberi perubahan bagi sepakbola Italia sangatlah positif dan layak ditunggu. Terutama untuk Serie A sebagai wajah terdepan sepakbola Italia. Jika tidak ada perubahan signifikan kedepan, mereka akan semakin tertinggal dari liga-liga lain di Eropa. Bahkan tak hanya Eropa, ancaman juga datang dari Tiongkok yang sewaktu-waktu bisa mengubah peta dunia sepakbola hanya karena uang mereka.
Pada akhirnya pernyataan rasis Tavecchio, orang tertinggi di pesepakbolaan Italia, juga akan membuka mata publik lebar-lebar akan borok lain sepakbola di sana, yang hari ini masih belum sembuh juga dari “penyakit” rasisme. Kevin-Prince Boateng, Mario Balotelli, dan Kalidou Koulibaly pernah jadi korban ejekan rasis dari tribun stadion. Sedangkan Antonio Rüdiger pernah dihina oleh Senad Lulic pasca Derby Roma pada Desember 2016 lalu.
Guna memberi reaksi atas pernyataan Carlo Tavecchio, sekelompok orang kemudian mendirikan klub bola bernama ASD Opti Poba. Klub yang berada di regione Basilicata, wilayah selatan Italia dan dilatih oleh Francesco Giuzio ini membawa misi sebagai klub pembawa pesan damai dan persatuan. Dengan ASD Opti Poba inilah mereka juga mengampanyekan anti rasisme, selain itu mereka juga terbuka untuk imigran yang ada di Italia.
Memang perbuatan rasis sangatlah melecehkan harga diri dan memecah belah persatuan antar manusia. Sesama manusia diciptakan untuk saling mengenal, bersahabat dan berbagi dalam ruang kehidupan di dunia ini. Terakhir, rasisme jelas tidak ada tempatnya di sepakbola, because football’s integrate, not separate us.
foto: @Radio1Rai
Penulis adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Biasa berkicau di akun Twitter @chaebar_haris. Segala opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar