Halaman kedua
Lini Tengah
Bergeser ke lini tengah, Sriwijaya juga memiliki komposisi yang mewah. Dua gelandang tengah sudah hampir pasti diisi oleh duet Wijay dan Tony Sucipto. Jika tidak cedera dan terkena akumulasi, sulit bagi pemain lain menggantikan duet pemain tengah yang hampir tidak pernah absen pada musim kejayaan Laskar Wong Kito.
Melihat Wijay bermain pada masa itu, membuat saya berani melabelinya “Gattuso-nyo Wong Kito”. Keberaniannya dalam berduel dengan pemain tengah lawan, serta gaya “Rap-Rap” khas mantan klubnya PSMS Medan, selalu berhasil merusak skema penyerangan tim lawan.
Ditemani dengan Tony Sucipto yang memiliki visi dan umpan yang matang, Wijay dan Tony menjelma menjadi duo box-to-box midfielder terbaik yang pernah dimiliki Sriwijaya FC selain duet Lim Jung Sik dan Ponaryo Astaman di tahun 2011-2012.
Di posisi gelandang kanan, ada nama Zah Rahan Krangar. Pemain timnas Liberia yang menyabet gelar pemain terbaik Liga Indonesia 2007-2008 ini jelas merupakan talenta terbaik yang pernah mampir ke bumi Sriwijaya. Dia merupakan jenderal lapangan tengah SFC yang memiliki umpan akurat dan insting mencetak gol yang baik.
Final Liga Indonesia 2007 melawan PSMS Medan menjadi panggung bagi Zah Rahan dalam menunjukkan kualitasnya. Mbom-Mbom Julien dan Legimin Raharjo dibuat kewalahan meladeni Zah Rahan dalam partai puncak yang digelar tanpa penonton tersebut. Sepakan dari setengah lapangan yang menjadi gol pada extra time babak kedua, tidak hanya membuat Markus Horison menyesali keputusannya maju membantu penyerangan, tapi juga menasbihkan dirinya sebagai pemain terbaik Liga Indonesia.
Lanjut ke gelandang kiri, terdapat nama Benben Berlian yang memliki sprint cepat dan senang melakukan cut inside. Nama terakhir ini memang tidak sementereng Zah Rahan, namun dia lah orang yang selalu berhasil membuat pertahanan lawan berantakan melalui liukan dan tusukannya. Melalui liukan-liukannya yang tak terduga ini, tak jarang Benben mendapat teriakan “Pacak Kau Ngolakkenyo Benben” dari suporter yang takjub kepadanya.
Lini Depan
Di lini depan, Sriwijaya memiliki penyerang-penyerang yang dapat menjadi mimpi buruk bagi kiper manapun. Christian Lenglolo, Richard Anoure Obiora, dan Keith Kayamba Gumbs. Dengan insting mencetak gol yang tinggi serta didukung dengan kualitas di atas para pemain lokal, ketiganya bisa menjadi malapetaka bila dibiarkan menguasai bola di daerah kotak penalti.
Ketiga pemain ini secara bergantian ditandemkan dalam satu pertandingan. Ketajaman merekalah yang membuat Sriwijaya FC minimal membuat 2-3 gol dalam satu pertandingan. Khusus nama terakhir, kompetisi 2007-2008 adalah kompetisi pertamanya berlaga di Liga Indonesia.
Meskipun demikian, Kayamba berhasil menorehkan debut manis dan menjadi idola baru Sriwijaya dan Singa Mania. Sampai saat ini, dialah pencetak gol terbanyak SFC dengan torehan 74 gol di semua kompetisi.
Skuad yang sudah sangat mapan tersebut jelas memiliki seorang komando pasukan. Jika tidak diramu dengan formasi dan strategi yang tepat, kumpulan para pemain bintang tadi belum tentu bisa bekerjasama dengan baik dan menunjukkan potensi terbaiknya. Beruntung, saat itu SFC memilih Rahmad Darmawan untuk menjadi komando pasukan Laskar Wong Kito.
Dari balik topi dengan insial “R”, pensiunan TNI ini memimpin Kayamba cs dalam setiap pertandingan. Kumpulan pemain bintang tersebut kemudian dibentuk Rahmad Darmawan dengan mental baja dan semangat pantang menyerah layaknya tentara. Rahmad juga tak lupa mengajarkan pentingnya bermain bersama layaknya keluarga.
Hal ini terlihat dari setiap perayaan gol yang selalu memiliki arti, seperti aksi Kayamba melepas topi sang pelatih, hingga joget khas Afrika dari Obiora yang diikuti oleh semuanya. Sejauh ini, dia adalah pelatih terbaik yang pernah dimiliki Sriwijaya FC, sejak era Erick William hingga Widodo C Putro.
***
Itulah pemain-pemain dari kesebelasan yang pernah menorehkan sejarah besar di sepakbola Indonesia. Cerita soal mereka akan selalu diingat oleh para pendukung Sriwijaya yang rindu akan gelar juara. Kerinduan mengulang kesuksesan sepuluh tahun lalu, jelas masih ada di hati saya dan para pendukung Sriwijaya lainnya.
Kami tak akan pernah lupa betapa menyenangkannya menyaksikan sebelas pemain di atas lapangan memainkan sepakbola yang indah dan merayakan dua gelar juara di tahun yang sama. Kini mari berhenti berbicara soal sejarah dan serius menatap liga yang telah kembali bernyawa. Dukungan kami untukmu akan terus menggema, sampai gelar ganda kembali ke bumi Sriwijaya.
foto: Wikimedia
Penulis adalah pendukung Sriwijaya yang juga suka AS Roma. Biasa berkicau di akun Twitter @abietsaputra
Tulisan ini merupakan bagian dari Pesta Bola Indonesia, menyemarakkan sepakbola Indonesia lewat karya tulis. Isi tulisan dan segala opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar