Oleh: Dimas Wijanarko
Tidak hanya keindahan mengolah kulit bundarnya yang jadi perhatian orang, kaum hawa pun dibuat tersihir dengan kegagahannya sebagai seorang ‘black star’.
Di dunia sepakbola modern, nama Pele diagungkan sebagai pemain kulit hitam tersukses seantero jagat. Namun sebelum pemain asal Brasil itu mencuat, ada black star yang lebih dahulu lahir pesepakbola asal Uruguay bernama Jose Leandro Andrade. Membicarakan Andrade praktis membicarakan Sidonie-Gabrielle Collete.
Sidonie-Gabrielle Collete (1873-1952) adalah seorang novelis terkenal di Prancis. Perempuan yang memulai karier penulisnya pada usia 20 tahun itu banyak menelurkan karya-karya sastra yang terilhami dari kebahagiaan serta luka cinta yang diderita kaum hawa. Salah satu karya garapannya yang terkenal yaitu novel Cheri yang juga difilmkan pada 1951 dengan judul The Last Cheri. Ia juga pernah dinobatkan menjadi calon peraih Nobel Sastra pada 1948.
Kisah kehidupan Colette juga acap menjadi bahan gosip publik Prancis saat itu. Salah satunya terjadi saat Olimpiade 1924, saat Paris menjadi tuan rumah. Sang novelis tersebut dikabarkan terlibat hubungan dengan Andrade yang berposisi sebagai gelandang tengah.
Jose Leandro Andrade pada masanya adalah pesepakbola yang digilai kaum hawa. Collete bukan satu-satunya perempuan Prancis yang mengidolai pria kelahiran 22 November 1901 tersebut. Josephine Barker, seorang penari terkenal asal kota Paris keturunan Afrika-Amerika, ternyata terjangkit juga oleh ‘virus’ Andrade. Tidak heran, sebutan gigolo pernah melekat dalam diri pesepakbola asal Salto, Uruguay, tersebut.
“Beberapa jam kemudian, ada yang melihat Andrade di sebuah apartemen mewah di salah satu daerah eksklusif di pusat kota Paris, dikelilingi oleh para perempuan cantik,” tulis surat kabar dari Italia, La Gazzeta dello Sport.
“Pada salah satu kunjungan, Andrade terlihat menari Tango dengan Josephine Baker,” tambah surat kabar olahraga yang berdiri pada 1896 tersebut.
Andrade bukan sosok pesepakbola berwajah maskulin dan berkulit putih seperti David Beckham ataupun Cristiano Ronaldo seperti saat ini. Jika Baker adalah bintang film kulit hitam pertama yang muncul sebagai bintang film, maka Andrade adalah pesepakbola keturunan Negro pertama yang menjuarai Olimpiade (1924 & 1928) disusul Piala Dunia (1930).
Dalam sejarah sepakbola di Amerika Selatan, nama Andrade meredup dengan besarnya reputasi Pele yang merupakan pemain kulit hitam tersukses sepanjang era Piala Dunia. Namun jauh sebelum pemain asal Brasil itu mengangkat trofi Jules Rimet, Andrade sudah terlebih dahulu menyihir publik sepakbola pada zamannya lewat permainan apiknya di dalam lapangan serta kisah hidup pribadinya.
Uruguay mencapai puncak keemasannya saat itu. Di lapangan, gaya permainan La Celeste mengundang decak kagum publik sepakbola. Seorang wartawan asal Spanyol, Enrique Carcellach, menulis: “Saya telah menonton banyak pertandingan sepakbola selama 20 tahun dan belum pernah melihat tim yang memiliki pengusaan bola sebaik Uruguay, mereka seperti bermain catur menggunakan kaki.”
Di tim tersebut, semua mata tertuju pada Andrade. Dirinya seperti Don Juan di dalam dan luar lapangan. Semasa menjalani pertandingan di Olimpiade Paris, perempuan-perempuan pesohor di Prancis bahkan seringkali mendatangi kamp timnas Uruguay. Ada seorang saksi mata yang melihat Andrade sering meninggalkan penginapan di malam hari selama gelaran Olimpiade berlangsung.
Bahkan sehabis final Olimpiade sepakbola ketika Uruguay berhasil mengalahkan Swiss dengan skor 3-0 pada 9 Juni 1924, Andrade semakin digilai kaum hawa Prancis. Ada yang mengatakan ia “diculik” oleh seorang perempuan kaya dan diberi rumah, bahkan mendadak jadi orang yang kaya raya.
“Dia pergi ke Paris bukan sebagai siapa-siapa, tetapi setelah menguasainya ia mendapatkan seluruhnya. Andrade menjadi seorang pesolek. Menggunakan sarung tangan dengan warna keemasan, mantel mahal, sepatu kulit, dasi sutra dan topi yang bagus,” tulis Aldo Mazzuccheli nama penulis buku From Train to Tango. The Style of Uruguayan Football, 1891-1954.
“Semua saksi mata terpesona dengan gerakannya saat berada di dalam lapangan. Dia punya otot yang kuat dan punya semacam energi sensasional bahkan seperti keinginan untuk menampilkan gaya erotis. Andrade tidak pernah merayakan gol yang dibuatnya dan ia juga sering tiba-tiba mangkir dari latihan tim,” kenang Hans Ulrich Gumbrecht dari Stanford University dalam bukunya yang berjudul In Praise of Atheltic Beauty.
Pada 1925 silam saat klubnya Nacional mengadakan tur ke sembilan negara di Benua Eropa, tur tersebut menjadi perhatian karena berhasil menyedot 800.000 penonton. Namun Andrade hanya mengikuti sebagian dari pertandingan tersebut karena menurut kabar yang beredar dirinya menderita sakit sifilis. Semenjak pulang dari Paris, berat badannya turun drastis. Selama tiga tahun, ia menjalani masa pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya itu.
Hebatnya, Andrade kembali memperkuat tim nasional Uruguay di Olimpiade 1928 Amsterdam. Dirinya juga berhasil membawa negaranya tersebut ke final dan mengalahkan Argentina dengan skor 2-1 di Stadion Olympic Arena. Namun permainan sang black star tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Di laga semifinal saat melawan Italia, ia sempat menabrak tiang gawang yang disinyalir mengalami cedera serius hingga menyebabkan mata kirinya sedikit mengalami kebutaan.
Kesehatan Andrade semakin memburuk setelah kejadian di Olimpiade 1928 tersebut. Pada Piala Dunia 1930 di Uruguay, dirinya kembali menjadi pilihan utama tim asuhan Alberto Suppici tersebut. Permainannya sedikit banyak berubah karena penyakit yang dideritanya namun sekali lagi, ia berhasil mempersembahkan gelar bergengsi sepakbola untuk tanah kelahirannya sekaligus menjadi pemain kulit hitam pertama yang mempersembahkan Trofi Jules Rimet.
Jose Leandro Andrade meninggal pada 4 Oktober 1957 di usianya yang masih 55 tahun. Banyak yang menduga penyakit TBC menyerang sang legenda sepakbola Uruguay tersebut. Namun ada juga selentingan kabar penyakit sifilis ditambah kecanduan alkohol menjadi penyebab utama kematiannya.
Penulis biasa berkicau diakun Twitter @mas23dimas. Segala opini dan isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis, di luar redaksi panditfootball.
(sf)
foto: alchetron.com
Komentar