Oleh: Rizal Syaiful Fauzani
Tak ada yang salah jika penggemar Manchester United menunjukkan fanatisme dan loyalitasnya. Bahkan sebagian besar atau hanya 5% dari 100% yang sudah pernah menonton laga Manchester United langsung di stadion baik itu di Old Trafford atau yang lain.
Sekelompok penggemar seumur hidupnya mungkin hanya bisa menyaksikan tim kesayangan mereka dari layar kaca yang disiarkan langsung oleh official broadcaster di Indonesia. Beruntung memang sepakbola sekarang sudah menjadi sebuah industri yang tidak lagi hanya memikirkan kemenangan dan kekalahan, tetapi juga memikirkan sebuah keuntungan dari berbagai pendapatan hak siar, merchandise, dan sponsor.
Lazimnya penggemar sepakbola layar kaca rela mengurangi jam tidur hanya untuk menonton klub kesayangannya di layar kaca ketika bertanding di waktu dini hari. Perasaan senang, sedih, dan kecewa akan muncul setelah melihat hasil tim kesayangannya bertanding. Jika tim idolanya menang, ia akan senang, gembira, dan update status di sebuah sosial media mengabarkan jika tim tersebut menang.
Rasa bahagia itu seakan menghapus kantuk di malam hari, tapi tidak di pagi hari, kantuk datang begitu kerja, membuat hari tidak karuan karena pekerjaan yang sudah menumpuk. Apa boleh buat, Sudah terlalu cinta dan sulit untuk dilewatkan.
Tak Jarang si penggemar layar kaca kesulitan minta ampun karena tim idolanya tidak ditayangkan di televisi. Segala cara pun dilakukan di zaman yang sudah modern ini. Mulai dari live streaming, melihat livescore pertandingan di beberapa website dan kadang menyaksikan acara nonton bareng yang diadakan oleh basis pendukung yang menyelenggarakan acara tersebut.
Sebelum era modern yang sudah digital ini ketika menonton sepakbola lewat live streaming, livescore, dan siaran TV berbayar belum ada, apa yang harus dilakukan oleh penonton bola layar kaca itu? Ia hanya bersabar, berharap-harap cemas sambil berdo`a agar tim yang dicintainya mampu meraih kemenangan dalam pertandingan itu.
Bahkan ia tak jarang pagi-pagi bangun melihat berita olahraga di televisi atau news line akan skor akhir. Kadang ada yang rela berlangganan surat kabar hanya untuk mencari informasi seputar tim yang diidolakannya.
Di balik perasaan romantisme penggemar layar kaca ada sedikit hal yang menodai rasa fanatisme itu sendiri, yaitu ketika terjadi konflik antar suporter. Konflik tersebut bisa dimaklumi mengingat fanatisme yang dimiliki oleh penggemar tersebut, tetapi mereka tidak dapat mengendalikan emosi dengan baik.
Tak hanya di dalam sebuah acara nonton bareng (nobar), konflik di media sosial pun sekarang sangat rentan terjadi, bahkan menjadi kebiasaan. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook di era modern seperti sekarang menjadi pusat penghakiman massa. Acara nobar seharusnya cukup menjadi ajang adu hiburan hingga adu gengsi antara kedua tim yang bertanding.
Solidaritas Memicu Konflik?
Dahrendrof, pencetus teori konflik, berpandangan bahwa mata rantai konflik dan perubahan sosial adalah karena dalam situasi konflik akan muncul suatu tindakan perubahan dalam struktur sosial. Dalam hal ini teori konflik terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang memusatkan konflik sebagai penyebab perubahan sosial sedangkan kelompok kedua menekankan konflik untuk mempertahankan kepentingan kelompok atau golongan.
Adapun Lewis Coser seorang sosiolog Amerika menjelaskan beberapa fungsi konflik, salah satunya adalah konflik dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok yang bisa menghantarkan aliansi-aliansi dengan kelompok lain. Solidaritas internal kelompok bisa dipahami dengan sederhana, anggota kelompok merasa dekat tidak hanya karena suatu kesamaan tim idolanya, tetapi juga karena ada musuh bersama.
Dari sisi penggemar bola, memaki-maki musuh bebuyutan akan terasa lebih nikmat jika disuarakan bersama entitas lain yang juga anti kepada kubu seberang. Jadi wajar jika misalnya Inter Milan dan Juventus memiliki "aliansi’’ masing-masing karena perjodohan faktor kebencian luar biasa. AC Milan mungkin lebih memilih menjadi teman Juventus ketimbang harus mendukung Inter Milan. Fiorentina dan AS Roma yang merupakan musuh Juventus karena kejadian di masa lalu mungkin lebih girang ketika Inter meraih Scudetto.
Perasaan itu kemudian terbawa hingga ke level fans akar rumput aliansi antara beberapa basis pendukung klub tertulis di atas kertas, namun begitu kental saat acara nonbar.
Media Sosial Sumber Kicauan Penggemar Layar Kaca
Ada alasan lain yang membuat penggemar Manchester United di Indonesia begitu loyal dengan klub asal Inggris tersebut. Salah satu pemicunya adalah peran dari media sosial. Penggemar bola di Indonesia hingga luar negeri bisa begitu mudah mencari informasi seputar tim yang diidolakannya melalui media sosial. Dengan kata lain, media sosial membuat para penggemar merasa dekat dengan tim yang diidolakannya.
Perasaan dekat itulah yang membuat penggemar bola layar kaca rela meluangkan waktu untuk menyaksikan tim idolanya bertanding hanya lewat sebuah layar kaca di malam bahkan dini hari. Perasaan kedekatan tersebut juga membuat penggemar marah dan meluapkan emosi jika klub yang dicintainya dirundung karena timnya kalah atau puasa gelar.
Tak sedikit akun media sosial membuat meme hanya untuk mengejek tim yang dia tak suka. Ada yang merespons dengan sebuah guyonan konyol tak bermanfaat hingga melontarkan kata-kata kasar yang tak perlu sepantasnya untuk dikatakan. Padahal, keloyalitasan berlebihan yang dekat dengan emosi dalam sebuah media sosial terhadap tim yang dicintainya tidak akan mempengaruhi kondisi klub tersebut.
Mendukung tim idola lewat media sosial punya kenikmatan tersendiri apalagi jika disuarakan oleh bahasa kolektif. Jangan sampai diiringi dengan perasaan dendam bahkan memutus rasa persaudaraan antar sesama penggemar sepakbola layar kaca.
Baca Juga: Rivalitas Semu Suporter Layar Kaca
Penulis adalah mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Biasa berkicau di @Rizalsfauzani
Tulisan ini merupakan hasil kiriman pembaca lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar