Oleh: Gerhan Ahmad
Jika Anda pemerhati Bundesliga dalam tiga tahun terakhir, melihat Werder Bremen terseok-seok di zona degradasi pada Hinrunde (paruh musim pertama Bundesliga) merupakan hal yang lazim. Werder Bremen sudah dianggap sebagai tim papan bawah yang target utamanya di liga hanya lah untuk sekadar terhindar dari degradasi di akhir musim.
Apabila harus berkiblat pada sepakbola Inggris, Werder Bremen tak ubahnya seperti Sunderland dalam dua musim terakhir. Keduanya sama-sama merupakan penyintas zona degradasi dua musim berturut-turut, atau agar terdengar agak superior, keduanya merupakan eskapis ulung zona degradasi.
Pun halnya pada musim ini. Werder Bremen kembali menjalani “rutinitas” Hinrunde-nya itu layaknya seorang Bill Murray dalam film Groundhog Day. Tim asuhan Alexander Nouri itu selalu berkutat di papan bawah. Namun, semenjak Rückrunde (paruh musim kedua Bundesliga), ada perbaikan signifikan di tubuh Werder Bremen yang mempengaruhi performa tim.
Kesebelasan rival Hamburg itu kini sudah mulai menemukan ritme permainannya dan sedang berada dalam tren yang bagus. Delapan pertandingan terakhir berakhir tanpa kekalahan dengan catatan enam kemenangan di dalamnya, sudah cukup menunjukkan soal tren positif tersebut. Catatan yang tak kalah impresif lainnya adalah bahwa sebelum hasil imbang melawan Frankfurt pekan lalu, Junuzovic dkk. sempat menduduki posisi paling atas dalam form tabel enam laga terakhir, mengalahkan tim sekelas Bayern München.
Berkat hasil-hasil positif itu, hingga spieltag ke-28, Werder Bremen sudah menduduki posisi ke-11 dan hanya terpaut lima poin dari zona Eropa. Nouri berhasil membalikkan keadaan, mengingat pada awal Februari lalu Werder masih berada di zona degradasi bersama SV Darmstadt dan FC Ingolstadt.
Beberapa hal seperti kembali fitnya pemain-pemain utama, perubahan taktik, dan pembelian pemain di bursa transfer Januari ditengarai sebagai faktor utama di balik laju apik Werder Bremen. Jika kita kembali menengok sejenak ke beberapa musim sebelumnya, sebenarnya perjalanan Werder Bremen pada musim ini merupakan sebuah skena déjà vu musim 2014/2015.
Memulai dari Bawah
Proses yang ditempuh Alex Nouri bersama Werder Bremen pada musim ini serupa dengan apa yang ditempuh Werder pada musim 2014/2015 lalu: dimulai dari bawah. Nouri sejatinya merupakan pelatih interim tim berjuluk Die Werderaner tersebut. Ia merupakan suksesor dari Viktor Skrypnyk yang dipecat pada akhir September 2016 setelah mengalami empat kekalahan beruntun. Kekalahan-kekalahan itu lah yang membuat Nouri memulai era kepelatihannya dari posisi terbawah.
Setali tiga uang, hal yang sama juga dialami oleh Viktor Skrypnyk pada musim 2014/2015. Pelatih yang awalnya juga merupakan pelatih tim Bremen II itu mesti mengambil alih kendali kepelatihan Die Werderaner dari zona degradasi pasca Robin Dutt dipecat di pertengahan Hinrunde.
Singkat cerita, kemudian Skrypnyk berhasil membalikkan keadaan. Dari yang tadinya berada di posisi ke-16 pada penghujung Hinrunde, ia dan Werder Bremen-nya berhasil memanjat klasemen ke posisi 8 di lima pekan pertama di Rückrunde melalui lima kemenangan berturut-turut. Mereka hanya berselisih lima poin dari zona Liga Champions saat itu.
Namun, apa yang dialami Nouri saat ia dilantik menjadi pelatih bisa dibilang lebih sulit ketimbang situasi Skrypnyk kala itu. Werder Bremen yang ditangani Nouri saat itu adalah Werder Bremen yang pincang. Sebab, beberapa pemain pilar seperti Claudio Pizarro, Max Kruse, Fin Bartels, dan Luca Caldirola sedang diterpa cedera.
Nouri pun mesti memutar otaknya. Salah satu langkah konkretnya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada beberapa pemain muda dalam skuatnya seperti Serge Gnabry, Maxi Eggestein, Milos Veljkovic, dan Ousman Manneh.
Alhasil, Werder tidak dapat tampil konsisten pada saat itu. Mendapat tiga angka masih merupakan hal yang sulit. Dari 13 pertandingan sisa di Hinrunde, mereka mencatatkan empat kemenangan, empat imbang, dan lima kekalahan. Walaupun begitu, Werder menutup tahun di posisi ke-15 atau di luar zona degradasi, terpaut tiga angka dari Hamburg yang berada di posisi ke-16.
Momentum awal kebangkitan Werder sebenarnya sudah mulai terasa sejak Rückrunde bergulir. Permainan yang diperagakan Max Kruse dkk mulai membaik. Nouri bermanuver dengan mengubah pakem formasi lamanya dari 4–4–2 menjadi 3–1–4–2. Hal yang serupa juga dilakukan Viktor Skripnik ketika membawa Werder bangkit dari zona degradasi pada musim 2014/2015 dan meraih lima kemenangan berturut-turut di awal Rückrunde.
Hanya saja, bagi Nouri, ketidakberuntungan tidak memihak mereka pada saat itu. Werder mencatat kekalahan di empat pertandingan pembuka Rückrunde, dua kekalahan 1–2 dari Dortmund dan München, serta 3–2 dari Augsburg dan 0–1 dari Monchengladbach. Di dua pertandingan terakhir, Werder pun sebenarnya mendominasi pertandingan dengan penguasaan bola dan total peluang yang lebih banyak.
Barulah,setelah itu Werder Bremen memasuki periode tak terkalahkan. Skema baru Nouri mulai membuahkan hasil serta membawa kesenangan untuk para pendukung. Delapan pertandingan berikutnya disudahi dengan enam kemenangan dan dua hasil imbang. Termasuk kemenangan 3–0 atas RB Leipzig dan Schalke, serta 5–2 atas SC Freiburg.
Faktor di Balik Kebangkitan
Pada 2014/2015, satu hal signifikan yang dilakukan Viktor Skrypnyk dalam upayanya membangkitkan Werder Bremen adalah perubahan formasi dasar. Ia mengubah formasi dasar 4–4–2 dan 4-2-3-1 yang biasa digunakan Dutt, menjadi 4-4-2 berlian. Perubahan itu nyatanya berhasil mengeluarkan potensi terbaik beberapa pemain pada saat itu, salah satunya adalah sang motor serangan tim, Zlatko Junuzovic, yang pada musim itu menjadi pemberi asis terbanyak kedua di Bundesliga.
Hasil dari perubahan taktik seperti itu lah yang juga sedang dirasakan oleh Werder Bremen. Sejak berganti formasi ke 3–1–4–2, Werder terlihat lebih rapi dan terorganisir dalam bertahan maupun menyerang. Kedua sayap yaitu Gebre Selassie dan Robert Bauer, yang sejatinya pemain defensif, dijadikan layaknya Victor Moses dan Marcos Alonso di Chelsea. Dalam bertahan, mereka diimbangi dengan kehadiran si anak baru, Thomas Delaney, yang menempati posisi di depan tiga bek ketika Clemens Fritz cedera.
Pemain yang didatangkan dari FC Kopenhagen pada Januari lalu itu menjadi pemain vital dalam skema baru Nouri ini. Ia juga berperan sebagai gelandang box-to-box yang menyeimbangkan lini tengah. Peran Delaney didukung oleh peran pivotal Junuzovic, Florian Grillitsch, atau Maxi Eggestein.
Kehadiran Delaney mengingatkan saya akan Jannik Vestergaard dua musim silam. Sama-sama didatangkan pada bursa transfer musim dingin dan berkewarganegaraan Denmark, keduanya langsung memberikan dampak positif bagi tim. Sebagai gambaran, menurut WhoScored, Delaney merupakan pemain dengan rating tertinggi yang dimiliki Werder saat ini (7.5). Dalam waktu yang bersamaan, di musim 2014/2015, Vestergaard juga merupakan pemain dengan rating tertinggi musim itu (7.7).
Sejauh ini, Delaney sudah menyumbangkan empat gol dan satu asis dalam delapan pertandingan yang telah ia lakoni, dengan catatan satu hattrick dari empat golnya itu. Dalam bertahan, pemain berusia 25 tahun itu mencatatkan rataan 2.7 tekel dan 2.7 intersep per pertandingan. Lebih baik daripada gelandang berperan sama milik RB Leipzig, Naby Keita, yang memiliki rataan 2.3 tekel dan 2.6 intersep per pertandingan. Berkat penampilan apik itu, rumornya Delaney menjadi buruan Everton pada musim panas nanti.
Selain Delaney, pemain yang juga menjadi salah satu adalah kunci kebangkitan Werder Bremen adalah Max Kruse. Sejak kembali dari cedera panjang yang dialaminya di awal musim, ia menjalani perannya sebagai motor serangan Werder dengan sangat baik. Dari 16 pertandingan yang ia lakoni sejak akhir November lalu, pria 29 tahun itu sudah menggelontorkan delapan gol dan tiga asis.
Max Kruse yang notabene berposisi sebagai penyerang dan tugasnya adalah mencetak gol, juga penyuplai permainan bagi rekan-rekannya. Hal itu terbukti dari  rataan umpan kunci Max Kruse yang mencapai angka 1.9 per pertandingan, mengalahkan rataan tembakannya (1.7) di setiap pertandingan.
Di sisi lain, penampilan apik Werder Bremen ini juga merembet ke sisi pertahanan. Sejak kekalahan 0–1 dari Monchengladbach, Felix Wiedwald hanya kebobolan enam gol dalam delapan pertandingan setelahnya. Sebagai perbandingan, di delapan pertandingan awal Nouri sebagai pelatih, Werder kebobolan 18 gol.
Dari delapan pertandingan itu, Wiedwald juga menjaga gawangnya dari kebobolan sebanyak tiga kali, yang mana itu berarti tiga clean sheet. Anda tidak salah baca. Jika Anda pemerhati Bundesliga tiga musim ke belakang, tentu tahu betapa sulitnya Werder mendapat clean sheet. Musim lalu saja, clean sheet pertama Werder baru didapat di pekan ke-33. Wiedwald pun langsung dipuji setinggi langit, julukan Wiedwall disematkan padanya berkat kekokohan yang ia tampilkan.
***
Serangkaian hasil positif tim yang bermarkas Weserstadion ini membuka peluang bagi Junuzovic dkk ke kompetisi Eropa musim depan. Dortmund, pada musim terakhirnya bersama Klopp, berhasil masuk ke Liga Europa setelah mengalami kondisi serupa dengan Werder Bremen musim ini. Maka, sah-sah saja jika beberapa suporter Werder berharap hal yang sama akan terjadi pada timnya. Akan tetapi, untuk mencapai ke sana, konsistensi merupakan sebuah keharusan.
Kembali menilik ke musim 2014/2015, Werder Bremen hanya bisa finish di posisi ke-10. Rentetan hasil bagus di awal Rückrunde yang dialami anak asuh Viktor Skrypnyk kala itu tidak bisa dimaksimalkan lantaran inkonsistensi permainan. Ekspektasi para suporter agar timnya bisa kembali pentas di Eropa yang kadung membuncah pun harus pupus.
Werder memang bisa dibilang sempat sangat dekat untuk finish di zona Eropa pada musim itu. Dengan nada optimistik, demikian pula musim ini. Menyisakan enam pertandingan lagi, ada sekelumit asa dari para pendukung Werder Bremen untuk mengakhiri musim lebih baik daripada musim 2014/2015. Namun, layaknya deja vu, kita tidak bisa memprediksi apa yang terjadi setelahnya.
Penulis adalah mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad yang biasa berkicau di akun Twitter @Gz_ahmad
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar